Kasus Covid-19 Melonjak Lagi, Hippindo: Insentif Pemerintah Bukan Menu Utama Kami
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dewan Penasihat Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Tutum Rahanta menyampaikan keprihatinannya akibat kasus Covid-19 yang kembali menanjak .
Pasalnya, kondisi itu tentunya berimbas pada budaya WFH (kerja di rumah) dan pembatasan sosial yang kembali diberlakukan. Di sisi lain, sektor ritel belum sepenuhnya pulih akibat imbas pandemi Covid-19.
Baca juga:Pencuri Handphone di Jaksel Ini Tarik Sarung Korban yang Sedang Tidur
"Kita ini kalau dibilang lagi pemulihan ya pemulihan, tapi pemulihan ini kan masih dibayang-bayangi ketidakpastian. Ini sangat memprihatinkan," ujar Tutum kepada MNC Portal Indonesia di Jakarta, Rabu(16/6/2021).
Pihaknya selaku peritel hanya bisa menyampaikan bahwa para peritel menerapkan protokol yang sangat ketat sesuai yang diizinkan. Jadi, kalau ada kelompok masyarakat yang abai, situasi ini adalah bagian dari konsekuensi sangat nyata, karena semua pihak harus menanggung beban.
"Saya kira termasuk kami (terkena konsekuensinya) jika nanti diadakan PSBB kembali. Sekali lagi, insentif pemerintah ini bukan menu utama dalam kebutuhan kami," terang Tutum.
Dia menyebutkan, insentif itu seakan-akan menjadi pemanis yang bisa membantu. Padahal, meu utama yang diperlukan para peritel adalah penanganan kasus Covid-19.
"Tergantung kekuatan beli masyarakatlah, secara lebih luasnya itu. Daya beli dari mana? Dari kepercayaan konsumen, pandemi Covid-19 berkurang dan sudah mulai tertangani, masyarakat tidak takut keluar rumah, dan bisa membelanjakan uang yang selama ini mereka tahan, juga jenis-jenis pekerjaan lain menjadi terbuka," jelas Tutum.
Baca juga:Urine Bau Tak Sedap Tanda Penyakit Berbahaya, Diabetes Salah Satunya
Dia mengatakan, pihak-pihak itulah yang menjadi konsumen peritel. Jika kondisi kembali terkunci, lanjut Tutum, dapat dibayangkan ada kelompok masyarakat yang tidak bekerja meski peritel diizinkan buka toko.
"Percuma saja buka toko tapi pembelinya juga drop. Siklus itu, perputaran itu jika tidak terjadi, itu yang kita takutkan," pungkas Tutum.
Pasalnya, kondisi itu tentunya berimbas pada budaya WFH (kerja di rumah) dan pembatasan sosial yang kembali diberlakukan. Di sisi lain, sektor ritel belum sepenuhnya pulih akibat imbas pandemi Covid-19.
Baca juga:Pencuri Handphone di Jaksel Ini Tarik Sarung Korban yang Sedang Tidur
"Kita ini kalau dibilang lagi pemulihan ya pemulihan, tapi pemulihan ini kan masih dibayang-bayangi ketidakpastian. Ini sangat memprihatinkan," ujar Tutum kepada MNC Portal Indonesia di Jakarta, Rabu(16/6/2021).
Pihaknya selaku peritel hanya bisa menyampaikan bahwa para peritel menerapkan protokol yang sangat ketat sesuai yang diizinkan. Jadi, kalau ada kelompok masyarakat yang abai, situasi ini adalah bagian dari konsekuensi sangat nyata, karena semua pihak harus menanggung beban.
"Saya kira termasuk kami (terkena konsekuensinya) jika nanti diadakan PSBB kembali. Sekali lagi, insentif pemerintah ini bukan menu utama dalam kebutuhan kami," terang Tutum.
Dia menyebutkan, insentif itu seakan-akan menjadi pemanis yang bisa membantu. Padahal, meu utama yang diperlukan para peritel adalah penanganan kasus Covid-19.
"Tergantung kekuatan beli masyarakatlah, secara lebih luasnya itu. Daya beli dari mana? Dari kepercayaan konsumen, pandemi Covid-19 berkurang dan sudah mulai tertangani, masyarakat tidak takut keluar rumah, dan bisa membelanjakan uang yang selama ini mereka tahan, juga jenis-jenis pekerjaan lain menjadi terbuka," jelas Tutum.
Baca juga:Urine Bau Tak Sedap Tanda Penyakit Berbahaya, Diabetes Salah Satunya
Dia mengatakan, pihak-pihak itulah yang menjadi konsumen peritel. Jika kondisi kembali terkunci, lanjut Tutum, dapat dibayangkan ada kelompok masyarakat yang tidak bekerja meski peritel diizinkan buka toko.
"Percuma saja buka toko tapi pembelinya juga drop. Siklus itu, perputaran itu jika tidak terjadi, itu yang kita takutkan," pungkas Tutum.
(uka)