Harus Berkeadilan, RUU EBT Jangan Sampai Ditunggangi Motif Bisnis
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerhati sektor energi meminta Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan ( RUU EBT ) tidak ditunggangi motif bisnis. Dengan begitu, regulasi yang akan memayungi pengembangan EBT Tanah Air itu diharapkan mampu membangun kemandirian energi, industri nasional, dan kesejahteraan masyarakat.
Hal itu diungkapkan akademisi, pengamat energi dan pegiat hak-hak konsumen dalam acara Polemik MNC Trijaya bertajuk "Regulasi EBT untuk Siapa?". Direktur Eksekutif IRRES Marwan Batubara dalam acara tersebut mengatakan, kekhawatiran adanya motif bisnis dalam pembentukan regulasi itu mengemuka karena Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkesan mengesampingkan pendapat para akademisi dan pemangku kepentingan lain dalam pembahasan regulasi EBT tersebut.
"Terkesan bahwa mereka tidak menganggap penting aspirasi dari publik, terutama dari para pakar yang ada di kampus," ungkap Marwan, Sabtu (4/9/2021).
Padahal, kata Marwan, berdasarkan Undang-Undang (UU) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Nomor 12 tahun 2011, publik wajib dilibatkan, terlebih lagi para pakar.
Karena itulah, sambungnya, dia bersama para akademisi dan ekonom mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo untuk memberikan masukan tentang RUU EBT baru-baru ini. Pihaknya berharap dengan informasi yang lebih lengkap, Kepala Negara bisa menerbitkan regulasi yang lebih berkeadilan.
"Jangan sampai karena hanya mendapat informasi dari satu pihak regulasi yang muncul lebih banyak untuk kepentingan bisnis, mengakomodasi motif-motif bisnis yang berlindung dalam narasi pencapaian target bauran EBT 23% (di 2025) dan mitigasi perubahan iklim," tandasnya.
Kepentingan bisnis itu, dicontohkan Marwan, berupa skema feed in tarif dalam RUU EBT yang berpotensi merugikan dalam jangka panjang, atau perubahan tarif ekspor-impor listrik dari PLTS Atap dari 0,65:1 menjadi 1:1 dalam revisi Permen ESDM Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
"Pakar mengatakan yang fair itu 0,65:1, karena ada biaya yang harus dikeluarkan PLN dalam prosesnya. Tapi kalau 1:1 ini bisa bikin PLN tidak efisien, lalu biaya operasional akan meningkat, yang berpotensi ditanggung APBN atau konsumen. Kalau ini dipaksakan hanya pemilik PLTS Atap yang diuntungkan, return investasinya jadi lebih cepat, ini kan artinya motif bisnis," cetusnya.
Dalam diskusi yang sama, Profesor Mukhtasor dari ITS meminta motif dasar pembuatan UU EBT harus jelas. Jika dasarnya adalah upaya menurunkan emisi karbon, menurutnya tak ada hal yang sangat krusial untuk menggenjot pembangunan EBT dengan mengorbankan kepentingan pihak lain.
Hal itu diungkapkan akademisi, pengamat energi dan pegiat hak-hak konsumen dalam acara Polemik MNC Trijaya bertajuk "Regulasi EBT untuk Siapa?". Direktur Eksekutif IRRES Marwan Batubara dalam acara tersebut mengatakan, kekhawatiran adanya motif bisnis dalam pembentukan regulasi itu mengemuka karena Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkesan mengesampingkan pendapat para akademisi dan pemangku kepentingan lain dalam pembahasan regulasi EBT tersebut.
"Terkesan bahwa mereka tidak menganggap penting aspirasi dari publik, terutama dari para pakar yang ada di kampus," ungkap Marwan, Sabtu (4/9/2021).
Padahal, kata Marwan, berdasarkan Undang-Undang (UU) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Nomor 12 tahun 2011, publik wajib dilibatkan, terlebih lagi para pakar.
Karena itulah, sambungnya, dia bersama para akademisi dan ekonom mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo untuk memberikan masukan tentang RUU EBT baru-baru ini. Pihaknya berharap dengan informasi yang lebih lengkap, Kepala Negara bisa menerbitkan regulasi yang lebih berkeadilan.
"Jangan sampai karena hanya mendapat informasi dari satu pihak regulasi yang muncul lebih banyak untuk kepentingan bisnis, mengakomodasi motif-motif bisnis yang berlindung dalam narasi pencapaian target bauran EBT 23% (di 2025) dan mitigasi perubahan iklim," tandasnya.
Kepentingan bisnis itu, dicontohkan Marwan, berupa skema feed in tarif dalam RUU EBT yang berpotensi merugikan dalam jangka panjang, atau perubahan tarif ekspor-impor listrik dari PLTS Atap dari 0,65:1 menjadi 1:1 dalam revisi Permen ESDM Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
"Pakar mengatakan yang fair itu 0,65:1, karena ada biaya yang harus dikeluarkan PLN dalam prosesnya. Tapi kalau 1:1 ini bisa bikin PLN tidak efisien, lalu biaya operasional akan meningkat, yang berpotensi ditanggung APBN atau konsumen. Kalau ini dipaksakan hanya pemilik PLTS Atap yang diuntungkan, return investasinya jadi lebih cepat, ini kan artinya motif bisnis," cetusnya.
Dalam diskusi yang sama, Profesor Mukhtasor dari ITS meminta motif dasar pembuatan UU EBT harus jelas. Jika dasarnya adalah upaya menurunkan emisi karbon, menurutnya tak ada hal yang sangat krusial untuk menggenjot pembangunan EBT dengan mengorbankan kepentingan pihak lain.