Bamsoet Kasih Catatan: Kelangkaan Minyak Goreng dan Kedelai Jangan Berlarut-larut
loading...
A
A
A
JAKARTA - Hingga akhir pekan kedua Februari 2022, masyarakat di berbagai daerah masih menyuarakan keluh kesah mereka merespons kelangkaan minyak goreng dan tingginya harga kedelai . Bahkan di beberapa tempat, terjadi antrian warga yang akan membeli minyak goreng.
Terkait hal ini, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo meminta, pemerintah hendaknya all out untuk mengatasi dua masalah ini, karena berkait dengan kebutuhan semua rumah tangga dan jutaan pelaku UMKM.
“Gejolak harga kebutuhan pokok selalu menjadi isu sensitif yang bisa mencoreng kredibilitas pemerintah. Maka, durasi kelangkaan minyak goreng dan tingginya harga kedelai saat ini jangan sampai berlarut-larut,” ucap Bamsoet -sapaan akrabnya-.
Menurutnya pemerintah perlu menempuh semua cara yang legal untuk mengatasi masalah ini. Sebab, memasuki pekan kedua Februari 2022 ini, kelangkaan minyak minyak goreng dan tingginya harga kedelai sudah berlangsung lebih dari sebulan.
Padahal terang Bamsoet, akar masalah atau penyebab kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng sudah diketahui. Begitu pula dengan latar belakang yang menjadi faktor pendorong naiknya harga kedelai.
Kenaikan harga minyak goreng bahkan sudah diperkirakan sejak tahun lalu, menyusul naiknya harga CPO di pasar global. Namun, karena tidak adanya langkah atau kebijakan antisipatif, kelangkaan dan naiknya harga harus ditanggung masyarakat sebagai konsumen.
Sedangkan lonjakan harga kedelai terjadi karena berkurangnya pasokan ke pasar dalam negeri. Pasokan kedelai berkurang karena volume produksi di negara produsen menurun.
“Dalam kasus kedelai, ketergantungan Indonesia akan produk impor memang tak terhindarkan. Kecenderungan ini terjadi karena produksi dalam negeri terus menurun dan tak bisa memenuhi permintaan masyarakat,” paparnya.
Awal Februari 2022, harga kedelai di pasar global berkisar Rp11.240 per kilogram. Sementara itu dari total kebutuhan yang mendekati tiga juta ton, total produksi dalam negeri hanya mampu memasok kurang dari 10 persen.
Sisanya, mau tak mau, impor dari Amerika Serikat dan beberapa negara produsen lainnya. Maka, ketika produksi kedelai di beberapa negara produsen menurun, Indonesia harus mencari jalan keluar dengan melakukan pendekatan kepada negara produsen lainnya.
“Nyaris sepanjang Januari hingga pekan kedua Februari 2022, kelangkaan serta naiknya harga minyak goreng, dan kenaikan harga kedelai sudah memberi dampak yang tidak nyaman untuk semua rumah tangga,” terang Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNPAD/Dosen Fakultas Hukum, Ilmu Sosial & Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Terbuka.
Minyak goreng dan kedelai sebagai bahan baku tahu-tempe adalah faktor yang tidak boleh diabaikan begitu saja di dalam konsumsi rumah tangga. Ketika pandemi belum berakhir, konsumsi masyarakat menjadi salah satu faktor utama pendorong pertumbuhan ekonomi.
“Agar kekuatan konsumsi masyarakat tetap terjaga, pemerintah harus segera mengatasi kelangkaan minyak goreng dan kedelai yang masih menjadi masalah hingga saat ini. Jangan biarkan masalah ini berlarut-larut,” tegasnya.
“Kalau persoalannya bisa diatasi dengan keharusan menggeser skala prioritas atau refocusing anggaran untuk mensubsidi minyak goreng dan kedelai, tentu saja bukan sebuah aib untuk melakukannya,” ucap Bamsoet.
Terkait hal ini, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo meminta, pemerintah hendaknya all out untuk mengatasi dua masalah ini, karena berkait dengan kebutuhan semua rumah tangga dan jutaan pelaku UMKM.
“Gejolak harga kebutuhan pokok selalu menjadi isu sensitif yang bisa mencoreng kredibilitas pemerintah. Maka, durasi kelangkaan minyak goreng dan tingginya harga kedelai saat ini jangan sampai berlarut-larut,” ucap Bamsoet -sapaan akrabnya-.
Menurutnya pemerintah perlu menempuh semua cara yang legal untuk mengatasi masalah ini. Sebab, memasuki pekan kedua Februari 2022 ini, kelangkaan minyak minyak goreng dan tingginya harga kedelai sudah berlangsung lebih dari sebulan.
Padahal terang Bamsoet, akar masalah atau penyebab kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng sudah diketahui. Begitu pula dengan latar belakang yang menjadi faktor pendorong naiknya harga kedelai.
Kenaikan harga minyak goreng bahkan sudah diperkirakan sejak tahun lalu, menyusul naiknya harga CPO di pasar global. Namun, karena tidak adanya langkah atau kebijakan antisipatif, kelangkaan dan naiknya harga harus ditanggung masyarakat sebagai konsumen.
Sedangkan lonjakan harga kedelai terjadi karena berkurangnya pasokan ke pasar dalam negeri. Pasokan kedelai berkurang karena volume produksi di negara produsen menurun.
“Dalam kasus kedelai, ketergantungan Indonesia akan produk impor memang tak terhindarkan. Kecenderungan ini terjadi karena produksi dalam negeri terus menurun dan tak bisa memenuhi permintaan masyarakat,” paparnya.
Awal Februari 2022, harga kedelai di pasar global berkisar Rp11.240 per kilogram. Sementara itu dari total kebutuhan yang mendekati tiga juta ton, total produksi dalam negeri hanya mampu memasok kurang dari 10 persen.
Sisanya, mau tak mau, impor dari Amerika Serikat dan beberapa negara produsen lainnya. Maka, ketika produksi kedelai di beberapa negara produsen menurun, Indonesia harus mencari jalan keluar dengan melakukan pendekatan kepada negara produsen lainnya.
“Nyaris sepanjang Januari hingga pekan kedua Februari 2022, kelangkaan serta naiknya harga minyak goreng, dan kenaikan harga kedelai sudah memberi dampak yang tidak nyaman untuk semua rumah tangga,” terang Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNPAD/Dosen Fakultas Hukum, Ilmu Sosial & Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Terbuka.
Minyak goreng dan kedelai sebagai bahan baku tahu-tempe adalah faktor yang tidak boleh diabaikan begitu saja di dalam konsumsi rumah tangga. Ketika pandemi belum berakhir, konsumsi masyarakat menjadi salah satu faktor utama pendorong pertumbuhan ekonomi.
“Agar kekuatan konsumsi masyarakat tetap terjaga, pemerintah harus segera mengatasi kelangkaan minyak goreng dan kedelai yang masih menjadi masalah hingga saat ini. Jangan biarkan masalah ini berlarut-larut,” tegasnya.
“Kalau persoalannya bisa diatasi dengan keharusan menggeser skala prioritas atau refocusing anggaran untuk mensubsidi minyak goreng dan kedelai, tentu saja bukan sebuah aib untuk melakukannya,” ucap Bamsoet.
(akr)