Afghanistan Dominasi Bisnis Opium dan Heroin Global
loading...
A
A
A
LONDON - Afghanistan mendominasi bisnis opium dan heroin global, yang memberikan satu-satunya pendapatan bagi banyak petani miskin di negara itu. Hal ini akan memberikan keuntungan bagi Taliban yang memeras pajak, biaya perdagangan, dan terlibat dalam budidaya dan produksi.
Kantor Narkoba dan Kejahatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa lebih dari 80% pasokan opium dan heroin global berasal dari Afghanistan. Pada puncaknya tahun 2017, produksi opium menyumbang 7% dari PDB Afghanistan.
Dikutip dari Reuters, Selasa (24/8) negara tersebut juga memiliki cadangan mineral senilai sekitar USD1 triliun seperti besi, tembaga, emas dan lithium, logam tanah jarang yang penting untuk produksi baterai kendaraan listrik, menurut sebuah studi Pentagon 2010. "Bangsa ini memiliki potensi untuk menjadi "Arab Saudi dari lithium," kata memo Pentagon.
Prospek pertambangan dapat menarik kekuatan besar seperti China untuk mengamankan sumber daya guna mendorong ekonomi hijaunya, tetapi akses yang sulit dan kurangnya jalan mempersulit ekstraksi.
Taliban yang merebut kekuasaan di Afghanistan telah mendorong salah satu negara termiskin di dunia itu kembali menjadi pusat perhatian. Kekerasan, ketidakstabilan, dan korupsi selama bertahun-tahun telah melumpuhkan ekonomi Afghanistan, mempersulit bisnis untuk berkembang dan membuat sebagian besar penduduk tetap miskin.
Setelah menyusut 2% pada tahun 2020 karena pandemi COVID-19, produk domestik bruto (PDB) berada di jalur untuk bangkit kembali dan tumbuh sebesar 2,7% tahun ini karena mobilitas dan perdagangan mulai dilanjutkan, IMF memperkirakan pada bulan Juni. Itu sejalan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 2,5% dalam beberapa tahun terakhir, tetapi jauh di bawah tingkat satu digit yang diskalakan dalam dekade setelah invasi AS tahun 2001.
Pergolakan terakhir membuat prospek ekonomi negara itu semakin genting. Fitch pada hari Jumat lalu memperkirakan ekonomi Afghanistan akan mengalami kontraksi tajam turun hingga 20%.
Lebih suramnya lagi, aliran remitansi dan bantuan internasional yang diandalkan Afghanistan di masa depan semakin tidak pasti. Berdasarkan laporan perkiraan Bank Dunia aliran remitasi dari luar ke Afghanistan mencapai USD789 juta pada 2020 atau sekitar 4% dari PDB.
Asian Development Bank melaporkan sekitar dua pertiga penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, dengan pendapatan kurang dari USD1,90 per hari atau naik dari 55% pada 2017. Pertanian adalah sumber pendapatan utama bagi sebagian besar warga Afghanistan dan ekspor utama negara tersebut.
Menurut Organisasi Perdagangan Dunia, Afghanistan mengekspor barang senilai USD783 juta pada 2020, penurunan hampir 10% dibandingkan tahun 2019. Buah-buahan kering, kacang-kacangan, dan tanaman obat merupakan sebagian besar ekspor, terutama ke India dan Pakistan. Tetapi impor minyak, makanan, dan mesin yang besar berarti Afghanistan mengalami defisit perdagangan yang amat besar.
Kantor Narkoba dan Kejahatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa lebih dari 80% pasokan opium dan heroin global berasal dari Afghanistan. Pada puncaknya tahun 2017, produksi opium menyumbang 7% dari PDB Afghanistan.
Dikutip dari Reuters, Selasa (24/8) negara tersebut juga memiliki cadangan mineral senilai sekitar USD1 triliun seperti besi, tembaga, emas dan lithium, logam tanah jarang yang penting untuk produksi baterai kendaraan listrik, menurut sebuah studi Pentagon 2010. "Bangsa ini memiliki potensi untuk menjadi "Arab Saudi dari lithium," kata memo Pentagon.
Prospek pertambangan dapat menarik kekuatan besar seperti China untuk mengamankan sumber daya guna mendorong ekonomi hijaunya, tetapi akses yang sulit dan kurangnya jalan mempersulit ekstraksi.
Taliban yang merebut kekuasaan di Afghanistan telah mendorong salah satu negara termiskin di dunia itu kembali menjadi pusat perhatian. Kekerasan, ketidakstabilan, dan korupsi selama bertahun-tahun telah melumpuhkan ekonomi Afghanistan, mempersulit bisnis untuk berkembang dan membuat sebagian besar penduduk tetap miskin.
Setelah menyusut 2% pada tahun 2020 karena pandemi COVID-19, produk domestik bruto (PDB) berada di jalur untuk bangkit kembali dan tumbuh sebesar 2,7% tahun ini karena mobilitas dan perdagangan mulai dilanjutkan, IMF memperkirakan pada bulan Juni. Itu sejalan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 2,5% dalam beberapa tahun terakhir, tetapi jauh di bawah tingkat satu digit yang diskalakan dalam dekade setelah invasi AS tahun 2001.
Pergolakan terakhir membuat prospek ekonomi negara itu semakin genting. Fitch pada hari Jumat lalu memperkirakan ekonomi Afghanistan akan mengalami kontraksi tajam turun hingga 20%.
Lebih suramnya lagi, aliran remitansi dan bantuan internasional yang diandalkan Afghanistan di masa depan semakin tidak pasti. Berdasarkan laporan perkiraan Bank Dunia aliran remitasi dari luar ke Afghanistan mencapai USD789 juta pada 2020 atau sekitar 4% dari PDB.
Asian Development Bank melaporkan sekitar dua pertiga penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, dengan pendapatan kurang dari USD1,90 per hari atau naik dari 55% pada 2017. Pertanian adalah sumber pendapatan utama bagi sebagian besar warga Afghanistan dan ekspor utama negara tersebut.
Menurut Organisasi Perdagangan Dunia, Afghanistan mengekspor barang senilai USD783 juta pada 2020, penurunan hampir 10% dibandingkan tahun 2019. Buah-buahan kering, kacang-kacangan, dan tanaman obat merupakan sebagian besar ekspor, terutama ke India dan Pakistan. Tetapi impor minyak, makanan, dan mesin yang besar berarti Afghanistan mengalami defisit perdagangan yang amat besar.
(nng)