Dampak Pandemi ke Ekonomi Global, Orang Kaya Makin Kaya dan Si Miskin Makin Melarat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Selama pandemi , kekayaan 10 orang terkaya di dunia naik USD540 miliar, hal ini mengutip laporan Oxfam (The Inequality Virus) pada Jumat (20/8/2021). Padahal uang sebanyak ini cukup untuk membayar vaksin semua orang di bumi, tetapi sampai sekarang baru 11% orang di dunia yang mendapat vaksin, dengan mayoritas di negara maju.
Di seluruh dunia, pemodal miliarder menambah besar pundi kekayaannya sebesar USD 3,9 triliun (atau hampir 50% dari sebelumnya), mencapai USD 11,95 triliun. Untuk perbandingan, USD3,9 triliun itu kira-kira setara dengan 3 kali lipat PDB Indonesia.
Akan sangat sulit membayangkan jika pendapatan dan kekayaan rakyat miskin meningkat selama pandemi. Justru sebaliknya Oxfam melaporkan, 1.000 miliarder terkaya dunia kekayaannya pulih dalam waktu 9 bulan sejak awal krisis pandemi, dan justru telah menambah kekayaannya.
Sementara, bagi rakyat miskin, akan butuh waktu setidaknya 10 tahun sebelum kondisi ekonomi mereka pulih. Ini pun dengan asumsi adanya pemulihan ekonomi yang baik dan merata, serta tidak ada krisis lagi di hari depan; sebuah asumsi yang sulit terwujud mengingat krisis kronik kapitalisme.
Jadi, bahkan bila ada pemulihan ekonomi selepas pandemi, dampak ekonomi krisis pandemi akan berkepanjangan bagi rakyat miskin.
"Di Indonesia kita temui gambaran serupa. Kekayaan 15 konglomerat terkaya di Indonesia naik 33,7%, dari USD 53,7 miliar menjadi USD 71,8 miliar. Musibah nasional tidak menghentikan kapitalis dalam meraup profit," ujar Agung Nugroho, Ketua Nasional Relawan Kesehatan Indonesia (Rekan Indonesia).
Krisis ekonomi global sendiri sebenarnya sudah terjadi sejak 2019, pandemi Covid-19 yang terjadi pada awal 2020 hanyalah sebagai faktor yang makin memperparah krisis ekonomi global tersebut. Pandemi Covid-19 juga menunjukan bahwa krisis ekonomi global semakin dalam masuk ke jurang resesi, dan sampai hari ini dunia tidak mampu keluar dari krisis ekonomi global yang makin parah akibat pandemi Covid-19.
Rakyat miskin tidak bisa menghentikan aktivitas ekonominya untuk berlindung di rumah, terlebih lagi pekerja sektor informal yang mata pencahariannya sedari awal sudah rentan dan tidak pasti. Memilih antara mati karena virus corona atau mati karena kelaparan, inilah kenyataannya.
Ketidakbecusan pemerintah dalam mengatasi wabah virus corona, keserakahan pemodal yang mengorbankan nyawa pekerja demi produksi, kerakusan korporasi farmasi yang meraup miliaran dolar di tengah krisis ini, semua ini makin menambah dalam jurang resesi tersebut.
Di seluruh dunia, pemodal miliarder menambah besar pundi kekayaannya sebesar USD 3,9 triliun (atau hampir 50% dari sebelumnya), mencapai USD 11,95 triliun. Untuk perbandingan, USD3,9 triliun itu kira-kira setara dengan 3 kali lipat PDB Indonesia.
Akan sangat sulit membayangkan jika pendapatan dan kekayaan rakyat miskin meningkat selama pandemi. Justru sebaliknya Oxfam melaporkan, 1.000 miliarder terkaya dunia kekayaannya pulih dalam waktu 9 bulan sejak awal krisis pandemi, dan justru telah menambah kekayaannya.
Sementara, bagi rakyat miskin, akan butuh waktu setidaknya 10 tahun sebelum kondisi ekonomi mereka pulih. Ini pun dengan asumsi adanya pemulihan ekonomi yang baik dan merata, serta tidak ada krisis lagi di hari depan; sebuah asumsi yang sulit terwujud mengingat krisis kronik kapitalisme.
Jadi, bahkan bila ada pemulihan ekonomi selepas pandemi, dampak ekonomi krisis pandemi akan berkepanjangan bagi rakyat miskin.
"Di Indonesia kita temui gambaran serupa. Kekayaan 15 konglomerat terkaya di Indonesia naik 33,7%, dari USD 53,7 miliar menjadi USD 71,8 miliar. Musibah nasional tidak menghentikan kapitalis dalam meraup profit," ujar Agung Nugroho, Ketua Nasional Relawan Kesehatan Indonesia (Rekan Indonesia).
Krisis ekonomi global sendiri sebenarnya sudah terjadi sejak 2019, pandemi Covid-19 yang terjadi pada awal 2020 hanyalah sebagai faktor yang makin memperparah krisis ekonomi global tersebut. Pandemi Covid-19 juga menunjukan bahwa krisis ekonomi global semakin dalam masuk ke jurang resesi, dan sampai hari ini dunia tidak mampu keluar dari krisis ekonomi global yang makin parah akibat pandemi Covid-19.
Rakyat miskin tidak bisa menghentikan aktivitas ekonominya untuk berlindung di rumah, terlebih lagi pekerja sektor informal yang mata pencahariannya sedari awal sudah rentan dan tidak pasti. Memilih antara mati karena virus corona atau mati karena kelaparan, inilah kenyataannya.
Ketidakbecusan pemerintah dalam mengatasi wabah virus corona, keserakahan pemodal yang mengorbankan nyawa pekerja demi produksi, kerakusan korporasi farmasi yang meraup miliaran dolar di tengah krisis ini, semua ini makin menambah dalam jurang resesi tersebut.
(akr)