Gawat! Krisis Energi Eropa Masih Terjadi Beberapa Bulan Lagi
loading...
A
A
A
PARIS - Menteri Keuangan Prancis, Bruno Le Maire memprediksi krisis energi di Eropa baru akan berakhir dalam beberapa bulan ke depan. Namun Ia meyakini harga-harga komoditas energi bakal turun sejalan dengan pemulihan ekonomi di negara-negara Eropa.
Sementara itu Juru Bicara Pemerintah Gabriel Attal menegaskan bahwa Prancis bakal mempertimbangkan sejumlah kebijakan baru untuk menangani hal yang temporer ini.
"Kami sedang melaksanakan kebijakan tambahan," tuturnya, dilansir Reuters, Selasa (28/9/2021).
Untuk diketahui, sejumlah harga komoditas energi seperti gas alam , minyak bumi, dan batu bara terus mengalami peningkatan dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini menimbulkan kekhawatiran investor atas tekanan inflasi serta dapat mengancam kepercayaan konsumen.
Pada Senin (27/9), Badan Regulator Energi Prancis mengatakan, harga gas akan mulai naik 12,6% pada 1 Oktober mendatang.
Pada dua pekan sebelumnya, pemerintah Prancis akan memberikan subsidi sebanyak 100 euro kepada sekitar 5,8 juta rumah tangga untuk mengurangi beban biaya energi yang meningkat dalam hal ini tarif listrik dan gas alam.
Krisis energi yang saat ini menjerat Inggris dan kawasan Eropa, dan juga China membuat negara-negara ini kembali beralih ke pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berbahan batu bara. Ini membuktikan bahwa penyediaan energi murah dengan pasokan yang terjaga menjadi hal yang paling utama.
Ketika harga gas bumi melambung tinggi, Inggris dan negara-negara di kawasan Eropa kembali memilih untuk menggunakan PLTU batu bara. Sedangkan krisis listrik di China disebabkan berkurangnya pasokan batu bara untuk mengejar target emisi dan iklim.
Sementara itu belum lama ini, Inggris memutuskan untuk memajukan targetnya mengakhiri penggunaan PLTU batu bara setahun lebih cepat menjadi Oktober 2024. Langkah ini dilakukan sebagai upaya untuk mendorong negara lain untuk segera menghentikan konsumsi batu bara.
Di Inggris, krisis terjadi akibat naiknya harga gas di Eropa. Harga gas melambung tinggi 250% sejak Januari 2021. Kombinasi musim dingin mendorong permintaan, serta dibukanya kembali perekonomian negara-negara di kawasan setelah sempat melakukan lockdown.
Sementara itu pasokan menipis, ketika ada penghentian produksi di fasilitas milik Amerika Serikat (AS). Salah satu penyebabnya pengetatan aturan pasar karbon di Uni Eropa (UE).
Sementara itu Juru Bicara Pemerintah Gabriel Attal menegaskan bahwa Prancis bakal mempertimbangkan sejumlah kebijakan baru untuk menangani hal yang temporer ini.
"Kami sedang melaksanakan kebijakan tambahan," tuturnya, dilansir Reuters, Selasa (28/9/2021).
Untuk diketahui, sejumlah harga komoditas energi seperti gas alam , minyak bumi, dan batu bara terus mengalami peningkatan dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini menimbulkan kekhawatiran investor atas tekanan inflasi serta dapat mengancam kepercayaan konsumen.
Pada Senin (27/9), Badan Regulator Energi Prancis mengatakan, harga gas akan mulai naik 12,6% pada 1 Oktober mendatang.
Pada dua pekan sebelumnya, pemerintah Prancis akan memberikan subsidi sebanyak 100 euro kepada sekitar 5,8 juta rumah tangga untuk mengurangi beban biaya energi yang meningkat dalam hal ini tarif listrik dan gas alam.
Krisis energi yang saat ini menjerat Inggris dan kawasan Eropa, dan juga China membuat negara-negara ini kembali beralih ke pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berbahan batu bara. Ini membuktikan bahwa penyediaan energi murah dengan pasokan yang terjaga menjadi hal yang paling utama.
Ketika harga gas bumi melambung tinggi, Inggris dan negara-negara di kawasan Eropa kembali memilih untuk menggunakan PLTU batu bara. Sedangkan krisis listrik di China disebabkan berkurangnya pasokan batu bara untuk mengejar target emisi dan iklim.
Sementara itu belum lama ini, Inggris memutuskan untuk memajukan targetnya mengakhiri penggunaan PLTU batu bara setahun lebih cepat menjadi Oktober 2024. Langkah ini dilakukan sebagai upaya untuk mendorong negara lain untuk segera menghentikan konsumsi batu bara.
Di Inggris, krisis terjadi akibat naiknya harga gas di Eropa. Harga gas melambung tinggi 250% sejak Januari 2021. Kombinasi musim dingin mendorong permintaan, serta dibukanya kembali perekonomian negara-negara di kawasan setelah sempat melakukan lockdown.
Sementara itu pasokan menipis, ketika ada penghentian produksi di fasilitas milik Amerika Serikat (AS). Salah satu penyebabnya pengetatan aturan pasar karbon di Uni Eropa (UE).
(akr)