Pengembangan Jenis Tanaman Bioenergi Bisa Jadi Solusi Lahan Terdegradasi
loading...
A
A
A
Paludikultur adalah sistem budidaya di lahan gambut yang mengoptimalkan jenis-jenis tanaman asli atau tanaman lain yang adaptif. Untuk pemanfaatan jangka pendek bisa dilakukan dengan menanam serai wangi dan jelutung yang bisa disadap getahnya untuk pemanfaatan jangka panjang. Sedangkan untuk jangka menengah bisa dimanfaatkan dengan menanam tanaman bioenergi seperti gamal, yang kayunya memiliki nilai kalori tinggi tak kalah dengan batubara.
*Baca juga:Indonesia Ajak ASEAN Kelola Gambut Berkelanjutan)
Tanaman gamal bisa dibudidayakan dengan sistem trubusan (copice) yang berarti pohon tidak perlu ditebang habis untuk pemanfaatan kayunya. “Saat ini pola paludikultur ini sedang diujicoba di salah satu PBPH di Kalimantan Barat,” kata Indroyono.
Dia mengatakan kayu gamal bisa dimanfaatkan dalam bentuk serpih atau diolah menjadi wood pellet untuk selanjutnya menjadi pendamping atau pengganti batubara di pembangkit listrik.
Menurut Indroyono, perusahaan energi Indonesia, PLN, saat ini sedang menuju penggunaan biomassa yang lebih banyak untuk pembangkitan listrik. “Dibutuhkan sekitar 4,1 juta per tahun biomassa untuk kebutuhan co firing di 52 lokasi pembangkit listrik PLN,” katanya.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Budi Leksono mengatakan tanaman yang juga potensial dikembangkan sebagai bioenergi sekaligus merehabilitasi gambut adalah nyamplung (calophyllum inophyllum).
“Produktivitas tanaman nyamplung sangat tinggi mencapai 20 ton per ha/tahun dengan rendemen minyak bisa mencapai 60% dari berat biji kering,” katanya.
Nyamplung juga punya keunggulan karena minyak yang dihasilkan tidak bersaing untuk kebutuhan pangan seperti halnya pada minyak sawit.
Peneliti CIFOR Mi Hyun Sol mengingatkan pentingnya menjaga dan merestorasi gambut karena memiliki peran penting dalam kehidupan, seperti sumber air, pangan, tempat berbagai keanekaragaman hayati, dan membantu mengendalikan perubahan iklim.
Peneliti CIFOR lainnya Himlal Barar mengatakan pentingnya untuk terus mempraktikan pengelolaan gambut secara lestari. Proyek ujicoba budidaya adaptif di lahan gambut yang saat ini dilakukan perlu untuk diperluas skala pelaksanaannya.
*Baca juga:Indonesia Ajak ASEAN Kelola Gambut Berkelanjutan)
Tanaman gamal bisa dibudidayakan dengan sistem trubusan (copice) yang berarti pohon tidak perlu ditebang habis untuk pemanfaatan kayunya. “Saat ini pola paludikultur ini sedang diujicoba di salah satu PBPH di Kalimantan Barat,” kata Indroyono.
Dia mengatakan kayu gamal bisa dimanfaatkan dalam bentuk serpih atau diolah menjadi wood pellet untuk selanjutnya menjadi pendamping atau pengganti batubara di pembangkit listrik.
Menurut Indroyono, perusahaan energi Indonesia, PLN, saat ini sedang menuju penggunaan biomassa yang lebih banyak untuk pembangkitan listrik. “Dibutuhkan sekitar 4,1 juta per tahun biomassa untuk kebutuhan co firing di 52 lokasi pembangkit listrik PLN,” katanya.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Budi Leksono mengatakan tanaman yang juga potensial dikembangkan sebagai bioenergi sekaligus merehabilitasi gambut adalah nyamplung (calophyllum inophyllum).
“Produktivitas tanaman nyamplung sangat tinggi mencapai 20 ton per ha/tahun dengan rendemen minyak bisa mencapai 60% dari berat biji kering,” katanya.
Nyamplung juga punya keunggulan karena minyak yang dihasilkan tidak bersaing untuk kebutuhan pangan seperti halnya pada minyak sawit.
Peneliti CIFOR Mi Hyun Sol mengingatkan pentingnya menjaga dan merestorasi gambut karena memiliki peran penting dalam kehidupan, seperti sumber air, pangan, tempat berbagai keanekaragaman hayati, dan membantu mengendalikan perubahan iklim.
Peneliti CIFOR lainnya Himlal Barar mengatakan pentingnya untuk terus mempraktikan pengelolaan gambut secara lestari. Proyek ujicoba budidaya adaptif di lahan gambut yang saat ini dilakukan perlu untuk diperluas skala pelaksanaannya.