Pajak dan Cukai Produk Tembakau Alternatif Perlu Disesuaikan dengan Profil Risiko

Kamis, 18 Juni 2020 - 17:56 WIB
loading...
Pajak dan Cukai Produk Tembakau Alternatif Perlu Disesuaikan dengan Profil Risiko
Pajak dan cukai produk tembakau alternatif perlu disesuaikan dengan profil risiko. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Sejumlah ahli kebijakan publik dan ilmuwan internasional menyuarakan pandangannya mengenai konsumsi nikotin dan pengurangan risiko merokok lewat produk tembakau alternatif pada gelaran Global Forum on Nicotine 2020 (GFN 2020) yang diselenggarakan secara daring.

Forum diskusi global mengenai nikotin yang ketujuh ini secara dalam membahas mengenai pengurangan risiko dari rokok dan potensi manfaat yang sangat besar bagi kesehatan publik.

Pakar kesehatan masyarakat asal Inggris, Gerry Stimson, yang menjadi salah satu pembicara di GFN, mengatakan ada 1,1 miliar perokok di dunia yang layak mendapatkan kesempatan dan pilihan yang lebih baik daripada mereka terus merokok. Para perokok tersebut perlu didorong untuk beralih dari rokok ke produk tembakau yang lebih rendah risiko.

"Banyak perokok dari berbagai negara di dunia yang berhasil beralih dari rokok ke produk tembakau alternatif yang lebih rendah risiko, walaupun jumlahnya masih relatif kecil dibandingkan jumlah perokok di dunia. Saya pikir ini saat yang tepat untuk menjadikan produk tembakau alternatif sebagai pilihan yang lebih rendah risiko," ujar Stimson dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis (18/6/2020).

Untuk dapat mendorong lebih banyak lagi perokok yang beralih ke produk tembakau alternatif, lanjut Stimson, dibutuhkan kebijakan pajak atau cukai yang sesuai dengan profil risiko dan jauh lebih rendah dibandingkan rokok.

Hal senada diungkapkan oleh David Sweanor, Profesor Fakultas Hukum, dan Ketua Dewan Penasihat Pusat Hukum Kesehatan, Kebijakan dan Etika di Universitas Ottawa, Kanada. Ia mengungkapkan pengenaan pajak atau cukai harusnya disesuaikan dengan profil risiko.

Di Indonesia sendiri cukai untuk produk tembakau alternatif yang termasuk dalam kategori Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL), dikenakan tarif tertinggi yaitu 57% sesuai dengan UU Cukai No. 39 tahun 2007. Beban cukai HPTL ini lebih tinggi dibandingkan dengan mayoritas produk rokok. Hal ini bertentangan dengan tren kebijakan di negara lainnya yang mana tarif cukai HPTL umumnya lebih rendah dibadingkan dengan rokok.

Dengan sistem yang ada dan kemungkinan kenaikan cukai setiap tahun, maka beban cukai setinggi ini hanya akan terus membebani konsumen dan membatasi akses mereka terhadap produk tembakau alternatif produknya.

Jika suatu produk memiliki risiko rendah, maka pajak atau cukai yang dikenakan harus lebih rendah dari produk yang memiliki risiko tinggi. Sebut saja, seperti e-cigarettes dan produk tembakau yang dipanaskan yang memiliki risiko lebih rendah dibandingkan dengan rokok konvensional.

Dengan tarif pajak atau cukai yang lebih rendah tersebut diharapkan dapat membuat harga produk menjadi lebih terjangkau. "Dengan semakin tinggi perbedaan harga, maka semakin tinggi kemungkinan konsumen akan mengubah kebiasaan konsumsi mereka dan itu mendorong ke produk yang lebih rendah risiko," kata Sweanor.

Menurutnya, dalam Journal of Medicine, para ekonom terkemuka juga telah memaparkan berbagai alasan bahwa harus ada pajak atau cukai yang berbeda untuk produk yang memiliki risiko berbeda. "Ini yang kami suarakan, bahwa ada produk lain yang profil risikonya rendah perlu diberikan insentif, mengingat perbedaan yang sangat besar dalam risiko," pungkas Sweanor.

Dengan demikian, pemerintah diharapkan semakin terbuka dalam merumuskan kebijakan cukai untuk produk tembakau alternatif yang memungkinkan akses konsumen yang adil namun tetap berkontribusi bagi penerimaan negara.
(bon)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1201 seconds (0.1#10.140)