PLTU Dihentikan, Seratusan Juta Ton Batu Bara Kehilangan Pasar
loading...
A
A
A
JAKARTA - Proyek hilirisasi tengah dikebut sebagai bentuk transisi ke energi terbarukan. Operasional pembangkit listrik tenaga uap ( PLTU ) berbahan batu bara akan dihentikan, dan dialihkan dengan pembangkit energi terbarukan.
Peralihan ini berdampak pada ratusan ribu tenaga kerja di sektor PLTU. Meski ada proyek hilirisasi batu bara, namun penyerapan tenaga kerjanya dinilai tidak lebih besar dari PLTU.
"Enggak bisa terserap semuanya," jelas Rizal Kasli, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI), kepada MNC Portal Indonesia, Selasa (23/11/2021).
Rizal menjelaskan, dalam beberapa tahun mendatang, sekitar 170-190 juta batu bara akan kehilangan pasarnya. Di tahun 2025, PLN akan mengurangi pemakaian PLTU sebesar 1,1 GW, lalu sebesar 1 GW pada 2030, sebesar 9 GW pada 2035 dan seterusnya sebesar 10 GW, 24 GW pada tahun 2040 dan 2045, sampai terakhir penghentian pemakian PLTU ultra supercritical terakhir sebesar 5 GW.
Jika hanya terserap 20-25 juta ton per tahun, maka terdapat sisa 150-170 juta ton batu bara. Jika PLTU dipensiunkan, maka ratusan juta ton batu bara ini akan menganggur.
Di sisi lain, proyek hilirisasi dinilai belum berkembang dengan baik, mesti sudah ada perusahaan yang memulainya, seperti PT Bukit Asam di Sumatera, KPC (Kaltim Prima Coal) dan Arutmin di Kalimantan.
"Hal ini karena masalah capex (belanja modal) yang masih mahal, dan teknologi belum proven. Begitu pula soal tingkat keekonomiannya dan regulasi untuk mendukung industri ini. Lalu, penguasaan teknologi hilirisasi masih tergantung pada negara lain," katanya.
Diharapkan, pemerintah dapat melakukan terobosan dan usaha untuk penciptaan teknologi hilirisasi batu bara dalam negeri.
"Mudah-mudahan dengan terbentuknya BRIN hal ini dapat dilakukan dengan baik untuk industri hilirisasi batu bara di Indonesia. Perlu juga adanya penugasan yang diberikan oleh pemerintah kepada BUMN-BUMN tertentu untuk pengembangan industri ini di dalam negeri sebagai pioneer pengembangan teknologi dalam negeri," tandas Rizal.
Peralihan ini berdampak pada ratusan ribu tenaga kerja di sektor PLTU. Meski ada proyek hilirisasi batu bara, namun penyerapan tenaga kerjanya dinilai tidak lebih besar dari PLTU.
"Enggak bisa terserap semuanya," jelas Rizal Kasli, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI), kepada MNC Portal Indonesia, Selasa (23/11/2021).
Rizal menjelaskan, dalam beberapa tahun mendatang, sekitar 170-190 juta batu bara akan kehilangan pasarnya. Di tahun 2025, PLN akan mengurangi pemakaian PLTU sebesar 1,1 GW, lalu sebesar 1 GW pada 2030, sebesar 9 GW pada 2035 dan seterusnya sebesar 10 GW, 24 GW pada tahun 2040 dan 2045, sampai terakhir penghentian pemakian PLTU ultra supercritical terakhir sebesar 5 GW.
Jika hanya terserap 20-25 juta ton per tahun, maka terdapat sisa 150-170 juta ton batu bara. Jika PLTU dipensiunkan, maka ratusan juta ton batu bara ini akan menganggur.
Di sisi lain, proyek hilirisasi dinilai belum berkembang dengan baik, mesti sudah ada perusahaan yang memulainya, seperti PT Bukit Asam di Sumatera, KPC (Kaltim Prima Coal) dan Arutmin di Kalimantan.
"Hal ini karena masalah capex (belanja modal) yang masih mahal, dan teknologi belum proven. Begitu pula soal tingkat keekonomiannya dan regulasi untuk mendukung industri ini. Lalu, penguasaan teknologi hilirisasi masih tergantung pada negara lain," katanya.
Diharapkan, pemerintah dapat melakukan terobosan dan usaha untuk penciptaan teknologi hilirisasi batu bara dalam negeri.
"Mudah-mudahan dengan terbentuknya BRIN hal ini dapat dilakukan dengan baik untuk industri hilirisasi batu bara di Indonesia. Perlu juga adanya penugasan yang diberikan oleh pemerintah kepada BUMN-BUMN tertentu untuk pengembangan industri ini di dalam negeri sebagai pioneer pengembangan teknologi dalam negeri," tandas Rizal.
(uka)