Pengembangan 4 Zona Pariwisata Hutan Bowosie di Labuan Bajo Serap 10.000 Tenaga Kerja
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) siap mengembangkan empat zona pariwisata di hutan Bowosie, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pembangunan area seluas 400 hektare akan dimulai bulan ini dan ditarget rampung pada 2024.
Pembangunanhutan tersebut dilakukan dalam rangka menghadirkan kawasan pariwisata berkelanjutan, berkualitas dan terintegrasi di destinasi pariwisata super prioritas tersebut.
Berdasarkan analisa Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) sebagai satuan kerja di bawah Kemenparekraf, pengembangan pariwisata hutan Bowosie diperkirakan menyerap 10.000 tenaga kerja. Analisa tersebut didasarkan kebutuhan pembangunan dan kebutuhan daya tarik wisata yang akan tersaji di kawasan tersebut.
Hal ini tentunya berpotensi meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar dan menekan angka pengangguran di Labuan Bajo, Flores dan NTT pada umumnya.
Direktur Utama BPOLBF Shana Fatina mengatakan, nantinya tidak hanya kebutuhan SDM yang besar di kawasan tersebut, tapi juga kebutuhan supply hasil pertanian dan peternakan, hasil kerajinan tangan, juga atraksi budaya dan lainnya.
“Akan terjadi perputaran ekonomi di kawasan tersebut, di mana hasil UMKM di Labuan Bajo akan terserap di kawasan tersebut. Tak kalah pentingnya desa-desa di sekitar akan ditata dan dilibatkan, seperti kebutuhan SDM, supply logistik, produk kreatif, seni budaya, kebutuhan homestay, dan sebagainya,” papar Shana, dikutip Rabu (2/3/2022).
Sebagai catatan, pengembangan pariwisata hutan Bowosie mengacu pada Perpres 32/2018 dengan penetapan pengelolaan dilakukan oleh Badan Pelaksana yang dibentuk pada 2019.
Salah satu klausul di dalamnya adalah tentang perubahan status dan pemanfaatan 400 hektar hutan Bowosie di kabupaten Manggarai Barat, di mana paling sedikit 136 hektare akan diberikan Hak Pengelolaan kepada Badan Otorita. Adapun sisanya dikelola menggunakan skema izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan-Pemanfaatan Jasa Lingkungan (PBPH-JL) sebagai wisata alam.
Lebih lanjut, Shana menerangkan, pengembangan kawasan ini akan dibagi dalam 4 zona meliputi zona cultural district, adventure district, wildlife district, dan leisure district.
“Semua pembangunan ini tentunya mengedepankan prinsip keberlanjutan lingkungan dan menjadi komitmen BPOLBF dalam mengembangkan kawasan pariwisata berkualitas di hutan Bowosie,” tandas Shana.
Pihaknya telah berkoordinasi dengan para ahli untuk bisa memanfaatkan dan juga menjalankan Perpres tersebut dengan prinsip pembangunan berkelanjutan sehingga kelestarian lingkungan terjaga dan dampaknya bisa dirasakan warga lokal.
“Di banyak wilayah Indonesia, pariwisata terbukti bisa melestarikan alam dan budaya, sekaligus meningkatkan perekonomian,” tuturnya.
Direktur Destinasi BPOLBF Konstant Mardinandus Nandus menambahkan, dalam pengembangan kawasan otorita, dilakukan studi hidrogeologi terpadu dan analisis dampak lingkungan. Dengan begitu, kelestarian mata air yang ada di kawasan tetap terjaga dan tidak akan mengganggu pasokan untuk warga setempat.
Konstant juga memastikan pengembangan pariwisata kawasan hutan Bowosie akan dijalankan sesuai prinsip keberlanjutan lingkungan hidup.
Sebagai contoh, rencana pembangunan ditetapkan koefisien dasar bangunan dan luas area terbangun sangat rendah di setiap zona, guna tetap mendukung fungsi ekologi kawasan hutan tersebut.
“Adapun rincian persentase pengembangannya adalah untuk zona budaya 6,51% dari 26 hektar dan 22,23% dari 88,73 hektar. Zona santai 5,13% dari 20,49 hektar dan 10,60% dari 42,32 hektar. Zona alam 22,36% dari 89,25 hektar. Zona petualangan 33,17% dari 132,43 hektar,” urainya.
Menurut dia, pembangunan kawasan akan dimulai pada bulan Maret 2022 dan akan dilanjutkan pembangunan dan penataan sarana prasarana pariwisata.
"Pembangunan tersebut ditargetkan selesai pada tahun 2024. Penyerapan tenaga kerja dipastikan akan dimulai sejak awal pembangunan dikerjakan," ucapnya.
Sementara itu, dukungan dari masyarakat sekitar kawasan hutan Bowosie juga mengalir. Mereka berharap pengembangan hutan ini bisa membuka lapangan kerja dan meningkatkan taraf hidup masyarakat desa mereka.
"Kami masyarakat desa menginginkan pariwisata bisa berimbas ke desa, tidak hanya datang ke Labuan Bajo, sewa kapal kunjungi hewan Komodo dan balik pulang. Ada lama tinggal di Labuan Bajo, berinteraksi dengan kami dan terjadi perputaran ekonomi disini. Hasil pertanian maupun peternakan kami bisa terserap," ujar Paulus Nurung, Kepala Desa Golo Bilas, Kecamatan Komodo.
Sebagai catatan, saat ini BPOLBF telah menyelesaikan proses Amdal dan telah mendapatkan izin lingkungan hidup dari Pemkab Manggarai Barat pada 29 Juni 2021.
Selain itu, Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Manggarai Barat Nomor 6 Tahun 2012 dan Materi Teknis Revisi RTRW Kabupaten Manggarai Barat juga telah menetapkan kawasan hutan Nggorang Bowosie seluas 400 Ha yang merupakan wilayah pengembangan BPOLBF sebagai kawasan hutan produksi/ kawasan pariwisata bukan sebagai kawasan lindung.
Pembangunanhutan tersebut dilakukan dalam rangka menghadirkan kawasan pariwisata berkelanjutan, berkualitas dan terintegrasi di destinasi pariwisata super prioritas tersebut.
Berdasarkan analisa Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) sebagai satuan kerja di bawah Kemenparekraf, pengembangan pariwisata hutan Bowosie diperkirakan menyerap 10.000 tenaga kerja. Analisa tersebut didasarkan kebutuhan pembangunan dan kebutuhan daya tarik wisata yang akan tersaji di kawasan tersebut.
Hal ini tentunya berpotensi meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar dan menekan angka pengangguran di Labuan Bajo, Flores dan NTT pada umumnya.
Direktur Utama BPOLBF Shana Fatina mengatakan, nantinya tidak hanya kebutuhan SDM yang besar di kawasan tersebut, tapi juga kebutuhan supply hasil pertanian dan peternakan, hasil kerajinan tangan, juga atraksi budaya dan lainnya.
“Akan terjadi perputaran ekonomi di kawasan tersebut, di mana hasil UMKM di Labuan Bajo akan terserap di kawasan tersebut. Tak kalah pentingnya desa-desa di sekitar akan ditata dan dilibatkan, seperti kebutuhan SDM, supply logistik, produk kreatif, seni budaya, kebutuhan homestay, dan sebagainya,” papar Shana, dikutip Rabu (2/3/2022).
Sebagai catatan, pengembangan pariwisata hutan Bowosie mengacu pada Perpres 32/2018 dengan penetapan pengelolaan dilakukan oleh Badan Pelaksana yang dibentuk pada 2019.
Salah satu klausul di dalamnya adalah tentang perubahan status dan pemanfaatan 400 hektar hutan Bowosie di kabupaten Manggarai Barat, di mana paling sedikit 136 hektare akan diberikan Hak Pengelolaan kepada Badan Otorita. Adapun sisanya dikelola menggunakan skema izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan-Pemanfaatan Jasa Lingkungan (PBPH-JL) sebagai wisata alam.
Lebih lanjut, Shana menerangkan, pengembangan kawasan ini akan dibagi dalam 4 zona meliputi zona cultural district, adventure district, wildlife district, dan leisure district.
“Semua pembangunan ini tentunya mengedepankan prinsip keberlanjutan lingkungan dan menjadi komitmen BPOLBF dalam mengembangkan kawasan pariwisata berkualitas di hutan Bowosie,” tandas Shana.
Pihaknya telah berkoordinasi dengan para ahli untuk bisa memanfaatkan dan juga menjalankan Perpres tersebut dengan prinsip pembangunan berkelanjutan sehingga kelestarian lingkungan terjaga dan dampaknya bisa dirasakan warga lokal.
“Di banyak wilayah Indonesia, pariwisata terbukti bisa melestarikan alam dan budaya, sekaligus meningkatkan perekonomian,” tuturnya.
Direktur Destinasi BPOLBF Konstant Mardinandus Nandus menambahkan, dalam pengembangan kawasan otorita, dilakukan studi hidrogeologi terpadu dan analisis dampak lingkungan. Dengan begitu, kelestarian mata air yang ada di kawasan tetap terjaga dan tidak akan mengganggu pasokan untuk warga setempat.
Konstant juga memastikan pengembangan pariwisata kawasan hutan Bowosie akan dijalankan sesuai prinsip keberlanjutan lingkungan hidup.
Sebagai contoh, rencana pembangunan ditetapkan koefisien dasar bangunan dan luas area terbangun sangat rendah di setiap zona, guna tetap mendukung fungsi ekologi kawasan hutan tersebut.
“Adapun rincian persentase pengembangannya adalah untuk zona budaya 6,51% dari 26 hektar dan 22,23% dari 88,73 hektar. Zona santai 5,13% dari 20,49 hektar dan 10,60% dari 42,32 hektar. Zona alam 22,36% dari 89,25 hektar. Zona petualangan 33,17% dari 132,43 hektar,” urainya.
Menurut dia, pembangunan kawasan akan dimulai pada bulan Maret 2022 dan akan dilanjutkan pembangunan dan penataan sarana prasarana pariwisata.
"Pembangunan tersebut ditargetkan selesai pada tahun 2024. Penyerapan tenaga kerja dipastikan akan dimulai sejak awal pembangunan dikerjakan," ucapnya.
Sementara itu, dukungan dari masyarakat sekitar kawasan hutan Bowosie juga mengalir. Mereka berharap pengembangan hutan ini bisa membuka lapangan kerja dan meningkatkan taraf hidup masyarakat desa mereka.
"Kami masyarakat desa menginginkan pariwisata bisa berimbas ke desa, tidak hanya datang ke Labuan Bajo, sewa kapal kunjungi hewan Komodo dan balik pulang. Ada lama tinggal di Labuan Bajo, berinteraksi dengan kami dan terjadi perputaran ekonomi disini. Hasil pertanian maupun peternakan kami bisa terserap," ujar Paulus Nurung, Kepala Desa Golo Bilas, Kecamatan Komodo.
Sebagai catatan, saat ini BPOLBF telah menyelesaikan proses Amdal dan telah mendapatkan izin lingkungan hidup dari Pemkab Manggarai Barat pada 29 Juni 2021.
Selain itu, Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Manggarai Barat Nomor 6 Tahun 2012 dan Materi Teknis Revisi RTRW Kabupaten Manggarai Barat juga telah menetapkan kawasan hutan Nggorang Bowosie seluas 400 Ha yang merupakan wilayah pengembangan BPOLBF sebagai kawasan hutan produksi/ kawasan pariwisata bukan sebagai kawasan lindung.
(ind)