Pengamat: Jika Premium Mau dihapus, Pemerintah Harus Konsisten
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengamat Energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai bahwa pemerintah tidak konsisten dalam penerapan bahan bakar minyak (BBM) yang berkualitas pada masyarakat. Hal itu ditandai dengan perubahan aturan terhadap jumlah distribusi bensin jenis premium.
"Kuncinya itu konsisten, jika memang arahnya penggunaan BBM yang berkualitas terhadap lingkungan dengan menghapus premium," kata Komaidi dalam diskusi secara virtual bersama YLKI, Sabtu (27/6/2020).
Ia menjelaskan, pemerintah sejatinya sudah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang pembatasan distribusi bensin jenis premium yang ada di Jawa, Madura dan Bali. Hasilnya, dari tahun 2014 sampai 2018 ada penurunan signifikan terhadap konsumsi premium.
(Baca Juga: Dinilai Sudah Saatnya RI Wajibkan BBM RON Tinggi, Ini Alasannya)
Berdasarkan catatan Komaidi, pada tahun 2017, konsumsi premium hanya 7 juta kiloliter (KL) per tahun dari rata-rata 14 juta KL pada tahun sebelumnya. Namun sayangnya, perubahan konsumsi yang signifikan itu direvisi dengan Pepres No 43 tahun 2018. Akibatnya, peningkatan konsumsi premium terjadi lagi.
"Sebenarnya langkah awal pemerintahan sudah tepat dengan melakukan pengurang konsumsi secara bertahap. Namun karena direvisi, maka pada 2018 naik lagi konsumsinya menjadi 9 juta KL. Revisi itu dilakukan saat menjelang Lebaran dan menjelang Pemilu presiden," terangnya.
Ia menegaskan, jika pemerintah masih mengarahkan masyarakat untuk mengonsumsi BBM dengan harga yang murah, maka konsumsinya pun akan terus bertambah. "Prinsip harga itu seperti air, masyarakat akan memilih harga terendah. Dalam hal ini pemerintah harus tegas dan konsisten jika menginginkan penggunaan BBM yang berkualitas. Jika tegas, maka baik dari Pertamina hingga masyarakat pun akan mengikuti," tandasnya.
"Kuncinya itu konsisten, jika memang arahnya penggunaan BBM yang berkualitas terhadap lingkungan dengan menghapus premium," kata Komaidi dalam diskusi secara virtual bersama YLKI, Sabtu (27/6/2020).
Ia menjelaskan, pemerintah sejatinya sudah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang pembatasan distribusi bensin jenis premium yang ada di Jawa, Madura dan Bali. Hasilnya, dari tahun 2014 sampai 2018 ada penurunan signifikan terhadap konsumsi premium.
(Baca Juga: Dinilai Sudah Saatnya RI Wajibkan BBM RON Tinggi, Ini Alasannya)
Berdasarkan catatan Komaidi, pada tahun 2017, konsumsi premium hanya 7 juta kiloliter (KL) per tahun dari rata-rata 14 juta KL pada tahun sebelumnya. Namun sayangnya, perubahan konsumsi yang signifikan itu direvisi dengan Pepres No 43 tahun 2018. Akibatnya, peningkatan konsumsi premium terjadi lagi.
"Sebenarnya langkah awal pemerintahan sudah tepat dengan melakukan pengurang konsumsi secara bertahap. Namun karena direvisi, maka pada 2018 naik lagi konsumsinya menjadi 9 juta KL. Revisi itu dilakukan saat menjelang Lebaran dan menjelang Pemilu presiden," terangnya.
Ia menegaskan, jika pemerintah masih mengarahkan masyarakat untuk mengonsumsi BBM dengan harga yang murah, maka konsumsinya pun akan terus bertambah. "Prinsip harga itu seperti air, masyarakat akan memilih harga terendah. Dalam hal ini pemerintah harus tegas dan konsisten jika menginginkan penggunaan BBM yang berkualitas. Jika tegas, maka baik dari Pertamina hingga masyarakat pun akan mengikuti," tandasnya.
(fai)