Harga Tetiba Meroket, Awas Kena Bocuan dari Saham Gorengan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Seorang investor pasar modal , terutama yang masih "hijau", harus melek dengan seluk-beluk perdagangan saham . Mulai dari istilah-istilah bursa, pergerakan harga saham, aksi korporasi, hingga kasak-kusuk pasar modal. Semua itu perlu diketahui agar cuan dari main saham jangan sampai bersalin menjadi bocuan, alias tekor.
Di pasar saham, apa saja bisa terjadi dengan cepat, termasuk pergerakan harga saham. Memang telat nimbrung kita bisa ketinggalan untung, tapi terlalu cepat naik "gerbong beli" juga bisa "kehabisan ongkos".
Jika melihat ada satu emiten yang harga sahamnya tiba-tiba melesat tanpa ba bi bu terlebih dahulu, investor harus jeli menerawang musababnya. Apalagi saham itu punya kapitalisasi kecil, di bawah Rp1 triliun. Ditambah lagi, kinerja emitennya yang terbilang leha-leha belaka, tak punya prospek dan fundamental yang oke.
Harus ditelisik apakah kenaikan harga saham yang tinggi itu dilatari aksi-aksi korporasi, mulai dari kerja sama bisnis dengan perusahaan lain, dapat suntikan modal, atau dibeli oleh korporasi gaban untuk dikembangkan. Jika isu-isu menyelimuti, maka kenaikan harga saham tadi memanglah wajar dan layak diburu.
Tetapi jika "tak ada angin, tak ada hujan" harga saham itu melesat maka sebaiknya waspada. Jangan asal sambar itu saham. Bisa jadi itu adalah saham gorengan. Apa itu saham gorengan? Secara sederhana saham gorengan adalah saham-saham yang secara sengaja dikerek harganya oleh sejumlah investor, biasanya disebut bandar, demi keuntungan mereka.
Istilah saham gorengan menganalogikan makanan yang digoreng yang menyuguhkan kenikmatan. Padahal di balik itu, ada "ancaman" yang bisa mengganggu kesehatan alias portofolio investasi.
Bagaimana cara menggorengnya? Umumnya banyak bandar yang sudah berkongkalikong melakukan penawaran dan pembelian dalam jumlah signifikan terhadap suatu saham yang akan digoreng. Selanjutnya para bandar akan secara diam-diam mengembuskan isu atau rumor terhadap aksi-aksi korporasi emiten itu. Padahal itu semua hanya bohong belaka.
Siasat itu dilakukan agar investor lain (umumnya ritel) melongok transaksi itu dan tergiur untuk mengoleksi. Ketika sudah banyak investor berebut memborong saham itu di saat harga tinggi, para bandar dengan senang hati melepasnya.
Cilakanya, ketika sudah banyak investor tercebur membeli dan berusaha menjualnya kembali, mereka bakal gelagapan. Pasalnya, tak ada lagi investor apalagi bandar yang sudi melakukan buyback. Alhasil, para investor itu terjebak membeli saham dengan harga tinggi dan sulit menjualnya.
Bayangkan, berapalah harga dari sebuah barang yang tak laku dijual, barang yang tak ada yang menginginkan? Sekalipun ada yang tertarik membeli, maka harganya akan sangat jauh dibanding harga beli. Bahkan, dibanding harga awal sebelum saham itu digoreng.
Makanya, banyak investor yang akhirnya cut lost (jual rugi) daripada menyimpan saham itu. Pasalnya, harga saham itu ke depannya sangat-sangat sulit bergerak naik lagi. Ini bisa kita lihat di kelompok saham-saham gocap.
Pertanyaannya, apakah saham gorengan melulu terkait dengan kenaikan harga? Bisa jadi tidak. Saham gorengan bisa saja dibuat jatuh harganya, agar para investor ramai-ramai melepas. Tujuannya untuk menguasai saham itu secara dominan karena mereka mengetahui rencana-rencana aksi korporasi terlebih dahulu. Biasanya gorengan saham jenis ini masuk dalam kategori insider trading, melibatkan orang dalam.
Agar tak terjebak dalam saham gorengan, maka investor harus mengenali ciri-cirinya. Berikut ini ciri-ciri saham gorengan yang dikutip dari berbagai sumber.
1. Harga naik cukup tinggi dan cepat
Turun atau naiknya harga sebuah saham adalah wajar, karena ditentukan oleh penawaran dan pembelian. Namun jika ada saham mengalami kenaikan harga yang signifikan dalam waktu yang sangat singkat, lebih dari 10%, maka bisa ditebak saham tersebut telah digoreng.
Kenaikan saham yang tetiba itu umumnya juga biasanya kena kartu dari PT Bursa Efek Indonesia berupa auto reject atas (ARA). Sistem bursa akan menolak order jual atau beli yang masuk secara otomatis jika harga saham telah menembus batas atas atau bawah yang telah ditetapkan oleh Bursa Efek Indonesia.
Besaran persentase kenaikan yang ditentukan oleh ARA disesuaikan dengan kelas dan harga saham. Untuk kelas saham dengan harga di atas Rp5.000, ARA-nya hanya 20%. Saham di antara Rp200-Rp5.000 ARA 25%. Dan saham dengan harga Rp50-Rp200 adalah 35% per harinya.
Lantaran sudah masuk radar bursa, maka pergerakan harga yang tak biasanya itu juga dapat menjadi alarm kepada pelaku bursa bahwa ada kemungkinan saham tersebut sedang digoreng bandar. Kenaikan harga saham yang tinggi ini juga tak sesuai dengan kinerja perseroan yang stagnan, bahkan merugi. Makanya, aneh jika perusahaannya merugi tapi harga sahamnya meroket.
Volume Perdagangan yang Tidak Sesuai
Volume perdagangan saham gorengan biasanya paling besar jika dibandingkan dengan saham-saham emiten ternama lain. Bukan karena peminatnya banyak, tapi karena volume transaksi yang dimainkan oleh bandar. Para pelaku dengan sengaja membeli dalam jumlah banyak, sehingga harga saham naik secara dramatis. Bahkan rela membuat penawaran di atas harga pasar.
Kapitalisasi pasar kecil
Emiten yang sahamnya digoreng umumnya memiliki kapitalisasi pasar yang kecil. Semakin kecil kapitalisasi pasar perusahaan akan kian mudah harganya untuk dikerek naik. Biasanya saham-saham yang berpotensi digoreng memiliki kapitalisasi pasar di bawah Rp1 triliun.
Volume dan nilai transaksi harian janggal
Kapitalisasi pasarnya yang mini dan masuk kategori saham kelas dua atau tiga, tetapi volume dan nilai transaksi hariannya sangat tinggi dibanding perusahaan sejenis, bahkan menyamai transaksi saham unggulan (blue chip). Saham gorengan juga umumnya punya antrean beli di harga rendah, sedangkan antrean jual saham di harga tinggi. Saham gorengan ditransaksikan dalam jumlah besar, tetapi posisi bid dan offer-nya tipis-tipis. Hampir di setiap harga antrean, baik bid maupun offer, antreannya tidak merata bahkan sering hanya 1 lot per harga yang memudahkan bandar menaikkan harga sahamnya.
Tidak dapat dianalisis
Karena kinerja keuangan tidak setinggi kenaikan harga sahamnya di pasar, rasio keuangan dan valuasi saham gorengan cenderung terlalu tinggi dibandingkan pesaing terdekat, atau bahkan tidak masuk akal. Dengan kata lain, saham ini tidak dapat dianalisis secara fundamental. Valuasi yang biasa digunakan perusahaan adalah rasio harga saham per nilai buku (price to book value, P/BV) dan rasio harga saham per laba (earning per share, EPS).
Jika valuasi perusahaan terlalu jauh di atas pesaingnya, misalnya ketika rerata PBV sebuah industri di angka 1,5 kali, maka jika ada emiten yang PBV-nya 20 kali atau bahkan 100 kali maka sebaiknya dihindari. Secara teknikal, pergerakan saham tersebut juga terlalu berfluktuatif atau justru jarang ditransaksikan sehingga tidak memunculkan indikator analisis teknikal sama sekali.
Di pasar saham, apa saja bisa terjadi dengan cepat, termasuk pergerakan harga saham. Memang telat nimbrung kita bisa ketinggalan untung, tapi terlalu cepat naik "gerbong beli" juga bisa "kehabisan ongkos".
Jika melihat ada satu emiten yang harga sahamnya tiba-tiba melesat tanpa ba bi bu terlebih dahulu, investor harus jeli menerawang musababnya. Apalagi saham itu punya kapitalisasi kecil, di bawah Rp1 triliun. Ditambah lagi, kinerja emitennya yang terbilang leha-leha belaka, tak punya prospek dan fundamental yang oke.
Harus ditelisik apakah kenaikan harga saham yang tinggi itu dilatari aksi-aksi korporasi, mulai dari kerja sama bisnis dengan perusahaan lain, dapat suntikan modal, atau dibeli oleh korporasi gaban untuk dikembangkan. Jika isu-isu menyelimuti, maka kenaikan harga saham tadi memanglah wajar dan layak diburu.
Tetapi jika "tak ada angin, tak ada hujan" harga saham itu melesat maka sebaiknya waspada. Jangan asal sambar itu saham. Bisa jadi itu adalah saham gorengan. Apa itu saham gorengan? Secara sederhana saham gorengan adalah saham-saham yang secara sengaja dikerek harganya oleh sejumlah investor, biasanya disebut bandar, demi keuntungan mereka.
Istilah saham gorengan menganalogikan makanan yang digoreng yang menyuguhkan kenikmatan. Padahal di balik itu, ada "ancaman" yang bisa mengganggu kesehatan alias portofolio investasi.
Bagaimana cara menggorengnya? Umumnya banyak bandar yang sudah berkongkalikong melakukan penawaran dan pembelian dalam jumlah signifikan terhadap suatu saham yang akan digoreng. Selanjutnya para bandar akan secara diam-diam mengembuskan isu atau rumor terhadap aksi-aksi korporasi emiten itu. Padahal itu semua hanya bohong belaka.
Siasat itu dilakukan agar investor lain (umumnya ritel) melongok transaksi itu dan tergiur untuk mengoleksi. Ketika sudah banyak investor berebut memborong saham itu di saat harga tinggi, para bandar dengan senang hati melepasnya.
Cilakanya, ketika sudah banyak investor tercebur membeli dan berusaha menjualnya kembali, mereka bakal gelagapan. Pasalnya, tak ada lagi investor apalagi bandar yang sudi melakukan buyback. Alhasil, para investor itu terjebak membeli saham dengan harga tinggi dan sulit menjualnya.
Bayangkan, berapalah harga dari sebuah barang yang tak laku dijual, barang yang tak ada yang menginginkan? Sekalipun ada yang tertarik membeli, maka harganya akan sangat jauh dibanding harga beli. Bahkan, dibanding harga awal sebelum saham itu digoreng.
Makanya, banyak investor yang akhirnya cut lost (jual rugi) daripada menyimpan saham itu. Pasalnya, harga saham itu ke depannya sangat-sangat sulit bergerak naik lagi. Ini bisa kita lihat di kelompok saham-saham gocap.
Pertanyaannya, apakah saham gorengan melulu terkait dengan kenaikan harga? Bisa jadi tidak. Saham gorengan bisa saja dibuat jatuh harganya, agar para investor ramai-ramai melepas. Tujuannya untuk menguasai saham itu secara dominan karena mereka mengetahui rencana-rencana aksi korporasi terlebih dahulu. Biasanya gorengan saham jenis ini masuk dalam kategori insider trading, melibatkan orang dalam.
Agar tak terjebak dalam saham gorengan, maka investor harus mengenali ciri-cirinya. Berikut ini ciri-ciri saham gorengan yang dikutip dari berbagai sumber.
1. Harga naik cukup tinggi dan cepat
Turun atau naiknya harga sebuah saham adalah wajar, karena ditentukan oleh penawaran dan pembelian. Namun jika ada saham mengalami kenaikan harga yang signifikan dalam waktu yang sangat singkat, lebih dari 10%, maka bisa ditebak saham tersebut telah digoreng.
Kenaikan saham yang tetiba itu umumnya juga biasanya kena kartu dari PT Bursa Efek Indonesia berupa auto reject atas (ARA). Sistem bursa akan menolak order jual atau beli yang masuk secara otomatis jika harga saham telah menembus batas atas atau bawah yang telah ditetapkan oleh Bursa Efek Indonesia.
Besaran persentase kenaikan yang ditentukan oleh ARA disesuaikan dengan kelas dan harga saham. Untuk kelas saham dengan harga di atas Rp5.000, ARA-nya hanya 20%. Saham di antara Rp200-Rp5.000 ARA 25%. Dan saham dengan harga Rp50-Rp200 adalah 35% per harinya.
Lantaran sudah masuk radar bursa, maka pergerakan harga yang tak biasanya itu juga dapat menjadi alarm kepada pelaku bursa bahwa ada kemungkinan saham tersebut sedang digoreng bandar. Kenaikan harga saham yang tinggi ini juga tak sesuai dengan kinerja perseroan yang stagnan, bahkan merugi. Makanya, aneh jika perusahaannya merugi tapi harga sahamnya meroket.
Volume Perdagangan yang Tidak Sesuai
Volume perdagangan saham gorengan biasanya paling besar jika dibandingkan dengan saham-saham emiten ternama lain. Bukan karena peminatnya banyak, tapi karena volume transaksi yang dimainkan oleh bandar. Para pelaku dengan sengaja membeli dalam jumlah banyak, sehingga harga saham naik secara dramatis. Bahkan rela membuat penawaran di atas harga pasar.
Kapitalisasi pasar kecil
Emiten yang sahamnya digoreng umumnya memiliki kapitalisasi pasar yang kecil. Semakin kecil kapitalisasi pasar perusahaan akan kian mudah harganya untuk dikerek naik. Biasanya saham-saham yang berpotensi digoreng memiliki kapitalisasi pasar di bawah Rp1 triliun.
Volume dan nilai transaksi harian janggal
Kapitalisasi pasarnya yang mini dan masuk kategori saham kelas dua atau tiga, tetapi volume dan nilai transaksi hariannya sangat tinggi dibanding perusahaan sejenis, bahkan menyamai transaksi saham unggulan (blue chip). Saham gorengan juga umumnya punya antrean beli di harga rendah, sedangkan antrean jual saham di harga tinggi. Saham gorengan ditransaksikan dalam jumlah besar, tetapi posisi bid dan offer-nya tipis-tipis. Hampir di setiap harga antrean, baik bid maupun offer, antreannya tidak merata bahkan sering hanya 1 lot per harga yang memudahkan bandar menaikkan harga sahamnya.
Tidak dapat dianalisis
Karena kinerja keuangan tidak setinggi kenaikan harga sahamnya di pasar, rasio keuangan dan valuasi saham gorengan cenderung terlalu tinggi dibandingkan pesaing terdekat, atau bahkan tidak masuk akal. Dengan kata lain, saham ini tidak dapat dianalisis secara fundamental. Valuasi yang biasa digunakan perusahaan adalah rasio harga saham per nilai buku (price to book value, P/BV) dan rasio harga saham per laba (earning per share, EPS).
Baca Juga
Jika valuasi perusahaan terlalu jauh di atas pesaingnya, misalnya ketika rerata PBV sebuah industri di angka 1,5 kali, maka jika ada emiten yang PBV-nya 20 kali atau bahkan 100 kali maka sebaiknya dihindari. Secara teknikal, pergerakan saham tersebut juga terlalu berfluktuatif atau justru jarang ditransaksikan sehingga tidak memunculkan indikator analisis teknikal sama sekali.
(uka)