Pengelolaan Lahan Gambut, Demi Kedaulatan Petani Kecil dan Ketahanan Pangan di Masa Depan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pandemi Covid-19 telah membuka kembali diskusi tentang ketahanan pangan Indonesia, terutama beras di masa krisis seperti saat ini maupun di masa yang akan datang. Area lahan gambut terdegradasi, terbuka, terlantar yang dialihfungsikan menjadi lahan produktif untuk pertanian, perikanan dan peternakan oleh para petani kecil memainkan peran penting bagi masa depan ketahanan pangan nasional.
Menurut Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa, sejak dua tahun terakhir, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat sebagai produsen utama beras secara nasional mengalami penurunan jumlah produksi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan produksi beras pada 2019 sebesar 31,31 juta ton, atau mengalami penurunan sebanyak 2,63 juta ton atau 7,75% dibandingkan tahun 2018. ‘’Penurunan ini juga diperkirakan masih akan berlanjut di tahun ini saat Indonesia juga menghadapi pandemi Covid-19,’’ kata Dwi Andreas Santosa dalam rilisnya di Jakarta, kemarin.
Untuk mengatasi masalah ini pada Mei 2020, pemerintah mencetuskan gagasan intensifikasi dan revitalisasi sawah di lahan gambut dan lahan basah Kalimantan Tengah. Tujuannya untuk meningkatkan ketahanan pangan Indonesia. Dalam diskusi online yang dilaksanakan oleh Badan Restorasi Gambut bertajuk “Pertanian Pangan di Lahan Gambut: Menjawab Tantangan Krisis Ekologi Ketahanan Pangan dan Kesehatan” pada 20 April 2020, Dwi Andreas Santosa menyatakan tantangan dalam mewujudkan pelaksanaan agroindustri untuk memperkuat ketahanan pangan Indonesia tidak hanya semata pada isu lingkungan, namun juga keterbatasan para petani dalam memasok produk dalam kuantitas besar.
Lebih jauh, Dwi Andreas menuturkan kedaulatan petani kecil atas pangan atau food sovereignty merupakan komponen penting. Alasannya karena ketahanan pangan jangka panjang tergantung pada mereka yang memproduksi bahan pangan. ( Baca: Produksi Minyak Sawit Apical Marunda Belum Terdampak Covid-19 )
Kedaulatan pangan merupakan konsep pemenuhan pangan melalui produksi lokal. Kedaulatan pangan juga menyangkut masalah pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. ‘’Artinya, kedaulatan pangan sangat menjunjung tinggi prinsip diversifikasi pangan sesuai dengan budaya lokal yang ada,’’ papar Dwi Andreas.
Terkait hal ini, Badan Restorasi Gambut (BRG) sejak awal berdiri telah melakukan berbagai upaya untuk mengembangkan potensi petani di lahan gambut. BRG mengajak petani memanfaatkan lahan gambut terdegradasi, terbuka, terlantar menjadi lahan produktif. Selain bisa meningkatkan fungsi ekonomis, pemanfaatan lahan gambut yang sudah terbuka ini bisa mengurangi risiko kebakaran di musim kemarau.
Bekerja erat dengan petani lokal, BRG mempraktikkan budidaya di lahan gambut tipis ini di lebih dari 300 desa di Sumatera dan Kalimantan dengan menanam padi, nanas, talas, sagu, serta juga peternakan, dan perikanan. Masyarakat pun sudah terbiasa mengkonsumsi hasil budidaya di lahan gambut tersebut.
Berdasarkan kajian yang dilakukan Kementerian Pertanian dan BRG, setidaknya ada 14 komoditas untuk bisa ditanami di gambut. Pertanian yang dilaksanakan di lahan gambut mengikuti sistem climate smart agriculture, yang meminimalisasi dampak negatif pada tanah gambut. Kegiatan yang dilakukan antara lain adalah dengan memberikan edukasi Sekolah Lapang kepada petani untuk pemanfaatan lahan tanpa bakar dan penggunaan pupuk alami di tanah gambut yang asam dan peningkatan unsur hara alami tanah agar siap dimanfaatkan.
BRG juga terus mempopulerkan paludiculture, atau pertanian di lahan gambut atau lahan dengan air tergenang, kepada para petani lokal di lahan gambut menggunakan dua prinsip. Pertama, mempertahankan dan memfasilitasi pembentukan gambut dengan tidak mengkonversi lahan gambut yang fungsi lindung. Kedua, penggunaan spesies asli dengan lebih produktif untuk peningkatan ekonomi penduduk dan cadangan karbon.
Paludiculture yang dilaksanakan menghasilkan beberapa komoditas khas lahan gambut seperti padi rawa, ternak, perikanan “beje”, sagu, eco-tourism dan industri turunan. Paludiculture dinilai sebagai sistem pertanian yang sesuai dengan pemeliharaan ekosistem lahan gambut serta dapat memanfaatkan diversifikasi pangan menggunakan spesies asli lahan gambut. Paludiculture juga memberikan kontribusi untuk sumber penghasilan petani dan menekan kerusakan gambut dari kebakaran.
Sementara itu, Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead mengungkapkan upaya pelatihan petani krusial dalam proses restorasi ekosistem gambut Indonesia. Harapannya, petani punya kecukupan informasi untuk peningkatan produktivitas sambil menjaga ekosistem gambut tetap baik. ‘’Dengan pelatihan petani diharapkan pemanfaatan potensi ekosistem gambut menghasilkan berbagai macam sumber pangan yang dibutuhkan oleh Indonesia di masa depan,’’ jelasnya.
Namun sebelum petani kecil di lahan gambut bisa mendiri, terdapat berbagai tugas restorasi ekosistem gambut yang perlu dilaksanakan oleh seluruh pihak terkait. Salah satunya karena proses penggarapan lahan gambut secara berkelanjutan mahal. Sehingga petani yang tidak punya modal dan tenaga yang cukup akan kesulitan untuk meningkatkan produktivitas. ‘’Karena itu dibutuhkan sinergi antara petani, pemerintah dan swasta dalam mengoptimalkan lahan gambut untuk kegiatan pertanian ini,’’ papar Nazir.
Dari faktor ekologis dan hidrologis, lanjut dia, pihak terkait perlu menjaga tata kelola air gambut. Sehingga produktivitas pertanian dapat dipertahankan di musim kemarau. Hal ini tak terlepas dari fungsi kubah gambut sebagai penyimpan air. Kebakaran hutan dan lahan yang disengaja juga perlu ditindak tegas oleh pihak berwenang agar kegiatan ini tidak berulang dan menghindari kerugian para petani terdampak.
“Pemerintah akan memastikan infrastruktur pertanian di lahan basah termasuk lahan gambut dikelola dengan baik, sehingga petani dapat menjalankan perannya sebagai motor penggerak kebutuhan pangan bangsa Indonesia di masa yang akan datang,” tandas Naz
Menurut Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa, sejak dua tahun terakhir, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat sebagai produsen utama beras secara nasional mengalami penurunan jumlah produksi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan produksi beras pada 2019 sebesar 31,31 juta ton, atau mengalami penurunan sebanyak 2,63 juta ton atau 7,75% dibandingkan tahun 2018. ‘’Penurunan ini juga diperkirakan masih akan berlanjut di tahun ini saat Indonesia juga menghadapi pandemi Covid-19,’’ kata Dwi Andreas Santosa dalam rilisnya di Jakarta, kemarin.
Untuk mengatasi masalah ini pada Mei 2020, pemerintah mencetuskan gagasan intensifikasi dan revitalisasi sawah di lahan gambut dan lahan basah Kalimantan Tengah. Tujuannya untuk meningkatkan ketahanan pangan Indonesia. Dalam diskusi online yang dilaksanakan oleh Badan Restorasi Gambut bertajuk “Pertanian Pangan di Lahan Gambut: Menjawab Tantangan Krisis Ekologi Ketahanan Pangan dan Kesehatan” pada 20 April 2020, Dwi Andreas Santosa menyatakan tantangan dalam mewujudkan pelaksanaan agroindustri untuk memperkuat ketahanan pangan Indonesia tidak hanya semata pada isu lingkungan, namun juga keterbatasan para petani dalam memasok produk dalam kuantitas besar.
Lebih jauh, Dwi Andreas menuturkan kedaulatan petani kecil atas pangan atau food sovereignty merupakan komponen penting. Alasannya karena ketahanan pangan jangka panjang tergantung pada mereka yang memproduksi bahan pangan. ( Baca: Produksi Minyak Sawit Apical Marunda Belum Terdampak Covid-19 )
Kedaulatan pangan merupakan konsep pemenuhan pangan melalui produksi lokal. Kedaulatan pangan juga menyangkut masalah pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. ‘’Artinya, kedaulatan pangan sangat menjunjung tinggi prinsip diversifikasi pangan sesuai dengan budaya lokal yang ada,’’ papar Dwi Andreas.
Terkait hal ini, Badan Restorasi Gambut (BRG) sejak awal berdiri telah melakukan berbagai upaya untuk mengembangkan potensi petani di lahan gambut. BRG mengajak petani memanfaatkan lahan gambut terdegradasi, terbuka, terlantar menjadi lahan produktif. Selain bisa meningkatkan fungsi ekonomis, pemanfaatan lahan gambut yang sudah terbuka ini bisa mengurangi risiko kebakaran di musim kemarau.
Bekerja erat dengan petani lokal, BRG mempraktikkan budidaya di lahan gambut tipis ini di lebih dari 300 desa di Sumatera dan Kalimantan dengan menanam padi, nanas, talas, sagu, serta juga peternakan, dan perikanan. Masyarakat pun sudah terbiasa mengkonsumsi hasil budidaya di lahan gambut tersebut.
Berdasarkan kajian yang dilakukan Kementerian Pertanian dan BRG, setidaknya ada 14 komoditas untuk bisa ditanami di gambut. Pertanian yang dilaksanakan di lahan gambut mengikuti sistem climate smart agriculture, yang meminimalisasi dampak negatif pada tanah gambut. Kegiatan yang dilakukan antara lain adalah dengan memberikan edukasi Sekolah Lapang kepada petani untuk pemanfaatan lahan tanpa bakar dan penggunaan pupuk alami di tanah gambut yang asam dan peningkatan unsur hara alami tanah agar siap dimanfaatkan.
BRG juga terus mempopulerkan paludiculture, atau pertanian di lahan gambut atau lahan dengan air tergenang, kepada para petani lokal di lahan gambut menggunakan dua prinsip. Pertama, mempertahankan dan memfasilitasi pembentukan gambut dengan tidak mengkonversi lahan gambut yang fungsi lindung. Kedua, penggunaan spesies asli dengan lebih produktif untuk peningkatan ekonomi penduduk dan cadangan karbon.
Paludiculture yang dilaksanakan menghasilkan beberapa komoditas khas lahan gambut seperti padi rawa, ternak, perikanan “beje”, sagu, eco-tourism dan industri turunan. Paludiculture dinilai sebagai sistem pertanian yang sesuai dengan pemeliharaan ekosistem lahan gambut serta dapat memanfaatkan diversifikasi pangan menggunakan spesies asli lahan gambut. Paludiculture juga memberikan kontribusi untuk sumber penghasilan petani dan menekan kerusakan gambut dari kebakaran.
Sementara itu, Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead mengungkapkan upaya pelatihan petani krusial dalam proses restorasi ekosistem gambut Indonesia. Harapannya, petani punya kecukupan informasi untuk peningkatan produktivitas sambil menjaga ekosistem gambut tetap baik. ‘’Dengan pelatihan petani diharapkan pemanfaatan potensi ekosistem gambut menghasilkan berbagai macam sumber pangan yang dibutuhkan oleh Indonesia di masa depan,’’ jelasnya.
Namun sebelum petani kecil di lahan gambut bisa mendiri, terdapat berbagai tugas restorasi ekosistem gambut yang perlu dilaksanakan oleh seluruh pihak terkait. Salah satunya karena proses penggarapan lahan gambut secara berkelanjutan mahal. Sehingga petani yang tidak punya modal dan tenaga yang cukup akan kesulitan untuk meningkatkan produktivitas. ‘’Karena itu dibutuhkan sinergi antara petani, pemerintah dan swasta dalam mengoptimalkan lahan gambut untuk kegiatan pertanian ini,’’ papar Nazir.
Dari faktor ekologis dan hidrologis, lanjut dia, pihak terkait perlu menjaga tata kelola air gambut. Sehingga produktivitas pertanian dapat dipertahankan di musim kemarau. Hal ini tak terlepas dari fungsi kubah gambut sebagai penyimpan air. Kebakaran hutan dan lahan yang disengaja juga perlu ditindak tegas oleh pihak berwenang agar kegiatan ini tidak berulang dan menghindari kerugian para petani terdampak.
“Pemerintah akan memastikan infrastruktur pertanian di lahan basah termasuk lahan gambut dikelola dengan baik, sehingga petani dapat menjalankan perannya sebagai motor penggerak kebutuhan pangan bangsa Indonesia di masa yang akan datang,” tandas Naz
(uka)