Masifkan Pengembangan PLTS Atap, Guru Besar ITS: Siapkan Dulu APBN

Selasa, 17 Agustus 2021 - 22:45 WIB
loading...
A A A
Namun, Yayan mengatakan, meski pengembangan PLTS Atap secara masif sangat bagus demi menurunkan ketergantungan listrik berbahan bakar fosil, banyak hal yang perlu dipertimbangkan agar kebijakan ini menuai sukses. Berkaca pada pasar yang cukup berhasil mengembangkan teknologi ini, yaitu Uni Eropa, Yayan menyertakan sejumlah catatan.

Pertama, terkait insentif ekonomi bagi rumah tangga yang menggunakan teknologi ini. "Apakah insentifnya lebih banyak dibandingkan biaya investasi dan pemeliharaannya?" ujar dia.

Doktor dari Czech University of Life Science Prague itu menilai, jika instalasi, layanan purna jual, maintenance untuk teknologi ini mudah diakses dan dengan nilai investasi yang ekonomis, makan akan banyak yang tertarik.

Kedua, investasi yang efisien untuk PLTS Atap menurutnya tidak mudah. Di beberapa negara Eropa seperti Perancis, Jerman, Spanyol atau Italia, kata dia, Levelised Cost of Electricity (LCOE) kurang lebih 20 euro cent/kWh, masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan LCOE di wilayah Eropa Tengah-Timur seperti Hungaria, Bulgaria, Romania, dan Estonia yang hanya 5-10 euro cent/kWh pada 2017.



"Namun, harganya terus turun dalam jangka waktu tiga tahun sebesar 50% menjadi 5-10 euro cent/kWh. "Artinya pengembangan R&D untuk teknologi rooftop PV di Eropa sangat signifikan menurunkan LCOE selama periode 2017-2019," paparnya.

Sementara, lanjut Yayan, jika melihat tarif dasar listrik (TDL) Indonesia, harga akhir listrik di negara ini per April-Juni berada di kisaran 6-8 euro cent/kWh. "Kita dapat bayangkan ini harga konsumsi akhir, jika kita bandingkan dengan harga rooftop di EU harga tersebut adalah ongkos produksinya, jadi mereka akan jual di kisaran 9-10 euro cent/kWh. Artinya TDL saat ini tidak mendukung terhadap keekonomisan investasi teknologi rooftop PV," tegasnya.

Berdasarkan hasil perhitungan di EU, lanjut Yayan, WACC (Weight Cost of Capital) untuk investasi rooftop berada di 7% sedangkan di Indonesia WACC atau IRR keekonomian di atas 10%. "Di sini ada kesenjangan antara daya beli versus harga, investasi versus harga keekonomian," jelasnya.
(fai)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.9955 seconds (0.1#10.140)