PPN Naik 11%, Pengusaha Mall: Jurang Ketidakadilan Offline dan Online Makin Lebar
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah akan menaikkan pajak pertambahan nilai ( PPN ) menjadi 11% pada 1 April 2022 mendatang. Ketentuan itu tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) yang telah disahkan DPR menjadi UU.
Menanggapi kebijakan itu, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia ( APPBI ) Alphonzus Widjaja mengatakan kenaikan tarif PPN akan semakin mendorong ketidakadilan antara penjualan offline dengan online.
“Tak hanya itu, naiknya tarif PPN juga semakin mendorong masyarakat belanja di luar negeri serta memperburuk daya beli masyarakat kelas menengah bawah,” katanya saat dihubungi MNC Portal, Kamis (7/10/2021).
Ia pun menuturkan, sampai dengan saat ini ketentuan perpajakan untuk penjualan online dan offline masih timpang serta terkesan berat sebelah karena penjualan offline dibebani ketidakadilan perlakuan perpajakan.
“Kenaikan tarif PPN akan semakin memperlebar jurang ketidakadilan perlakuan perpajakan yang pada akhirnya akan semakin memberatkan kinerja penjualan offline,” ujar Alphonzus.
Dia bilang, dampak Covid-19 tidak serta merta berakhir pada saat berbagai pembatasan diakhiri. Makanya, kenaikan tarif PPN yang dikeluarkan pada saat pandemi masih berlangsung ataupun perekonomian masih terdampak, akan semakin memperburuk usaha penjualan offline.
Hampir semua negara di belahan dunia sedang berlomba untuk memberikan berbagai kemudahan dalam sektor perdagangan guna meningkatkan perekonomian masing-masing negara. Sementara, lanjutnya, Indonesia justru menaikkan tarif PPN sehingga bertolak belakang dengan strategi pemulihan ekonomi di banyak negara, khususnya negara tetangga.
“Ini akan menjadikan harga barang di Indonesia menjadi lebih mahal yang mana pada akhirnya akan mendorong semakin maraknya belanja di luar negeri,” tuturnya.
Lebih lanjut Alphonzus menegaskan, kenaikan tarif PPN akan semakin memperburuk daya beli masyarakat kelas menengah bawah akibat terdampak Covid-19. Pada akhirnya akan semakin memberatkan pemulihan perdagangan dalam negeri yang menjadi salah satu pendorong utama dalam upaya pemulihan perekonomian Indonesia.
“Kenaikan tarif PPN ini berpotensi untuk menimbulkan berbagai masalah yang akan semakin memberatkan perekonomian nasional, khususnya untuk sektor ritel,” tegasnya.
Ia menyarankan, sebaiknya rencana kenaikan tarif PPN ditunda, paling tidak untuk selama tiga tahun ke depan atau sampai dengan kondisi perekonomian sudah pulih normal.
Menanggapi kebijakan itu, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia ( APPBI ) Alphonzus Widjaja mengatakan kenaikan tarif PPN akan semakin mendorong ketidakadilan antara penjualan offline dengan online.
“Tak hanya itu, naiknya tarif PPN juga semakin mendorong masyarakat belanja di luar negeri serta memperburuk daya beli masyarakat kelas menengah bawah,” katanya saat dihubungi MNC Portal, Kamis (7/10/2021).
Ia pun menuturkan, sampai dengan saat ini ketentuan perpajakan untuk penjualan online dan offline masih timpang serta terkesan berat sebelah karena penjualan offline dibebani ketidakadilan perlakuan perpajakan.
“Kenaikan tarif PPN akan semakin memperlebar jurang ketidakadilan perlakuan perpajakan yang pada akhirnya akan semakin memberatkan kinerja penjualan offline,” ujar Alphonzus.
Dia bilang, dampak Covid-19 tidak serta merta berakhir pada saat berbagai pembatasan diakhiri. Makanya, kenaikan tarif PPN yang dikeluarkan pada saat pandemi masih berlangsung ataupun perekonomian masih terdampak, akan semakin memperburuk usaha penjualan offline.
Hampir semua negara di belahan dunia sedang berlomba untuk memberikan berbagai kemudahan dalam sektor perdagangan guna meningkatkan perekonomian masing-masing negara. Sementara, lanjutnya, Indonesia justru menaikkan tarif PPN sehingga bertolak belakang dengan strategi pemulihan ekonomi di banyak negara, khususnya negara tetangga.
“Ini akan menjadikan harga barang di Indonesia menjadi lebih mahal yang mana pada akhirnya akan mendorong semakin maraknya belanja di luar negeri,” tuturnya.
Lebih lanjut Alphonzus menegaskan, kenaikan tarif PPN akan semakin memperburuk daya beli masyarakat kelas menengah bawah akibat terdampak Covid-19. Pada akhirnya akan semakin memberatkan pemulihan perdagangan dalam negeri yang menjadi salah satu pendorong utama dalam upaya pemulihan perekonomian Indonesia.
“Kenaikan tarif PPN ini berpotensi untuk menimbulkan berbagai masalah yang akan semakin memberatkan perekonomian nasional, khususnya untuk sektor ritel,” tegasnya.
Ia menyarankan, sebaiknya rencana kenaikan tarif PPN ditunda, paling tidak untuk selama tiga tahun ke depan atau sampai dengan kondisi perekonomian sudah pulih normal.
(uka)