Pengamat Luruskan Salah Kaprah Soal Draf RUU Cipta Kerja
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pembahasan RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan memang ditunda, akan tetapi untuk klaster lain pembahasan akan tetap berlanjut. Menurut Bambang Arianto, Direktur Institute for Digital Democracy sekaligus pengamat RUU Cipta Kerja, masih banyak yang salah kaprah di tengah masyarakat terhadap RUU Cipta Kerja.
Lebih lanjut Ia menerangkan, ada beberapa poin yang masih terdapat salah kaprah yaitu, pertama adalah perihal hilangnya upah minimum bagi para pekerja. Padahal terang Bambang, pada kenyataannya tidak ada penghilangan upah minimun regional. Meskipun dalam Omnibus Law ada penerapan upah minimum provinsi.
“Hal itu ditujukan sebagai jaring pengaman sosial bagi para pekerja. Lagipula upah minimun provinsi diterapkan bagi pekerja baru dari bulan ke-1 hingga bulan ke-12. Untuk bulan ke-13 perusahaan wajib memberikan upah sesuai dengan upah minim regional daerah masing-masing," jelasnya di Jakarta.
Poin kedua yakni hilangnya pesangon. Dimana diterangkan olehnya, padahal pada kenyataannya tidak benar pesangon akan hilang justru sebaliknya dalam Omnibus Law akan ada kompensasi sebesar pesangon yang diberikan kepada para pekerja kontrak.
"Sedangkan dalam UU yang lama justru tidak ada namanya kompensasi bagi pekerja kontrak. Jadi dalam Omnibus Law, pekerja tetap akan mendapatkan pesangon dan pekerja kontrak akan mendapatkan kompensasi," sambungnya.
Namun Ia mengakui bahwa, nilai pesangon lebih kecil dari pada UU sebelumnya. Hal ini lantaran, nilai pesangon yang besar selama ini tidak pernah dipenuhi oleh perusahaan.
"Bahkan menurut data Kemenaker hanya 30 persen pesangon yang bisa diberikan oleh pengusaha. Jadi wajar bila saat ini akan diubah skema pesangon lebih kecil. Sehingga dengan begitu semua perusahaan akan dijamin bisa memberikan pesangon 100 persen kepada pekerja tetap," ungkapnya.
Selanjutnya poin kedua, Outsourcing seumur hidup dan karyawan seumur hidup. Menurut Bambang Arianto, hal itu tidak benar karena aturan outsourcing dalam Omnibus Law tetap diatur sedemikian rupa agar tetap menguntungkan pekerja.
"Bahkan, Omnibus Law memberikan kepastian perlindungan bagi pekerja kontrak (outsourcing) yang masih terikat kontrak kemudian ter-PHK, maka akan mendapatkan kompensasi 1 bulan gaji dengan catatn sudha bekerja selama 1 tahun," lanjutnya
“Keempat, adanya waktu yang eksploitatif. Sebenarnya bukan eksploitatif tapi fleksibel. Maksudnya gini, jadi selama ini kita bekerja harus 8 jam perhari. Padahal dalam Omnibus Law diberikan kebebasan bekerja paruh waktu, sehingga para pekerja bisa bekerja dibeberapa tempat. Sebut saja pekerjaan yang bisa dikerjakan tidak sampai 8 jam perhari, seperti disainer grafis ataupun programer," paparnya.
Sambung dia menambahkan, dengan adanya waktu kerja yang fleksibel akan membuka peluang kerja bagi ibu rumah tangga dan para generasi milenial untuk bisa bekerja di dua tempat sekaligus. Apalagi kedepan, ungkapnya Indonesia akan memasuki bonus demografi yang mayoritas pekerja berasal dari generasi milenial.
“Kelima, adanya isu tenaga kerja asing terutama buruh kasar akan bekerja di Indonesia dengan bebas. Padahal kenyataannya tenaga kerja asing semakin diperketat untuk bisa bekerja di Indonesia. Jadi bagi tenaga kerja asing ada beberapa jenis pekerjaan yang tidak memerlukan izin kerja, seperti diplomat, tenaga kerja keagaaman, pendidik vokasi dan beberapa pekerjaan strategis lainnya," ujarnya.
Kemudian Ia mengungkapkan saat ini untuk bisa bekerja di Indonesia, tenaga kerja asing harus bisa menunjukkan sertifikasi dari perusahaan sponsor. Hal itu untuk membuktikan kompetensi yang dimiliki. Kemudian tenaga kerja asing juga harus dapat alih teknologi atau transfer kelimuan kepada pekerja Indonesia.
“Jadi apabila tenaga kerja asing tidak mampu alih teknologi secara otomatis tidak bisa bekerja di Indonesia. Kemudian, ada lagi yang berat bahwa tenaga kerja asing harus bisa membayar pajak sebesar USD1200 pertahun. Artinya dengan ketatnya seleksi ini tentulah tenaga kerja kasar atau buruh kasar akan sulit bekerja di Indonesia," jelas Bambang
Keenam, hilangnya jaminan sosial. Padahal menurutnya tidak ada penghilangan jaminan sosial, bahkan dalam Omnibus Law akan banyak jaminan yang wajib disediakan oleh perusahan bagi pekerja. Seperti jaminan kesehatan, jaminan keselamatan kerja, bahkan tabungan perumahan rakyat. Selain itu dalam Omnibus Law akan diberikan jaminan kehilangan pekerjaan bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja.
Ketujuh adanya isu bahwa pemutusan hubungan kerja akan dipermudah. "Tentu tidak demikian, dalam Omnibus Law perusahaan tidak bisa semena-mena untuk bisa mem-PHK para pekerja. Bahkan ketika terjadi PHK dan belum ada putusan final maka pekerja tersebut harus tetap diberikan upah oleh perusahaan," terang dia.
Kedelapan, bahwa tidak benar cuti hamil, haid, menyusui dan tahunan akan dihapus bagi pekerja perempuan. Meskipun tidak ada dalam Omnibus Law, akan tetapi khusus aturan ini tetap mengacu pada UU Ketenagakerjaa No 13 tahun 2003 yang mana aturan cuti bagi pekerja perempuan, baik menyusui, hamil, menikah atau tahunan tetap akan berlaku seperti sedia kala.
“Kesembilan, hilangnya pasal pidana bagi perusahaan. Padahal dalam Omnibus Law pemerintah menjamin bahwa sanksi pidana terhadap perusahaan yang semana-mena kepada pekerja akan tetap berlaku. Misal, bila ditemui perusahan yang tidak memberikan cuti hamil kepada pekerja perempuan, maka secara otomatis pasal pidana akan berlaku terhadap perusahaan tersebut. Dengan begitu, tidak benar bila pasal pidana bagi perusahaan yang semena-mena akan dihapus," ujarnya.
Poin-poin diatas inilah yang menurut Direktur Institute for Digital Democracy harus terus dicermati agar kedepan kita tidak lagi ada yang salah kaprah dimasyarakat perihal Omnibus Law Cipta Kerja.
"Sebab bila ditelisik RUU Cipta Kerja adalah reformasi perundangan untuk melindungi pekerja Indonesia serta memperkuat tatanan perekonomian Indonesia kedepan dan bukan ada tujuan yang lain,” jelas Bambang Arianto yang juga peneliti Akuntansi Forensik di Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Univeristas Nahdlatul Ulama (LPPM UNU) Yogyakarta.
Lebih lanjut Ia menerangkan, ada beberapa poin yang masih terdapat salah kaprah yaitu, pertama adalah perihal hilangnya upah minimum bagi para pekerja. Padahal terang Bambang, pada kenyataannya tidak ada penghilangan upah minimun regional. Meskipun dalam Omnibus Law ada penerapan upah minimum provinsi.
“Hal itu ditujukan sebagai jaring pengaman sosial bagi para pekerja. Lagipula upah minimun provinsi diterapkan bagi pekerja baru dari bulan ke-1 hingga bulan ke-12. Untuk bulan ke-13 perusahaan wajib memberikan upah sesuai dengan upah minim regional daerah masing-masing," jelasnya di Jakarta.
Poin kedua yakni hilangnya pesangon. Dimana diterangkan olehnya, padahal pada kenyataannya tidak benar pesangon akan hilang justru sebaliknya dalam Omnibus Law akan ada kompensasi sebesar pesangon yang diberikan kepada para pekerja kontrak.
"Sedangkan dalam UU yang lama justru tidak ada namanya kompensasi bagi pekerja kontrak. Jadi dalam Omnibus Law, pekerja tetap akan mendapatkan pesangon dan pekerja kontrak akan mendapatkan kompensasi," sambungnya.
Namun Ia mengakui bahwa, nilai pesangon lebih kecil dari pada UU sebelumnya. Hal ini lantaran, nilai pesangon yang besar selama ini tidak pernah dipenuhi oleh perusahaan.
"Bahkan menurut data Kemenaker hanya 30 persen pesangon yang bisa diberikan oleh pengusaha. Jadi wajar bila saat ini akan diubah skema pesangon lebih kecil. Sehingga dengan begitu semua perusahaan akan dijamin bisa memberikan pesangon 100 persen kepada pekerja tetap," ungkapnya.
Selanjutnya poin kedua, Outsourcing seumur hidup dan karyawan seumur hidup. Menurut Bambang Arianto, hal itu tidak benar karena aturan outsourcing dalam Omnibus Law tetap diatur sedemikian rupa agar tetap menguntungkan pekerja.
"Bahkan, Omnibus Law memberikan kepastian perlindungan bagi pekerja kontrak (outsourcing) yang masih terikat kontrak kemudian ter-PHK, maka akan mendapatkan kompensasi 1 bulan gaji dengan catatn sudha bekerja selama 1 tahun," lanjutnya
“Keempat, adanya waktu yang eksploitatif. Sebenarnya bukan eksploitatif tapi fleksibel. Maksudnya gini, jadi selama ini kita bekerja harus 8 jam perhari. Padahal dalam Omnibus Law diberikan kebebasan bekerja paruh waktu, sehingga para pekerja bisa bekerja dibeberapa tempat. Sebut saja pekerjaan yang bisa dikerjakan tidak sampai 8 jam perhari, seperti disainer grafis ataupun programer," paparnya.
Sambung dia menambahkan, dengan adanya waktu kerja yang fleksibel akan membuka peluang kerja bagi ibu rumah tangga dan para generasi milenial untuk bisa bekerja di dua tempat sekaligus. Apalagi kedepan, ungkapnya Indonesia akan memasuki bonus demografi yang mayoritas pekerja berasal dari generasi milenial.
“Kelima, adanya isu tenaga kerja asing terutama buruh kasar akan bekerja di Indonesia dengan bebas. Padahal kenyataannya tenaga kerja asing semakin diperketat untuk bisa bekerja di Indonesia. Jadi bagi tenaga kerja asing ada beberapa jenis pekerjaan yang tidak memerlukan izin kerja, seperti diplomat, tenaga kerja keagaaman, pendidik vokasi dan beberapa pekerjaan strategis lainnya," ujarnya.
Kemudian Ia mengungkapkan saat ini untuk bisa bekerja di Indonesia, tenaga kerja asing harus bisa menunjukkan sertifikasi dari perusahaan sponsor. Hal itu untuk membuktikan kompetensi yang dimiliki. Kemudian tenaga kerja asing juga harus dapat alih teknologi atau transfer kelimuan kepada pekerja Indonesia.
“Jadi apabila tenaga kerja asing tidak mampu alih teknologi secara otomatis tidak bisa bekerja di Indonesia. Kemudian, ada lagi yang berat bahwa tenaga kerja asing harus bisa membayar pajak sebesar USD1200 pertahun. Artinya dengan ketatnya seleksi ini tentulah tenaga kerja kasar atau buruh kasar akan sulit bekerja di Indonesia," jelas Bambang
Keenam, hilangnya jaminan sosial. Padahal menurutnya tidak ada penghilangan jaminan sosial, bahkan dalam Omnibus Law akan banyak jaminan yang wajib disediakan oleh perusahan bagi pekerja. Seperti jaminan kesehatan, jaminan keselamatan kerja, bahkan tabungan perumahan rakyat. Selain itu dalam Omnibus Law akan diberikan jaminan kehilangan pekerjaan bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja.
Ketujuh adanya isu bahwa pemutusan hubungan kerja akan dipermudah. "Tentu tidak demikian, dalam Omnibus Law perusahaan tidak bisa semena-mena untuk bisa mem-PHK para pekerja. Bahkan ketika terjadi PHK dan belum ada putusan final maka pekerja tersebut harus tetap diberikan upah oleh perusahaan," terang dia.
Kedelapan, bahwa tidak benar cuti hamil, haid, menyusui dan tahunan akan dihapus bagi pekerja perempuan. Meskipun tidak ada dalam Omnibus Law, akan tetapi khusus aturan ini tetap mengacu pada UU Ketenagakerjaa No 13 tahun 2003 yang mana aturan cuti bagi pekerja perempuan, baik menyusui, hamil, menikah atau tahunan tetap akan berlaku seperti sedia kala.
“Kesembilan, hilangnya pasal pidana bagi perusahaan. Padahal dalam Omnibus Law pemerintah menjamin bahwa sanksi pidana terhadap perusahaan yang semana-mena kepada pekerja akan tetap berlaku. Misal, bila ditemui perusahan yang tidak memberikan cuti hamil kepada pekerja perempuan, maka secara otomatis pasal pidana akan berlaku terhadap perusahaan tersebut. Dengan begitu, tidak benar bila pasal pidana bagi perusahaan yang semena-mena akan dihapus," ujarnya.
Poin-poin diatas inilah yang menurut Direktur Institute for Digital Democracy harus terus dicermati agar kedepan kita tidak lagi ada yang salah kaprah dimasyarakat perihal Omnibus Law Cipta Kerja.
"Sebab bila ditelisik RUU Cipta Kerja adalah reformasi perundangan untuk melindungi pekerja Indonesia serta memperkuat tatanan perekonomian Indonesia kedepan dan bukan ada tujuan yang lain,” jelas Bambang Arianto yang juga peneliti Akuntansi Forensik di Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Univeristas Nahdlatul Ulama (LPPM UNU) Yogyakarta.
(akr)