Saat Benteng Rusia Runtuh, Ekonomi Global Menghadapi Tatanan Dunia Baru
loading...
A
A
A
MOSKOW - Ketika ekonomi Rusia tertatih-tatih di ambang kehancuran, kejatuhannya bisa terbukti lebih konsekuensial daripada yang mungkin diperkirakan sebelumnya.
Pembekuan aset Bank Sentral Rusia dan dolar Amerika Serikat (AS) yang menjadi senjata tidak hanya menyebabkan rencana 'Benteng Rusia' Vladimir Putin runtuh, tetapi juga memicu kekhawatiran bahwa ekonomi dunia terpecah.
Beberapa di keuangan global, termasuk Dana Moneter Internasional (IMF) mencemaskan sanksi Barat kepada Rusia berarti membuat ekonomi global terpecah menjadi kubu-kubu setelah invasi Rusia . Satu sisi dipimpin oleh AS dan yang lainnya oleh China, dengan konsekuensi krisis.
Mereka menyakini ekonomi dunia sedang retak menjadi dua bagian. Rusia akan dipaksa untuk menjauh dari keuangan Barat, teknologi dan dolar AS. Kemungkinannya mereka akan jatuh ke tangan Presiden China Xi Jinping, sementara lainnya bisa mengikuti untuk menghindari menjadi yang berikutnya.
“Perang juga meningkatkan risiko fragmentasi ekonomi dunia yang lebih permanen ke dalam blok geopolitik dengan standar teknologi yang berbeda, sistem pembayaran lintas batas, dan mata uang cadangan,” kata Kepala Ekonom IMF, Pierre-Olivier Gourinchas seperti dikutip dari Telegraph.
Sebelumnya disampaikan beberapa proyeksi suram ekonomi global setelah invasi Rusia ke Ukraina. Sambung Gourinchas mengatakan, 'pergeseran tektonik' di mana perdagangan dan standar pembayaran terpisah menjadi blok-blok akan menjadi 'bencana' bagi ekonomi global.
"Ini akan menjadi tantangan besar bagi kerangka kerja berbasis aturan yang telah mengatur hubungan internasional dan ekonomi selama 75 tahun terakhir," tambah Gourinchas.
Sementara para pemikir besar di bidang ekonomi tampaknya setuju bahwa perubahan mendasar sedang berlangsung dalam ekonomi global, mereka terbagi atas beberapa jenis dunia pasca-Covid, pasca-perang Ukraina yang akan muncul.
Beberapa percaya perang akan menyebabkan fragmentasi ekonomi dan kematian dolar sebagai mata uang cadangan dunia. Sedangkan yang lain menepis gagasan bahwa pergeseran seismik seperti itu sedang berlangsung.
Dario Perkins, selaku direktur pelaksana makro global di TS Lombard, mengatakan: “Kami selalu berpikir bahwa pecahnya ekonomi global ke dalam blok perdagangan yang berbeda - AS, Asia dan Eropa di tengah - akan terjadi, tetapi kami telah mempercepatnya."
“Beberapa dari tren ini akan dipercepat, terutama (mengingat) Anda sedang mendekatkan Rusia, China, India, dan negara-negara lain. Mereka mulai menggunakan renminbi dalam perdagangan bilateral, bukan dolar.”
Sanksi keuangan yang dilancarkan terhadap Rusia oleh Barat telah menyapu dan menghancurkan, sementara banyak perusahaan telah merasakan pukulan dengan menarik operasional mereka ke luar negeri. Ada kekhawatiran ini dapat memaksa Rusia dan negara lain untuk mencari alternatif sistem keuangan global yang didominasi oleh Barat.
Selain sanksi pribadi terhadap Putin dan dalam lingkaran oligarki hingga menteri, Barat juga menargetkan pemberi pinjaman dan bank sentralnya. Sejumlah bank Rusia dikeluarkan dari sistem pembayaran global Swift, membuatnya jauh lebih sulit bagi mereka untuk melakukan bisnis dan melakukan pembayaran lintas batas.
Visa dan Mastercard juga menangguhkan operasi mereka di Rusia, memblokir akses ke kartu baru yang dikeluarkan. Sementara itu setelah invasi, Barat membekukan setengah dari mata uang asing dan cadangan emas bank sentral Rusia, yang menghambat kemampuan Moskow untuk menopang rubel dan sistem perbankannya.
Di bawah rencana Benteng Rusia milik Putin untuk melindunginya dari sanksi, Moskow telah membangun cadangan devisa perang senilai USD640 miliar. Beberapa orang khawatir sanksi keuangan dan dolar AS ini memiliki konsekuensi jangka panjang, mungkin memikat negara-negara ke kubu yang dipimpin oleh China.
Bank Rusia beralih ke alternatif Swift yang berbasis di Belgia untuk memperlancar pembayaran lintas batas. Bank sentralnya memiliki sistem sendiri yang telah ditawarkan India untuk pembayaran rubel, sementara China juga memiliki alternatif yang dapat menyaingi Swift.
Pemberi pinjaman di Moskow telah beralih ke raksasa pembayaran China UnionPay untuk membantu mereka mengeluarkan kartu debit dan kredit setelah Visa dan Mastercard bergabung dengan eksodus massal merek-merek Barat dari Rusia.
Dua raksasa transaksi pembayaran Amerika menyumbang 70% dari pasar kartu debit Rusia, tetapi Kremlin menciptakan sistemnya sendiri, Mir, setelah aneksasi Krimea. Setelah kepergian Visa dan Mastercard, bank-bank Rusia dan Mir berharap dapat bekerja sama dengan UnionPay, yang telah berkembang pesat di luar China dalam beberapa tahun terakhir, untuk menerbitkan kartu.
Namun, laporan menunjukkan pekan lalu bahwa UnionPay mulai bersikap dingin, karena khawatir akan terseret ke dalam sanksi Barat. Kekhawatiran perpecahan juga telah menghidupkan kembali perdebatan lama tentang apakah dolar AS berisiko kehilangan statusnya sebagai mata uang cadangan dunia.
"Setelah perang ini berakhir, 'uang' tidak akan pernah sama lagi," kata Zoltan Pozsar dari Credit Suisse saat ia mendeklarasikan "tatanan (moneter) dunia baru" setelah pembekuan cadangan bank sentral Rusia.
Lihat Juga: Sedang Perang Lawan Rusia, Zelensky Justru Pecat Banyak Diplomat Termasuk Dubes Ukraina di Indonesia
Pembekuan aset Bank Sentral Rusia dan dolar Amerika Serikat (AS) yang menjadi senjata tidak hanya menyebabkan rencana 'Benteng Rusia' Vladimir Putin runtuh, tetapi juga memicu kekhawatiran bahwa ekonomi dunia terpecah.
Beberapa di keuangan global, termasuk Dana Moneter Internasional (IMF) mencemaskan sanksi Barat kepada Rusia berarti membuat ekonomi global terpecah menjadi kubu-kubu setelah invasi Rusia . Satu sisi dipimpin oleh AS dan yang lainnya oleh China, dengan konsekuensi krisis.
Mereka menyakini ekonomi dunia sedang retak menjadi dua bagian. Rusia akan dipaksa untuk menjauh dari keuangan Barat, teknologi dan dolar AS. Kemungkinannya mereka akan jatuh ke tangan Presiden China Xi Jinping, sementara lainnya bisa mengikuti untuk menghindari menjadi yang berikutnya.
“Perang juga meningkatkan risiko fragmentasi ekonomi dunia yang lebih permanen ke dalam blok geopolitik dengan standar teknologi yang berbeda, sistem pembayaran lintas batas, dan mata uang cadangan,” kata Kepala Ekonom IMF, Pierre-Olivier Gourinchas seperti dikutip dari Telegraph.
Sebelumnya disampaikan beberapa proyeksi suram ekonomi global setelah invasi Rusia ke Ukraina. Sambung Gourinchas mengatakan, 'pergeseran tektonik' di mana perdagangan dan standar pembayaran terpisah menjadi blok-blok akan menjadi 'bencana' bagi ekonomi global.
"Ini akan menjadi tantangan besar bagi kerangka kerja berbasis aturan yang telah mengatur hubungan internasional dan ekonomi selama 75 tahun terakhir," tambah Gourinchas.
Sementara para pemikir besar di bidang ekonomi tampaknya setuju bahwa perubahan mendasar sedang berlangsung dalam ekonomi global, mereka terbagi atas beberapa jenis dunia pasca-Covid, pasca-perang Ukraina yang akan muncul.
Beberapa percaya perang akan menyebabkan fragmentasi ekonomi dan kematian dolar sebagai mata uang cadangan dunia. Sedangkan yang lain menepis gagasan bahwa pergeseran seismik seperti itu sedang berlangsung.
Dario Perkins, selaku direktur pelaksana makro global di TS Lombard, mengatakan: “Kami selalu berpikir bahwa pecahnya ekonomi global ke dalam blok perdagangan yang berbeda - AS, Asia dan Eropa di tengah - akan terjadi, tetapi kami telah mempercepatnya."
“Beberapa dari tren ini akan dipercepat, terutama (mengingat) Anda sedang mendekatkan Rusia, China, India, dan negara-negara lain. Mereka mulai menggunakan renminbi dalam perdagangan bilateral, bukan dolar.”
Sanksi keuangan yang dilancarkan terhadap Rusia oleh Barat telah menyapu dan menghancurkan, sementara banyak perusahaan telah merasakan pukulan dengan menarik operasional mereka ke luar negeri. Ada kekhawatiran ini dapat memaksa Rusia dan negara lain untuk mencari alternatif sistem keuangan global yang didominasi oleh Barat.
Selain sanksi pribadi terhadap Putin dan dalam lingkaran oligarki hingga menteri, Barat juga menargetkan pemberi pinjaman dan bank sentralnya. Sejumlah bank Rusia dikeluarkan dari sistem pembayaran global Swift, membuatnya jauh lebih sulit bagi mereka untuk melakukan bisnis dan melakukan pembayaran lintas batas.
Visa dan Mastercard juga menangguhkan operasi mereka di Rusia, memblokir akses ke kartu baru yang dikeluarkan. Sementara itu setelah invasi, Barat membekukan setengah dari mata uang asing dan cadangan emas bank sentral Rusia, yang menghambat kemampuan Moskow untuk menopang rubel dan sistem perbankannya.
Di bawah rencana Benteng Rusia milik Putin untuk melindunginya dari sanksi, Moskow telah membangun cadangan devisa perang senilai USD640 miliar. Beberapa orang khawatir sanksi keuangan dan dolar AS ini memiliki konsekuensi jangka panjang, mungkin memikat negara-negara ke kubu yang dipimpin oleh China.
Bank Rusia beralih ke alternatif Swift yang berbasis di Belgia untuk memperlancar pembayaran lintas batas. Bank sentralnya memiliki sistem sendiri yang telah ditawarkan India untuk pembayaran rubel, sementara China juga memiliki alternatif yang dapat menyaingi Swift.
Pemberi pinjaman di Moskow telah beralih ke raksasa pembayaran China UnionPay untuk membantu mereka mengeluarkan kartu debit dan kredit setelah Visa dan Mastercard bergabung dengan eksodus massal merek-merek Barat dari Rusia.
Dua raksasa transaksi pembayaran Amerika menyumbang 70% dari pasar kartu debit Rusia, tetapi Kremlin menciptakan sistemnya sendiri, Mir, setelah aneksasi Krimea. Setelah kepergian Visa dan Mastercard, bank-bank Rusia dan Mir berharap dapat bekerja sama dengan UnionPay, yang telah berkembang pesat di luar China dalam beberapa tahun terakhir, untuk menerbitkan kartu.
Namun, laporan menunjukkan pekan lalu bahwa UnionPay mulai bersikap dingin, karena khawatir akan terseret ke dalam sanksi Barat. Kekhawatiran perpecahan juga telah menghidupkan kembali perdebatan lama tentang apakah dolar AS berisiko kehilangan statusnya sebagai mata uang cadangan dunia.
"Setelah perang ini berakhir, 'uang' tidak akan pernah sama lagi," kata Zoltan Pozsar dari Credit Suisse saat ia mendeklarasikan "tatanan (moneter) dunia baru" setelah pembekuan cadangan bank sentral Rusia.
Lihat Juga: Sedang Perang Lawan Rusia, Zelensky Justru Pecat Banyak Diplomat Termasuk Dubes Ukraina di Indonesia
(akr)