Beli Minyak dan Gas Rusia Dipertimbangkan Bisa Pakai Bitcoin

Sabtu, 26 Maret 2022 - 11:43 WIB
loading...
Beli Minyak dan Gas Rusia Dipertimbangkan Bisa Pakai Bitcoin
Rusia sedang mempertimbangkan untuk menerima Bitcoin sebagai alat pembayaran untuk ekspor minyak dan gasnya. Sebelumnya Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan, bahwa dia ingin negara-negara tidak ramah membeli gasnya dengan rubel. Foto/Dok
A A A
MOSKOW - Rusia sedang mempertimbangkan untuk menerima Bitcoin sebagai alat pembayaran untuk ekspor minyak dan gasnya, menurut seorang anggota parlemen berpangkat tinggi.

Pavel Zavalny mengatakan negara-negara 'ramah' bakal mendapatkan izin untuk membayar dalam mata uang kripto atau dalam mata uang lokal mereka. Awal pekan ini, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan, bahwa dia ingin negara-negara 'tidak ramah' membeli gasnya dengan rubel .



Langkah ini dipahami bertujuan untuk meningkatkan mata uang Rusia, yang telah kehilangan nilai lebih dari 20% tahun ini. Sanksi yang dijatuhkan oleh Inggris, Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa setelah invasi Ukraina telah membebani rubel Rusia dan menaikkan biaya hidup di Negeri Beruang Merah.

Namun, Rusia masih merupakan pengekspor gas alam terbesar di dunia dan pemasok minyak terbesar kedua di dunia. Zavalny, yang mengepalai Komite Duma Negara Rusia untuk energi, mengatakan, bahwa negara itu telah mengeksplorasi cara-cara alternatif untuk menerima pembayaran dalam ekspor energi.

Dia mengatakan China dan Turki termasuk di antara negara-negara 'ramah' yang tidak terlibat dalam tekanan sanksi. "Kami telah mengusulkan ke China untuk waktu yang lama agar beralih ke dalam mata uang nasional, apakah itu rubel dan yuan," kata Zavalny.

"Dengan Turki, itu akan menjadi lira dan rubel. Anda juga dapat menggunakan Bitcoin," ucap Zavalny menambahkan.

Lebih Banyak Risiko

Analis mengatakan, Rusia mungkin mendapatkan manfaat dari menerima cryptocurrency yang sedang populer, terlepas dari risikonya.

"Rusia sangat cepat merasakan dampak dari sanksi yang belum pernah terjadi sebelumnya," kata Seorang peneliti senior Energy Studies Institute, David Broadstock yang berbasis di Singapura.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1816 seconds (0.1#10.140)