PPN Naik Jadi 11%, Awas Berisiko Menahan Laju Pemulihan Ekonomi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penetapan Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ) yang naik menjadi 11% pada 1 April 2022 diyakini akan menimbulkan risiko terhadap pemulihan ekonomi . Terutama menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, ppn naik bakal menekan daya beli.
“Soal PPN yang tarifnya akan naik sangat berisiko terhadap pemulihan ekonomi khususnya dampak ke daya beli kelas menengah pasti terasa,” ujarnya kepada MNC Portal, Jumat (8/10/2021).
Menurutnya jika harga barang naik maka terjadi inflasi, sementara belum tentu daya beli masyarakat akan langsung pulih pada 2022. Sehingga akibatnya, masyarakat hanya memiliki dua opsi, yakni mengurangi belanja untuk berhemat atau mencari alternatif barang yang lebih murah.
“Situasinya sangat sulit bagi kelas menengah dan bawah, karena PPN tidak memandang kelas masyarakat, mau kaya dan miskin beli barang ya kena PPN,” ucapnya.
Dengan penetapan kenaikan tarif PPN ini, Bhima bilang, pengusaha sudah mulai ancang-ancang, yang tadinya ingin ekspansi jadi berpikir ulang soal kondisi permintaan barang di 2022. Apakah harga barang perlu diturunkan menimbang kenaikan PPN? Apakah stok barang yang ada di gudang sekarang bisa laku terjual dengan harga yang lebih mahal di level konsumen akhir?
“Situasinya jelas mencekik pelaku usaha dari produsen sampai distributor,” imbuhnya.
Lebih lanjut Ia mengungkapkan, kenaikan tarif PPN memberikan ketidakpastian yang tinggi. Sementara inflasi diperkirakan bisa 4,5% pada 2022 dengan adanya kenaikan tarif pajak.
Menurutnya, demand pull inflation ditambah tax rate akan menjadi tantangan besar bagi pemulihan konsumsi rumah tangga.
“Aneh ya, ini terjadi ketika justru di banyak negara selama pandemi dan pemulihan ekonomi justru tarif PPN-nya diturunkan sebagai stimulus terhadap konsumsi rumah tangga domestik,” tutur Bhima.
Sambung dia mengatakan, untuk mengejar rasio pajak masih banyak cara lain yang lebih adil dan pro terhadap pemulihan ekonomi. Salah satunya, mengejar kepatuhan pajak dari data yang tersedia. Misalnya, data di laporan pandora papers 2021 hingga panama papers di 2016 dan data AEOI.
“Sejak adanya panama papers 2016, secara total penegakan kepatuhan pajak dan penyidikan telah berhasil meningkatkan penerimaan pajak hingga Rp1,74 triliun,” bebernya.
Adapun cara lain untuk mendorong penerimaan pajak yakni dengan penambahan bracket tarif Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi di atas 5 miliar menjadi 40-45%. “Jadi bukan hanya 35 persen, itu terlalu kecil,” tandasnya.
“Soal PPN yang tarifnya akan naik sangat berisiko terhadap pemulihan ekonomi khususnya dampak ke daya beli kelas menengah pasti terasa,” ujarnya kepada MNC Portal, Jumat (8/10/2021).
Menurutnya jika harga barang naik maka terjadi inflasi, sementara belum tentu daya beli masyarakat akan langsung pulih pada 2022. Sehingga akibatnya, masyarakat hanya memiliki dua opsi, yakni mengurangi belanja untuk berhemat atau mencari alternatif barang yang lebih murah.
“Situasinya sangat sulit bagi kelas menengah dan bawah, karena PPN tidak memandang kelas masyarakat, mau kaya dan miskin beli barang ya kena PPN,” ucapnya.
Dengan penetapan kenaikan tarif PPN ini, Bhima bilang, pengusaha sudah mulai ancang-ancang, yang tadinya ingin ekspansi jadi berpikir ulang soal kondisi permintaan barang di 2022. Apakah harga barang perlu diturunkan menimbang kenaikan PPN? Apakah stok barang yang ada di gudang sekarang bisa laku terjual dengan harga yang lebih mahal di level konsumen akhir?
“Situasinya jelas mencekik pelaku usaha dari produsen sampai distributor,” imbuhnya.
Lebih lanjut Ia mengungkapkan, kenaikan tarif PPN memberikan ketidakpastian yang tinggi. Sementara inflasi diperkirakan bisa 4,5% pada 2022 dengan adanya kenaikan tarif pajak.
Menurutnya, demand pull inflation ditambah tax rate akan menjadi tantangan besar bagi pemulihan konsumsi rumah tangga.
“Aneh ya, ini terjadi ketika justru di banyak negara selama pandemi dan pemulihan ekonomi justru tarif PPN-nya diturunkan sebagai stimulus terhadap konsumsi rumah tangga domestik,” tutur Bhima.
Sambung dia mengatakan, untuk mengejar rasio pajak masih banyak cara lain yang lebih adil dan pro terhadap pemulihan ekonomi. Salah satunya, mengejar kepatuhan pajak dari data yang tersedia. Misalnya, data di laporan pandora papers 2021 hingga panama papers di 2016 dan data AEOI.
“Sejak adanya panama papers 2016, secara total penegakan kepatuhan pajak dan penyidikan telah berhasil meningkatkan penerimaan pajak hingga Rp1,74 triliun,” bebernya.
Adapun cara lain untuk mendorong penerimaan pajak yakni dengan penambahan bracket tarif Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi di atas 5 miliar menjadi 40-45%. “Jadi bukan hanya 35 persen, itu terlalu kecil,” tandasnya.
(akr)