Harus Berkeadilan, RUU EBT Jangan Sampai Ditunggangi Motif Bisnis
loading...
A
A
A
"Kalau cuma menurunkan emisi, kita itu sebenarnya sedang baik-baik saja. Emisi sektor kelistrikan itu turun dari 1.669 juta ton CO2 jadi 1.355 juta ton CO2 ekuivalen, yang perlu dikhawatirkan itu justru di sektor kehutanan, bisa tidak hentikan kebakaran hutan, alih fungsi lahan untuk tekan emisi karbon," ujarnya.
Sementara, jika motifnya adalah untuk mencapai bauran EBT 23% di 2025 dari sekitar 11,5% saat ini, Mukhtasor mengingatkan bahwa target itu bukanlah sesuatu yang harus dicapai dengan segala cara. Dia mengingatkan, narasi target 23% EBT di 2025 yang kerap didengungkan pemerintah saat ini tidak lengkap.
"Jangan pakai jurus ekor cicak, putus tapi tetap bergerak-gerak. Target 23% di 2025 ini kalimat lengkapnya adalah sepanjang keekonomiannya terpenuhi. Jadi kalau keekonomian ini tidak terpenuhi, ya nggak harus," tandasnya.
Dalam kondisi ekonomi yang sedang tertekan oleh pandemi Covid-19 saat ini, tegas Mukhtasor, sumber daya anggaran harus dimaksimalkan untuk banyak hal lain seperti sektor kesehatan, pengentasan kemiskinan, dan lainnya. "Apalagi kalau nanti harga listrik harus dinaikkan karena harga listriknya naik akibat feed in tariff pembangkit EBT, jangan sampai," tegasnya.
Sementara, Ketua Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan bahwa RUU EBT harus mewakili kepentingan semua, khususnya stakeholder yang utama. Kendati bertujuan positif, dia berharap regulasi yang dibuat tidak justru memberatkan konsumen di masa datang.
"Sejauh yang saya amati, ini memang jadi dilema bagi pemerintah. Target bauran EBT 23% sekarang baru tercapai 11,5% artinya masih banyak yang harus dikejar. Tapi harus ada kebijakan yang fair untuk semua pihak, jangan ada yang dikorbankan," ujarnya.
Dia mencontohkan tarif impor-ekspor listrik PLTS Atap yang akan diubah dari 0,65:1 menjadi 1:1. Menurutnya, perbandingan tarif lama 0,65:1 masih menjadi solusi yang adil bagi sedikit konsumen PLN yang mampu memiliki PLTS Atap dan masyarakat pada umumnya yang menjadi konsumen PLN.
Lihat Juga: Gotong Royong Bangun Jargas, Solusi Kurangi Beban Subsidi Energi lewat Optimalisasi Gas Domestik
Sementara, jika motifnya adalah untuk mencapai bauran EBT 23% di 2025 dari sekitar 11,5% saat ini, Mukhtasor mengingatkan bahwa target itu bukanlah sesuatu yang harus dicapai dengan segala cara. Dia mengingatkan, narasi target 23% EBT di 2025 yang kerap didengungkan pemerintah saat ini tidak lengkap.
"Jangan pakai jurus ekor cicak, putus tapi tetap bergerak-gerak. Target 23% di 2025 ini kalimat lengkapnya adalah sepanjang keekonomiannya terpenuhi. Jadi kalau keekonomian ini tidak terpenuhi, ya nggak harus," tandasnya.
Dalam kondisi ekonomi yang sedang tertekan oleh pandemi Covid-19 saat ini, tegas Mukhtasor, sumber daya anggaran harus dimaksimalkan untuk banyak hal lain seperti sektor kesehatan, pengentasan kemiskinan, dan lainnya. "Apalagi kalau nanti harga listrik harus dinaikkan karena harga listriknya naik akibat feed in tariff pembangkit EBT, jangan sampai," tegasnya.
Sementara, Ketua Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan bahwa RUU EBT harus mewakili kepentingan semua, khususnya stakeholder yang utama. Kendati bertujuan positif, dia berharap regulasi yang dibuat tidak justru memberatkan konsumen di masa datang.
"Sejauh yang saya amati, ini memang jadi dilema bagi pemerintah. Target bauran EBT 23% sekarang baru tercapai 11,5% artinya masih banyak yang harus dikejar. Tapi harus ada kebijakan yang fair untuk semua pihak, jangan ada yang dikorbankan," ujarnya.
Dia mencontohkan tarif impor-ekspor listrik PLTS Atap yang akan diubah dari 0,65:1 menjadi 1:1. Menurutnya, perbandingan tarif lama 0,65:1 masih menjadi solusi yang adil bagi sedikit konsumen PLN yang mampu memiliki PLTS Atap dan masyarakat pada umumnya yang menjadi konsumen PLN.
Lihat Juga: Gotong Royong Bangun Jargas, Solusi Kurangi Beban Subsidi Energi lewat Optimalisasi Gas Domestik
(fai)