Ngeri! Asia Tenggara Bisa Tekor Rp952 Kuadriliun Jika Abaikan Perubahan Iklim
loading...
A
A
A
JAKARTA - Laporan Deloitte menyebutkan, ekonomi Asia Tenggara diprediksi bisa kehilangan triliunan dolar dalam 50 tahun ke depan jika kawasan itu tidak bertindak untuk mengurangi emisi karbon secara signifikan. Laporan itu menambahkan bahwa kawasan Asia Tenggara juga berada pada titik balik yang dapat mengubah kondisi ini menjadi peluang.
Jika Asia Tenggara meningkatkan upaya perubahan iklim dan mengurangi emisi dengan cepat, kawasan ini disebut dapat meraup keuntungan ekonomi sebesar USD12,5 triliun dalam nilai saat ini - dengan pertumbuhan PDB rata-rata 3,5% setiap tahun selama 50 tahun ke depan.
“Potensi masa depan ini tidak hanya menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim, tetapi juga menciptakan pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang sejahtera bagi Asia Tenggara dan dunia,” kata Deloitte seperti dilansir CNBC, Jumat (3/9/2021).
Sebaliknya, perubahan iklim yang tak tanggung-tanggung mengancam akan menghapus puluhan tahun pertumbuhan ekonomi yang diperoleh dengan susah payah di Asia Tenggara. Jika gagal mengantisipasi hal ini, menurut perhitungan Deloitte, ekonomi kawasan Asia Tenggara akan kehilangan sekitar USD28 triliun atau sekitar Rp952 kuadriliun dalam 50 tahun ke depan.
Selain itu, menurut perkiraan Deloitte, perubahan iklim juga akan mengurangi pertumbuhan ekonomi rata-rata 7,5% setiap tahun dalam periode yang sama.
Asia Tenggara adalah rumah bagi setengah miliar orang dan memiliki produk domestik bruto (PDB) sebesar USD3 triliun. Wilayah yang didefinisikan dalam laporan sebagai Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Vietnam, Timor-Leste dan Thailand ini telah menikmati pertumbuhan PDB tahunan rata-rata 5% hingga 12% sejak abad 21.
“Namun perubahan iklim yang tak tanggung-tanggung mengancam akan menghapus puluhan tahun pertumbuhan ekonomi yang diperoleh dengan susah payah di Asia Tenggara,” kata Deloitte.
Fondasi kemakmuran kawasan ini, yakni sumber daya alam dan manusia, berada dalam risiko. Bersamaan dengan itu standar hidup setiap negara, prospeknya untuk pertumbuhan di masa depan, tempatnya di panggung global, dan kesejahteraan rakyatnya juga menghadapi risiko.
Dari pertanian hingga pariwisata, kelambanan penanganan perubahan iklim akan menyebabkan gangguan besar karena hilangnya mata pencaharian karena naiknya permukaan laut dan bencana alam.
Deloittee enyebutkan, industri-industri yang bakal kehilangan triliunan pada tahun 2070 antara lain: Industri jasa, yang diprediksi bisa kehilangan USD9 triliun; Sektor manufaktur yang menghadapi kerugian USD7 triliun; Serta ritel dan pariwisata yang secara kolektif bisa kehilangan USD5 triliun.
Padahal, bersama-sama dengan sektor konstruksi, pertambangan dan gas, sektor-sektor ini menyumbang 83% dari output ekonomi kawasan Asia Tenggara. “Dampak dari perubahan iklim akan dirasakan di seluruh negara dan industri Asia Tenggara, dengan beberapa menanggung beban ekonomi lebih dari yang lain,” ungkap laporan tersebut.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memperingatkan bahwa menjaga pemanasan global mendekati 1,5°C di atas tingkat pra-industri "akan berada di luar jangkauan" dalam dua dekade mendatang kecuali tindakan segera diambil untuk mengurangi emisi karbon. “Ada urgensi bagi negara dan pemerintah untuk bertindak cepat - dalam 10 tahun ke depan - untuk menghindari kerusakan permanen akibat perubahan iklim,” tegas Chief Executive Officer Deloitte Asia Tenggara Philip Yuen.
Jika Asia Tenggara meningkatkan upaya perubahan iklim dan mengurangi emisi dengan cepat, kawasan ini disebut dapat meraup keuntungan ekonomi sebesar USD12,5 triliun dalam nilai saat ini - dengan pertumbuhan PDB rata-rata 3,5% setiap tahun selama 50 tahun ke depan.
“Potensi masa depan ini tidak hanya menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim, tetapi juga menciptakan pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang sejahtera bagi Asia Tenggara dan dunia,” kata Deloitte seperti dilansir CNBC, Jumat (3/9/2021).
Sebaliknya, perubahan iklim yang tak tanggung-tanggung mengancam akan menghapus puluhan tahun pertumbuhan ekonomi yang diperoleh dengan susah payah di Asia Tenggara. Jika gagal mengantisipasi hal ini, menurut perhitungan Deloitte, ekonomi kawasan Asia Tenggara akan kehilangan sekitar USD28 triliun atau sekitar Rp952 kuadriliun dalam 50 tahun ke depan.
Selain itu, menurut perkiraan Deloitte, perubahan iklim juga akan mengurangi pertumbuhan ekonomi rata-rata 7,5% setiap tahun dalam periode yang sama.
Asia Tenggara adalah rumah bagi setengah miliar orang dan memiliki produk domestik bruto (PDB) sebesar USD3 triliun. Wilayah yang didefinisikan dalam laporan sebagai Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Vietnam, Timor-Leste dan Thailand ini telah menikmati pertumbuhan PDB tahunan rata-rata 5% hingga 12% sejak abad 21.
“Namun perubahan iklim yang tak tanggung-tanggung mengancam akan menghapus puluhan tahun pertumbuhan ekonomi yang diperoleh dengan susah payah di Asia Tenggara,” kata Deloitte.
Fondasi kemakmuran kawasan ini, yakni sumber daya alam dan manusia, berada dalam risiko. Bersamaan dengan itu standar hidup setiap negara, prospeknya untuk pertumbuhan di masa depan, tempatnya di panggung global, dan kesejahteraan rakyatnya juga menghadapi risiko.
Dari pertanian hingga pariwisata, kelambanan penanganan perubahan iklim akan menyebabkan gangguan besar karena hilangnya mata pencaharian karena naiknya permukaan laut dan bencana alam.
Deloittee enyebutkan, industri-industri yang bakal kehilangan triliunan pada tahun 2070 antara lain: Industri jasa, yang diprediksi bisa kehilangan USD9 triliun; Sektor manufaktur yang menghadapi kerugian USD7 triliun; Serta ritel dan pariwisata yang secara kolektif bisa kehilangan USD5 triliun.
Padahal, bersama-sama dengan sektor konstruksi, pertambangan dan gas, sektor-sektor ini menyumbang 83% dari output ekonomi kawasan Asia Tenggara. “Dampak dari perubahan iklim akan dirasakan di seluruh negara dan industri Asia Tenggara, dengan beberapa menanggung beban ekonomi lebih dari yang lain,” ungkap laporan tersebut.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memperingatkan bahwa menjaga pemanasan global mendekati 1,5°C di atas tingkat pra-industri "akan berada di luar jangkauan" dalam dua dekade mendatang kecuali tindakan segera diambil untuk mengurangi emisi karbon. “Ada urgensi bagi negara dan pemerintah untuk bertindak cepat - dalam 10 tahun ke depan - untuk menghindari kerusakan permanen akibat perubahan iklim,” tegas Chief Executive Officer Deloitte Asia Tenggara Philip Yuen.
(fai)