Menakar Dampak Tapering Off The Fed Bagi Indonesia

Kamis, 23 September 2021 - 21:32 WIB
loading...
A A A
Bagaimana dengan risiko yang dihadapi Indonesia tahun ini? Dalam riset yang dipublikasikan oleh Nomura Research Institute, sebuah lembaga riset ekonomi terbesar di Jepang, Indonesia masuk ke daftar 10 negara rentan (fragile 10) terdampak bersama Brasil, Kolombia, Chili, Peru, Hongaria, Rumania, Turki, Afrika Selatan, dan Filipina jika tapering off dilakukan. Sebelumnya, Nomura juga memasukkan Indonesia ke dalam daftar 5 negara berkembang rentan selama taper tantrum di 2013 bersama Brasil, India, Afrika Selatan, dan Turki.

Nomura menyebutkan penyebab rentannya 10 negara tersebut adalah kombinasi dari pertumbuhan ekonomi yang lemah, inflasi yang meningkat, dan berkurangnya kekuatan fiskal. Situasi di negara – negara berkembang di mana inflasi lebih tinggi daripada suku bunga juga menjadi sumber kerentanan.

Namun, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo cukup optimis dampak tapering off The Fed tidak akan sebesar taper tantrum pada tahun 2013 baik untuk pasar global, emerging market, bahkan Indonesia. Hal tersebut berdasarkan pada beberapa poin termasuk komunikasi The Fed yang sangat terbuka terkait kerangka kerja dan kebijakan sehingga Indonesia lebih mudah memahami pola kerja The Fed ke depannya.

Dari sisi internal BI sendiri, telah ada kebijakan yang matang dalam mengelola risiko tapering off baik kepada nilai tukar rupiah maupun pergerakan arus modal asing, selain itu BI juga memiliki bantalan cukup besar berupa cadangan devisa yang hingga akhir Juli 2021 berada di posisi USD137,4 miliar sehingga dianggap cukup untuk melakukan stabilisasi di tengah risiko tapering off.

“Tidak dapat dipungkiri dampak tapering off tahun 2013 silam berimbas cukup kuat terhadap perekonomian Indonesia, di mana salah satu penyebabnya adalah cukup tingginya arus dana asing yang masuk ke pasar saham Indonesia dari kebijakan Quantitative Easing (QE) setelah krisis keuangan 2008 dan Current Account Deficit (CAD) pada tahun 2013 yang mencapai lebih dari 3% dari pertumbuhan ekonomi," ujar CEO/Managing Partner Grant Thornton Indonesia, Johanna Gani.



Dampak paling terasa dari taper tantrum 2013 yaitu merosotnya nilai tukar rupiah hingga puncak pelemahan terjadi pada September 2015 dimana pada akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/USD sampai pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/USD, yang berarti terjadi pelemahan lebih dari 50%. Sedangkan IHSG saat itu pun jatuh dari level 5.200 ke level 4.200 di akhir 2013.

“Namun secara keseluruhan dampak tapering off The Fed diprediksi tidak akan seberat 2013. Pertama, the Fed sudah sangat transparan dalam hal komunikasi khususnya prospek ekononomi seperti inflasi dan penggangguran, termasuk terkait rencana tapering off yang akan dilakukan tahun ini. Kedua, kondisi makro-ekonomi dalam negeri yang juga lebih baik dibandingkan 2013, antara lain dengan cadangan devisa yang cukup tinggi mencapai USD137,4 miliar pada Juli 2021. Angka cadangan devisa ini jauh lebih tinggi dibandingkan pada Juni 2013 yang hanya mencapai USD98,1 miliar,” sambung Johanna.

“Kami mendukung pemerintah terutama BI sebagai regulator untuk mengantisipasi dampak tapering off dari jauh-jauh hari termasuk kesiapan untuk melakukan intervensi, seperti intervensi di pasar spot hingga pembelian SBN di pasar sekunder jika pihak asing melepas kepemilikan SBN mereka. Dengan adanya persiapan yang lebih matang, semoga dampak tapering off kali ini terhadap depresiasi rupiah masih berada dalam tahap yang wajar,” tutup Johanna.
(akr)
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1761 seconds (0.1#10.140)