PLTU Dipensiunkan, Ratusan Ribu Pekerja Tambang Terancam Nganggur
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah tengah berupaya mengurangi penggunaan batu bara dan beralih ke energi hijau. Target netral karbon pun digaungkan akan tercapai di tahun 2060 dengan berbagai cara, salah satunya memensiunkan pembangkit listrik tenaga uap ( PLTU) .
Megaplan ini diperkirakan akan berdampak pada banyak aspek, termasuk nasib tenaga kerja di sektor pertambangan batu bara. Jika operasional PLTU benar-benar distop, bukan tidak mungkin banyak pekerja yang akan menganggur.
"Mengingat batu bara merupakan industri padat karya, akan banyak terjadi pengurangan karyawan saat industri ini mulai tergerus," jelas Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan kepada MNC Portal Indonesia, Selasa (23/11/2021).
Mamit menjelaskan, dalam satu area produksi batu bara, terdapat puluhan ribu orang yang terlibat. Kondisi itu membuat ekonomi daerah sekitar tumbuh.
Jadi penutupan PLTU, selain akan berdampak pada tenaga kerja, ekonomi lokal juga berpotensi melemah. Selain itu, tarif listrik bisa naik karena biaya produksi energi terbarukan, yang menggantikan energi batu bara, juga tinggi. Atau, ada potensi kenaikan subsidi yang diberikan oleh negara.
Mengutip data Booklet Batu Bara Kementerian ESDM tahun 2020, industri batu bara menyerap kurang lebih 150.000 tenaga kerja pada tahun 2019. Komposisi pekerja asingnya 0,1%, artinya 99,9% pekerja di industri ini adalah warga Indonesia.
Selain itu, menurut data Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, per November 2020, Izin Usaha Pertambangan (IUP) di sektor batu bara berjumlah 1.167 IUP.
Jumlah ini terdiri dari IUP eksplorasi sebanyak enam dan IUP operasi produksi sebanyak 1.161. Tentunya, langkah memensiunkan PLTU akan turut berdampak pada ribuan bisnis di sektor ini.
Lantas, apa langkah yang harus dilakukan pemerintah? Menurut Mamit, para pekerja tambang batu bara seharusnya dialihkan ke sektor padat karya yang serupa dengan industri batu bara.
Jika dialihkan ke sektor energi terbarukan, meski potensi serapannya akan kecil karena industri berbasis energi hijau masih belum berkembang di Indonesia.
"Serapan tenaga kerja di energi baru terbarukan ini terbatas dan khusus untuk mereka yang berpendidikan tinggi. Beda dengan batu bara karena untuk posisi tertentu tidak perlu pendidikan tinggi. Jadi memang harus dialihkan ke sektor lain yang sesuai dengan kemampuan dan kapabilitas mereka," jelas Mamit.
Megaplan ini diperkirakan akan berdampak pada banyak aspek, termasuk nasib tenaga kerja di sektor pertambangan batu bara. Jika operasional PLTU benar-benar distop, bukan tidak mungkin banyak pekerja yang akan menganggur.
"Mengingat batu bara merupakan industri padat karya, akan banyak terjadi pengurangan karyawan saat industri ini mulai tergerus," jelas Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan kepada MNC Portal Indonesia, Selasa (23/11/2021).
Mamit menjelaskan, dalam satu area produksi batu bara, terdapat puluhan ribu orang yang terlibat. Kondisi itu membuat ekonomi daerah sekitar tumbuh.
Jadi penutupan PLTU, selain akan berdampak pada tenaga kerja, ekonomi lokal juga berpotensi melemah. Selain itu, tarif listrik bisa naik karena biaya produksi energi terbarukan, yang menggantikan energi batu bara, juga tinggi. Atau, ada potensi kenaikan subsidi yang diberikan oleh negara.
Mengutip data Booklet Batu Bara Kementerian ESDM tahun 2020, industri batu bara menyerap kurang lebih 150.000 tenaga kerja pada tahun 2019. Komposisi pekerja asingnya 0,1%, artinya 99,9% pekerja di industri ini adalah warga Indonesia.
Selain itu, menurut data Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, per November 2020, Izin Usaha Pertambangan (IUP) di sektor batu bara berjumlah 1.167 IUP.
Jumlah ini terdiri dari IUP eksplorasi sebanyak enam dan IUP operasi produksi sebanyak 1.161. Tentunya, langkah memensiunkan PLTU akan turut berdampak pada ribuan bisnis di sektor ini.
Lantas, apa langkah yang harus dilakukan pemerintah? Menurut Mamit, para pekerja tambang batu bara seharusnya dialihkan ke sektor padat karya yang serupa dengan industri batu bara.
Jika dialihkan ke sektor energi terbarukan, meski potensi serapannya akan kecil karena industri berbasis energi hijau masih belum berkembang di Indonesia.
"Serapan tenaga kerja di energi baru terbarukan ini terbatas dan khusus untuk mereka yang berpendidikan tinggi. Beda dengan batu bara karena untuk posisi tertentu tidak perlu pendidikan tinggi. Jadi memang harus dialihkan ke sektor lain yang sesuai dengan kemampuan dan kapabilitas mereka," jelas Mamit.
(uka)