Larangan Menampilkan Produk IHT Menekan Roda Perekonomian
loading...
A
A
A
JAKARTA - Seruan Gubernur DKI Jakarta (Sergub) No 8/2021 tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Rokok masih mengundang banyak kritik. Salah satu poin utama seruan ini adalah larangan memasang reklame dan display rokok, termasuk juga memajang kemasan produk rokok di tempat berniaga.
Dewan Penasihat Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia ( Hippindo ) Tutum Rahanta mengatakan kebijakan tersebut kurang tepat dan tidak beralasan. Kebijakan tersebut dia nilai memperlakukan produk industri hasil tembakau (IHT) sebagai barang ilegal.
“Padahal sebelum ini juga sudah sangat dibatasi dan kami semua patuh. Semua sudah ada aturan perdagangannya termasuk kewajiban seperti pajak yang kami patuhi,” kata Tutum dalam keterangan rilisnya di Jakarta, Selasa (5/10/2021).
Menurutnya, larangan menampilkan produk industri hasil tembakau dan zat adiktif akan menekan roda perekonomian yang saat ini masih jauh dari kata normal.
Selain itu, Sergub juga bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi yakni PP No 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan yang menyatakan bahwa produk rokok yang sah dan secara legal mendapatkan kepastian untuk dijual jika sudah memenuhi ketentuan yang diatur seperti kemasan, kandungan produk, perpajakan, dan rentetan aturan lainnya.
“Kami juga tidak sembarangan menjual di mana saja, harus jauh dari tempat ibadah dan jangkauan anak-anak,” jelas Tutum.
Dia juga menyayangkan seruan ini dikeluarkan tanpa sosialisasi, sehingga banyak pelaku usaha yang terkejut dengan kebijakan ini. Tutum juga berharap kebijakan ini dicabut karena bisa memberikan sentimen buruk bagi kepastian berusaha secara garis besar.
Pakar Kebijakan Publik Trubus Rahardiansyah mengungkapkan kebijakan Anies Baswedan tidak memiliki urgensi apapun. Terlebih, kebijakan berupa seruan itu sesungguhnya tidak mengikat, karena serupa layaknya himbauan yang tidak perlu ditaati.
“Seruan Gubernur No 8 tahun 2021 tidak ada urgensinya. Seruan itu juga bukan peraturan yang mengikat, sehingga tidak perlu ditaati, jadi untuk apa?” ungkapnya.
Persoalannya, terbitnya Seruan Gubernur itu telah memicu polemik dan keresahan masyarakat khususnya mereka yang bergantung dalam rantai industri IHT. “Kalau hanya mengundang keresahan masyarakat dan tidak menjawab persoalan yang tengah dihadapi, maka terbitnya aturan itu sangat bisa disinyalir sebagai upaya pencitraan semata, atau ada dorongan dari pihak-pihak tertentu yang anti tembakau,” jelas Trubus.
Dewan Penasihat Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia ( Hippindo ) Tutum Rahanta mengatakan kebijakan tersebut kurang tepat dan tidak beralasan. Kebijakan tersebut dia nilai memperlakukan produk industri hasil tembakau (IHT) sebagai barang ilegal.
“Padahal sebelum ini juga sudah sangat dibatasi dan kami semua patuh. Semua sudah ada aturan perdagangannya termasuk kewajiban seperti pajak yang kami patuhi,” kata Tutum dalam keterangan rilisnya di Jakarta, Selasa (5/10/2021).
Menurutnya, larangan menampilkan produk industri hasil tembakau dan zat adiktif akan menekan roda perekonomian yang saat ini masih jauh dari kata normal.
Selain itu, Sergub juga bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi yakni PP No 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan yang menyatakan bahwa produk rokok yang sah dan secara legal mendapatkan kepastian untuk dijual jika sudah memenuhi ketentuan yang diatur seperti kemasan, kandungan produk, perpajakan, dan rentetan aturan lainnya.
“Kami juga tidak sembarangan menjual di mana saja, harus jauh dari tempat ibadah dan jangkauan anak-anak,” jelas Tutum.
Dia juga menyayangkan seruan ini dikeluarkan tanpa sosialisasi, sehingga banyak pelaku usaha yang terkejut dengan kebijakan ini. Tutum juga berharap kebijakan ini dicabut karena bisa memberikan sentimen buruk bagi kepastian berusaha secara garis besar.
Pakar Kebijakan Publik Trubus Rahardiansyah mengungkapkan kebijakan Anies Baswedan tidak memiliki urgensi apapun. Terlebih, kebijakan berupa seruan itu sesungguhnya tidak mengikat, karena serupa layaknya himbauan yang tidak perlu ditaati.
“Seruan Gubernur No 8 tahun 2021 tidak ada urgensinya. Seruan itu juga bukan peraturan yang mengikat, sehingga tidak perlu ditaati, jadi untuk apa?” ungkapnya.
Persoalannya, terbitnya Seruan Gubernur itu telah memicu polemik dan keresahan masyarakat khususnya mereka yang bergantung dalam rantai industri IHT. “Kalau hanya mengundang keresahan masyarakat dan tidak menjawab persoalan yang tengah dihadapi, maka terbitnya aturan itu sangat bisa disinyalir sebagai upaya pencitraan semata, atau ada dorongan dari pihak-pihak tertentu yang anti tembakau,” jelas Trubus.