OJK Kolaborasi Dorong Gerakan Rajin Menabung Bagi Pelajar
loading...
A
A
A
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersinergi dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), Kementerian Agama (Kemenag) dan industri perbankan mengeluarkan Program Satu Rekening Satu Pelajar (KEJAR).
Adapun program tersebut dimaksudnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan literasi dan inklusi keuangan bagi kelompok pelajar. Hal ini disampaikan Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Tirta Segara dalam acara kegiatan KEJAR Prestasi Anak Indonesia.
Tirta mengatakan perluasan perlindungan untuk pelajar yang diiringi dengan upaya literasi keuangan, perlindungan konsumen, merupakan langkah yang strategis. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk mencapai tingkat inklusi keuangan sebesar 90% pada tahun 2024.
“Penyediaan akses keuangan untuk masyarakat termasuk untuk pelajar merupakan tanggung jawab semua pihak, karena inklusi keuangan merupakan bagian penting dalam upaya pemulihan ekonomi dan pemerataan pendapatan,” ujarnya, Selasa (24/8/2021).
Di Tengah situasi pandemi, Tirta mengingatkan bahwa pentingnya memiliki dana cadangan adalah hal yang penting untuk dilakukan. Adapun hal itu dapat diupayakan dengan membangun kebiasaan diri menabung sejak dini.
Ia menyebut terdapat lima alasan mengapa gerakan menabung untuk pelajar menjadi sangat krusial. Pertama, pelajar merupakan generasi penerus yang akan membangun Indonesia di masa mendatang.
“Mereka perlu dipersiapkan untuk membangun bangsa Indonesia. Dengan jumlah yang sangat signifikan sekira 65 juta pelajar dari total penduduk Indonesia, para pelajar jelas merupakan critical economic player atau pelaku ekonomi yang sangat strategis. Sehingga perlu dibekali pemahaman keuangan yang memadai,” terangnya.
Kedua, survey dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2019 membuktikan para pelajar pada umumnya memiliki tingkat literasi dan inklusi keuangan yang relatif rendah. Tingkat literasi keuangan penduduk Indonesia berusia 15-17 tahun, hanya 16%. Angka ini masih jauh dari tingkat literasi keuangan nasional sebesar 38%.
Sementara, tingkat inklusi keuangan penduduk Indonesia yang berusia 15-17 tahun juga relatif rendah, yaitu hanya 58%. Ketiga, para pelajar rentan dari sisi keuangan. “Ketika pelajar memiliki uang, mereka akan menghabiskan uang itu untuk kesenangan semata dibandingkan ditabung atau di investasi,” tuturnya.
Keempat, kebanyakan pelajar tidak mempersiapkan dana darurat. Padahal, kata Tirta, pandemi Covid-19 telah menyadarkan kita tentang pentingnya memperkuat ketahanan keuangan. “Terakhir, pelajar pada umumnya suka mengikuti tren. Mereka seringkali meniru apa yang dilakukan tokoh idola atau influencer di media sosial,” sebutnya.
Oleh karena itu, pemahaman keuangan menjadi sangat penting. Adapun hal itu dimaksudkan agar pelajar tidak mudah terperdaya oleh janji-janji manis yang dilontarkan oleh influencer ataupun pihak lain yang mencoba menggiring para pelajar untuk mengahamburkan uang.
Adapun program tersebut dimaksudnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan literasi dan inklusi keuangan bagi kelompok pelajar. Hal ini disampaikan Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Tirta Segara dalam acara kegiatan KEJAR Prestasi Anak Indonesia.
Tirta mengatakan perluasan perlindungan untuk pelajar yang diiringi dengan upaya literasi keuangan, perlindungan konsumen, merupakan langkah yang strategis. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk mencapai tingkat inklusi keuangan sebesar 90% pada tahun 2024.
“Penyediaan akses keuangan untuk masyarakat termasuk untuk pelajar merupakan tanggung jawab semua pihak, karena inklusi keuangan merupakan bagian penting dalam upaya pemulihan ekonomi dan pemerataan pendapatan,” ujarnya, Selasa (24/8/2021).
Di Tengah situasi pandemi, Tirta mengingatkan bahwa pentingnya memiliki dana cadangan adalah hal yang penting untuk dilakukan. Adapun hal itu dapat diupayakan dengan membangun kebiasaan diri menabung sejak dini.
Ia menyebut terdapat lima alasan mengapa gerakan menabung untuk pelajar menjadi sangat krusial. Pertama, pelajar merupakan generasi penerus yang akan membangun Indonesia di masa mendatang.
“Mereka perlu dipersiapkan untuk membangun bangsa Indonesia. Dengan jumlah yang sangat signifikan sekira 65 juta pelajar dari total penduduk Indonesia, para pelajar jelas merupakan critical economic player atau pelaku ekonomi yang sangat strategis. Sehingga perlu dibekali pemahaman keuangan yang memadai,” terangnya.
Kedua, survey dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2019 membuktikan para pelajar pada umumnya memiliki tingkat literasi dan inklusi keuangan yang relatif rendah. Tingkat literasi keuangan penduduk Indonesia berusia 15-17 tahun, hanya 16%. Angka ini masih jauh dari tingkat literasi keuangan nasional sebesar 38%.
Sementara, tingkat inklusi keuangan penduduk Indonesia yang berusia 15-17 tahun juga relatif rendah, yaitu hanya 58%. Ketiga, para pelajar rentan dari sisi keuangan. “Ketika pelajar memiliki uang, mereka akan menghabiskan uang itu untuk kesenangan semata dibandingkan ditabung atau di investasi,” tuturnya.
Keempat, kebanyakan pelajar tidak mempersiapkan dana darurat. Padahal, kata Tirta, pandemi Covid-19 telah menyadarkan kita tentang pentingnya memperkuat ketahanan keuangan. “Terakhir, pelajar pada umumnya suka mengikuti tren. Mereka seringkali meniru apa yang dilakukan tokoh idola atau influencer di media sosial,” sebutnya.
Oleh karena itu, pemahaman keuangan menjadi sangat penting. Adapun hal itu dimaksudkan agar pelajar tidak mudah terperdaya oleh janji-janji manis yang dilontarkan oleh influencer ataupun pihak lain yang mencoba menggiring para pelajar untuk mengahamburkan uang.
(nng)