Jangan Andalkan Cukai Tembakau, Pemerintah Perlu Perluas Tax Base dan Tax Ratio
loading...
A
A
A
JAKARTA - Guna meningkatkan penerimaan negara dari pajak, pemerintah perlu memperluas tax base (jenis barang dan jasa yang dikenai pajak), tax ratio , dan menaikan PPN (pajak pertambahan nilai) dari semula 10% menjadi 12%. Ketiganya dimasukan dalam usulan Perubahan Kelima atas Undang-Undang Perubahan No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU Perpajakan) yang sedang dibahas bersama DPR RI.
Hal itu disampaikan peneliti ekonomi dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Christine Chen, kepada wartawan, Selasa (10/8/2021).
“RUU Perpajakan yang baru, (dibuat) untuk mengakomodasikan perpajakan baik di dalam maupun luar negeri. Perbaikan UU Perpajakan tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga dunia internasional,” ungkap dosen dan peneliti pada Pusat Pengkajian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Universitas Brawijaya ini.
Dia mencontohkan, kenaikan PPN yang diusulkan pemerintah sebesar 12% dari yang saat ini 10%. Usulan Kenaikan PPN bukan hanya dilakukan pemerintah Indonesia. Negara-negara lain yang tergabung dalam OECD (Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan), bahkan menaikan PPN 15%.
Selain mengusulkan kenaikan PPN, lanjut dia, pemerintah untuk azas keadilan, juga sedang mempertimbangkan pengenaan PPN 12% dan 15% atau dengan sistem multitarif. Untuk produk dan jasa tertentu, akan dikenakan PPN sebesar 12%. Sedangkan untuk jasa dan produk yang lainnya akan dikenakan PPN 15%.
“Pengenaan PPN dengan multitarif, argumentasi dari pemerintah adalah untuk meningkatkan keadilan. Menurut pemerintah akan ada tarif yang spesial misalnya beras kualitas prima dari luar negeri akan dikenakan tarif PPN yang lebih tinggi dibandingkan beras dalam negeri yang sama-sama dijual di supermarket kelas atas," tutur Christine Chen.
Lebih lanjut dikatakan, sementara penjualan beras di pasar tradisional tidak dikenakan pajak. Alasannya untuk menunjukkan keadilan. Tetapi penerapan sistem multitarif akan menimbulkan administrasi yang lebih rumit. "Apakah kita sudah siap menerapkan PPN Multi-Tarif?” tanyanya.
Christine mengaku lebih setuju dengan pengenaan PPN single tarif. Yakni, 12% untuk semua jenis objek pajak jasa maupun produk. Alasannya, karena sistem ini lebih sederhana dan mudah diterapkan oleh pemerintah maupun pihak lain.
“Multitarif akan menimbulkan in efisiensi sebab biaya administrasinya lebih tinggi. Kalau sistem perpajakan kita sudah oke… Kita bisa menerapkan multitarif. (Hanya) apakah core tax kita sudah siap atau belum (untuk menerapkan multitarif). Meski pada 2024 akan diterapkan coretax. Apakah kita sudah siap untuk menerapkan multitarif?” cetus Christine.
Pendapat senada disampaikan, dosen yang juga peneliti Pusat Pengkajian Kebijakan Ekonomi Universitas Brawijaya Malang, Imaninar. Menurutnya, di masa pandemi COVID-19 ini tak dapat dipungkiri penerimaan negara mengalami tekanan berat. Hampir semua sektor perekonomian mengalami pelemahan dan menyebabkan penerimaan perpajakan tidak optimal.
Imaninar menilai cukup bijak jika pemerintah menaikkan PPN menjadi 12% dan memperluas tax base (basis barang dan jasa yang akan dikenakan pajak). “Dalam upaya memperluas basis pajak di masa pandemi ini, ada dua hal penting yang perlu diperhatikan. Pertama, perlu kecermatan untuk memilah sektor mana saja yang tidak terdampak dan sektor mana saja yang terdampak pandemi. Hal itu menjadi perhatian penting dalam upaya memperluas basis pajak di masa pandemi,” papar Imaninar.
Kedua, adalah waktu atau timing. Menurut dia, ada beberapa kebijakan yang sebetulnya berpotensi untuk menjadi opsi diversifikasi pajak, namun belum bisa diterapkan di masa pandemi saat ini karena sektor tersebut masih terdampak dan butuh dukungan pemerintah.
“Diversifikasi penerimaan pajak, seperti pajak karbon maupun kenaikan PPN sebenarnya dapat saja diterapkan asalkan pada waktu yang tepat agar kebijakan tersebut memberikan hasil yang optimal. Terutama bagi kenaikan PPN, hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah barang/jasa yang akan dibebani pajak tersebut harus tepat sasaran, karena tidak semua barang/jasa di Indonesia dapat dikenakan tarif yang sama untuk menciptakan keadilan,” papar Imaninar.
Perluas Tax base
Baik Imaninar maupun Christine Chen sepakat, pemerintah perlu memperluas tax bases (basis penerimaan pajak ) dalam rangka meningkatkan penerimaan ataupun pencapaian target pajak. Salah satunya pajak carbon bagi perusahaan maupun individu yang kegiatan usahanya dapat mencemari lingkungan.
“Pajak carbon sendiri sebenarnya memang telah lama diterapkan di beberapa negara, bahkan penjelasannya pun ada dalam teori perpajakan. Pada dasarnya tujuan pajak carbon adalah baik, karena tujuannya untuk kebaikan lingkungan yakni mendorong pengurangan emisi karbon. Di sisi lain pajak carbon dapat mendorong penerimaan negara,” papar Imaninar.
Selain pajak carbon, Imaninar juga melihat demi keadilan di bidang perpajakan, sekaligus meningkatkan rasio pajak dan penerimaan negara dari sektor pajak, pemerintah perlu mengenakan cukai bagi industri soda dan plastik, maupun objek pajak lainnya.
Mengkonsumsi soda dalam jangka panjang juga membahayakan Kesehatan. Sementara penggunaan plastik jangka pendek maupun jangka Panjang juga mengganggu lingkungan hidup.
Lebih lanjut Imaninar menjelaskan, saat ini produk industri hasil tembakau (IHT) telah cukup berat dibebani oleh berbagai pajak yang harus ditanggungnya. Pemerintah tidak bisa terus menekan IHT dengan terus menerus menaikkan tarif cukainya.
Karena konsekuensi dari kenaikan cukai yang eksesif dan terus menerus yang dilakukan pemerintah tidak hanya berdampak negatif pada keberlangsungan IHT saja, tapi juga memicu semakin maraknya peredaran rokok ilegal. Kebijakan itu justru dapat menjadi boomerang bagi penerimaan pemerintah berupa hilangnya potensi penerimaan negara.
Karena itu, agar IHT tidak terus menerus menjadi andalan pendapatan negara dari cukai, Imaninar berpendapat, pemerintah perlu meningkatkan tax base. Beberapa di antaranya adalah plastic, soda atau sugar tax.
“Barang kena cukai yang telah diterapkan di beberapa negara lain dapat diadopsi oleh Indonesia untuk dapat menjadi alternatif penerimaan cukai pemerintah selain cukai hasil tembakau atau CHT. Komoditi-komoditi yang dapat dimasukkan ke dalam BKC antara lain baterai, penggunaan freon, makanan dan minuman berkarbonasi, gula, kendaraan bermotor, kartu permainan, peralatan listrik, bahan peledak, parfum, perhiasan, dan masih komoditi lainnya yang dapat dikaji,” sebut Imaninar.
Dijelaskan Imanina, barang kena cukai (BKC) adalah barang-barang yang dibatasi peredaran ataupun konnsuminya (penggunaannya). Hal ini disebabkan menganggu kesehatan maupun dampak eksternalitas negatif seperti kerusakan lingkungan.
“Plastik, soda, dan makanan berpemanis adalah beberapa barang yang dapat dikenai cukai sebagai alterntaif barang kena cukai. Ekstensifikasi barang kena cukai (BKC) tersebut diharapkan mampu menyokong penerimaan cukai, sekaligus penerimaan negara. Kita tidak dapat terus mengandalkan cukai hasil tembakau (CHT) saja untuk mengakselerasi penerimaan negara,” pungkasnya.
Hal itu disampaikan peneliti ekonomi dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Christine Chen, kepada wartawan, Selasa (10/8/2021).
“RUU Perpajakan yang baru, (dibuat) untuk mengakomodasikan perpajakan baik di dalam maupun luar negeri. Perbaikan UU Perpajakan tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga dunia internasional,” ungkap dosen dan peneliti pada Pusat Pengkajian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Universitas Brawijaya ini.
Dia mencontohkan, kenaikan PPN yang diusulkan pemerintah sebesar 12% dari yang saat ini 10%. Usulan Kenaikan PPN bukan hanya dilakukan pemerintah Indonesia. Negara-negara lain yang tergabung dalam OECD (Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan), bahkan menaikan PPN 15%.
Selain mengusulkan kenaikan PPN, lanjut dia, pemerintah untuk azas keadilan, juga sedang mempertimbangkan pengenaan PPN 12% dan 15% atau dengan sistem multitarif. Untuk produk dan jasa tertentu, akan dikenakan PPN sebesar 12%. Sedangkan untuk jasa dan produk yang lainnya akan dikenakan PPN 15%.
“Pengenaan PPN dengan multitarif, argumentasi dari pemerintah adalah untuk meningkatkan keadilan. Menurut pemerintah akan ada tarif yang spesial misalnya beras kualitas prima dari luar negeri akan dikenakan tarif PPN yang lebih tinggi dibandingkan beras dalam negeri yang sama-sama dijual di supermarket kelas atas," tutur Christine Chen.
Lebih lanjut dikatakan, sementara penjualan beras di pasar tradisional tidak dikenakan pajak. Alasannya untuk menunjukkan keadilan. Tetapi penerapan sistem multitarif akan menimbulkan administrasi yang lebih rumit. "Apakah kita sudah siap menerapkan PPN Multi-Tarif?” tanyanya.
Christine mengaku lebih setuju dengan pengenaan PPN single tarif. Yakni, 12% untuk semua jenis objek pajak jasa maupun produk. Alasannya, karena sistem ini lebih sederhana dan mudah diterapkan oleh pemerintah maupun pihak lain.
“Multitarif akan menimbulkan in efisiensi sebab biaya administrasinya lebih tinggi. Kalau sistem perpajakan kita sudah oke… Kita bisa menerapkan multitarif. (Hanya) apakah core tax kita sudah siap atau belum (untuk menerapkan multitarif). Meski pada 2024 akan diterapkan coretax. Apakah kita sudah siap untuk menerapkan multitarif?” cetus Christine.
Pendapat senada disampaikan, dosen yang juga peneliti Pusat Pengkajian Kebijakan Ekonomi Universitas Brawijaya Malang, Imaninar. Menurutnya, di masa pandemi COVID-19 ini tak dapat dipungkiri penerimaan negara mengalami tekanan berat. Hampir semua sektor perekonomian mengalami pelemahan dan menyebabkan penerimaan perpajakan tidak optimal.
Imaninar menilai cukup bijak jika pemerintah menaikkan PPN menjadi 12% dan memperluas tax base (basis barang dan jasa yang akan dikenakan pajak). “Dalam upaya memperluas basis pajak di masa pandemi ini, ada dua hal penting yang perlu diperhatikan. Pertama, perlu kecermatan untuk memilah sektor mana saja yang tidak terdampak dan sektor mana saja yang terdampak pandemi. Hal itu menjadi perhatian penting dalam upaya memperluas basis pajak di masa pandemi,” papar Imaninar.
Kedua, adalah waktu atau timing. Menurut dia, ada beberapa kebijakan yang sebetulnya berpotensi untuk menjadi opsi diversifikasi pajak, namun belum bisa diterapkan di masa pandemi saat ini karena sektor tersebut masih terdampak dan butuh dukungan pemerintah.
“Diversifikasi penerimaan pajak, seperti pajak karbon maupun kenaikan PPN sebenarnya dapat saja diterapkan asalkan pada waktu yang tepat agar kebijakan tersebut memberikan hasil yang optimal. Terutama bagi kenaikan PPN, hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah barang/jasa yang akan dibebani pajak tersebut harus tepat sasaran, karena tidak semua barang/jasa di Indonesia dapat dikenakan tarif yang sama untuk menciptakan keadilan,” papar Imaninar.
Perluas Tax base
Baik Imaninar maupun Christine Chen sepakat, pemerintah perlu memperluas tax bases (basis penerimaan pajak ) dalam rangka meningkatkan penerimaan ataupun pencapaian target pajak. Salah satunya pajak carbon bagi perusahaan maupun individu yang kegiatan usahanya dapat mencemari lingkungan.
“Pajak carbon sendiri sebenarnya memang telah lama diterapkan di beberapa negara, bahkan penjelasannya pun ada dalam teori perpajakan. Pada dasarnya tujuan pajak carbon adalah baik, karena tujuannya untuk kebaikan lingkungan yakni mendorong pengurangan emisi karbon. Di sisi lain pajak carbon dapat mendorong penerimaan negara,” papar Imaninar.
Selain pajak carbon, Imaninar juga melihat demi keadilan di bidang perpajakan, sekaligus meningkatkan rasio pajak dan penerimaan negara dari sektor pajak, pemerintah perlu mengenakan cukai bagi industri soda dan plastik, maupun objek pajak lainnya.
Mengkonsumsi soda dalam jangka panjang juga membahayakan Kesehatan. Sementara penggunaan plastik jangka pendek maupun jangka Panjang juga mengganggu lingkungan hidup.
Lebih lanjut Imaninar menjelaskan, saat ini produk industri hasil tembakau (IHT) telah cukup berat dibebani oleh berbagai pajak yang harus ditanggungnya. Pemerintah tidak bisa terus menekan IHT dengan terus menerus menaikkan tarif cukainya.
Karena konsekuensi dari kenaikan cukai yang eksesif dan terus menerus yang dilakukan pemerintah tidak hanya berdampak negatif pada keberlangsungan IHT saja, tapi juga memicu semakin maraknya peredaran rokok ilegal. Kebijakan itu justru dapat menjadi boomerang bagi penerimaan pemerintah berupa hilangnya potensi penerimaan negara.
Karena itu, agar IHT tidak terus menerus menjadi andalan pendapatan negara dari cukai, Imaninar berpendapat, pemerintah perlu meningkatkan tax base. Beberapa di antaranya adalah plastic, soda atau sugar tax.
“Barang kena cukai yang telah diterapkan di beberapa negara lain dapat diadopsi oleh Indonesia untuk dapat menjadi alternatif penerimaan cukai pemerintah selain cukai hasil tembakau atau CHT. Komoditi-komoditi yang dapat dimasukkan ke dalam BKC antara lain baterai, penggunaan freon, makanan dan minuman berkarbonasi, gula, kendaraan bermotor, kartu permainan, peralatan listrik, bahan peledak, parfum, perhiasan, dan masih komoditi lainnya yang dapat dikaji,” sebut Imaninar.
Dijelaskan Imanina, barang kena cukai (BKC) adalah barang-barang yang dibatasi peredaran ataupun konnsuminya (penggunaannya). Hal ini disebabkan menganggu kesehatan maupun dampak eksternalitas negatif seperti kerusakan lingkungan.
“Plastik, soda, dan makanan berpemanis adalah beberapa barang yang dapat dikenai cukai sebagai alterntaif barang kena cukai. Ekstensifikasi barang kena cukai (BKC) tersebut diharapkan mampu menyokong penerimaan cukai, sekaligus penerimaan negara. Kita tidak dapat terus mengandalkan cukai hasil tembakau (CHT) saja untuk mengakselerasi penerimaan negara,” pungkasnya.
(akr)