Efek Kasus Evergrande China Justru Bagus Buat Indonesia, Kok Bisa?

Minggu, 26 September 2021 - 18:01 WIB
loading...
Efek Kasus Evergrande...
Evergrande terjadi di China bukan karena harga properti hancur, tapi karena pemerintah melihat perkembangan properti terlalu cepat. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Potensi gagal bayar atau default raksasa korporasi real estate China Evergrande lantaran terbebani utang senilai USD350 miliar, secara jangka panjang justru menjadi momentum yang baik dan membawa optimisme bagi beberapa sektor emiten di Indonesia.

Direktur Panin Asset Management Winston Sual mengatakan, Evergrande terjadi di China bukan karena harga properti hancur, tapi karena pemerintah melihat perkembangan properti terlalu cepat dan harga meningkat signifikan. Mereka sudah memprediksi jika banyak orang yang spekulasi di properti, dalam beberapa tahun mendatang bahkan harga akan jatuh.

"Saya lihat, efeknya buat Indonesia justru bagus. Pertama, 'bisul' mereka sudah pecah duluan sehingga China punya sektor properti yang sustain, dan sebagai salah satu negara pengimpor natural resources dari Indonesia, karena demand bisa terus bertambah dengan sehat," ujarnya pada diskusi virtual, dikutip Minggu (26/9/2021).



Winston mengungkap fenomena keberanian China untuk berkorban demi stabilitas ini pun berpotensi membuka mata investor dunia bahwa risiko ketidakpastian berkaitan regulasi di China begitu signifikan. Alhasil bisa sedikit mengubah arus modal dari investor ke negara lain.

Regulasi pemerintah bisa secara signifikan mengubah prospek suatu perusahaan atas nama kepentingan nasional. Tidak ada pertimbangan apakah investor untung atau rugi.

"Investor mulai melihat harus ada diskon terhadap financial asset dari China karena faktor regulatory risk terlalu tinggi. Pemerintah sewaktu-waktu bisa mengubah suatu perusahaan yang untung tiba-tiba dalam satu hari bisa berubah menjadi kurang beruntung," tukasnya.

Selain properti, China merupakan salah satu konsumen terbesar batubara dari Indonesia. Selain batu bara, Indonesia juga getol mengekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) ke China.



Direktur dan Sekretaris Perusahaan PT Bumi Resources Tbk (BUMI) Dileep Srivastava mengatakan, kemungkinan kasus Evergrande tersebut tidak benar-benar mempengaruhi Indonesia saat ini. Dileep menyebut, pada tahun periode normal, persentase penjualan batubara BUMI yang diekspor ke China sekitar 20%.

Senada, Head of Corporate Communication PT Indika Energy Tbk (INDY) Ricky Fernando mengatakan, saat ini permintaan batu bara dari China masih solid. Bahkan, kuota impor INDY naik 10% dari tahun lalu.

Maka itu, Analis Ciptadana Sekuritas Thomas Radityo menyebut dalam risetnya, prospek permintaan batu bara dari China masih menjanjikan, salah satunya berasal dari sektor pembangkit listrik. Permintaan dari segmen ini masih cukup tinggi meskipun diadang sentimen inisiatif zero (netral) karbon.

Thomas meyakini harga batubara akan tetap stabil hingga akhir tahun 2021 atau setidaknya hingga akhir persediaan musim dingin. Namun, harga batubara akan mulai sedikit terkonsolidasi dan menjadi normal mulai tahun 2022 dan seterusnya karena negara-negara produsen batubara akan mulai meningkatkan produksi.
(ind)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1639 seconds (0.1#10.140)