New Normal Jadi Angin Segar Bagi Industri Manufaktur, Produksi Masih Tertahan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang dirilis oleh IHS Markit pada bulan Juni 2020 menempati level 39,1 atau mengalami kenaikan hingga 10 poin dibanding bulan Mei yang berada di angka 28,6. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, kebijakan new normal memang memberikan angin segar bagi industri manufaktur untuk meningkatkan kinerja atau output produksi.
Namun, perlu diperhatikan bahwa angka ini masih jauh di bawah level 50 sehingga industri manufaktur masih akan menekan produksi 1 bulan ke depan dan belum akan kembali memproduksi hingga ke level pra pandemi. "Jadi jangan diharapkan produksi akan kembali ke level kinerja di bulan Februari 2020 dalam waktu dekat karena pelaku industri masih wait and see," ujarnya di Jakarta, Kamis (2/7/2020).
( )
Shinta melanjutkan, perusahaan juga akan mengontrol produksi dan stock barang sedemikian rupa sehingga suplai produk manufaktur bisa dihentikan atau diperbanyak sewaktu-waktu sesuai dengan perubahan pasar yang dapat terjadi sebulan kedepan. "Saat ini pun sebetulnya meskipun kegiatan ekonomi sudah meningkat, banyak perusahaan yang hanya menghabiskan stock saja atau menjual produk yang sudah diproduksi dibanding memproduksi baru," ungkapnya.
Menurut dia, kondisi pasar sepanjang relaksasi PSBB ini masih tidak pasti dan daya beli pun masih belum pulih. "Ini tentu mempengaruhi confidence pelaku usaha manufaktur dalam PMI dan dalam meng-setting target output produksi sebulan ke depan," imbuhnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, kebijakan new normal belum mampu sepenuhnya menggerakan industri. Faktor utamanya terletak pada masih rendahnya mobilitas masyarakat di era new normal.
"Data Google Mobility per 27 Juni 2020 menunjukkan pergerakan masyarakat ke tempat perbelanjaan secara nasional minus -23%. Untuk DKI Jakarta -32% setelah pelonggaran PSBB. Jadi masyarakat belum percaya diri untuk kembali berbelanja sehingga berdampak pada permintaan industri," ujarnya.
( )
Sementara untuk ekspor, masih terjadi penurunan kinerja di negara tujuan utama. Pada akhirnya industri akan menahan laju pembelian bahan baku. Menurut dia, untuk PMI kembali ke level 50 diperkirakan masih butuh waktu setidaknya 6-12 bulan ke depan.
Kebijakan pemerintah dinilai masih belum cukup mendukung pelaku usaha karena rendahnya realisasi stimulus dunia usaha yang baru 6,8%. "Sementara stimulus untuk UMKM belum ada 1% nya. Lambatnya stimulus membuat daya dorong ke pelaku usaha terhambat," tandasnya.
Namun, perlu diperhatikan bahwa angka ini masih jauh di bawah level 50 sehingga industri manufaktur masih akan menekan produksi 1 bulan ke depan dan belum akan kembali memproduksi hingga ke level pra pandemi. "Jadi jangan diharapkan produksi akan kembali ke level kinerja di bulan Februari 2020 dalam waktu dekat karena pelaku industri masih wait and see," ujarnya di Jakarta, Kamis (2/7/2020).
( )
Shinta melanjutkan, perusahaan juga akan mengontrol produksi dan stock barang sedemikian rupa sehingga suplai produk manufaktur bisa dihentikan atau diperbanyak sewaktu-waktu sesuai dengan perubahan pasar yang dapat terjadi sebulan kedepan. "Saat ini pun sebetulnya meskipun kegiatan ekonomi sudah meningkat, banyak perusahaan yang hanya menghabiskan stock saja atau menjual produk yang sudah diproduksi dibanding memproduksi baru," ungkapnya.
Menurut dia, kondisi pasar sepanjang relaksasi PSBB ini masih tidak pasti dan daya beli pun masih belum pulih. "Ini tentu mempengaruhi confidence pelaku usaha manufaktur dalam PMI dan dalam meng-setting target output produksi sebulan ke depan," imbuhnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, kebijakan new normal belum mampu sepenuhnya menggerakan industri. Faktor utamanya terletak pada masih rendahnya mobilitas masyarakat di era new normal.
"Data Google Mobility per 27 Juni 2020 menunjukkan pergerakan masyarakat ke tempat perbelanjaan secara nasional minus -23%. Untuk DKI Jakarta -32% setelah pelonggaran PSBB. Jadi masyarakat belum percaya diri untuk kembali berbelanja sehingga berdampak pada permintaan industri," ujarnya.
( )
Sementara untuk ekspor, masih terjadi penurunan kinerja di negara tujuan utama. Pada akhirnya industri akan menahan laju pembelian bahan baku. Menurut dia, untuk PMI kembali ke level 50 diperkirakan masih butuh waktu setidaknya 6-12 bulan ke depan.
Kebijakan pemerintah dinilai masih belum cukup mendukung pelaku usaha karena rendahnya realisasi stimulus dunia usaha yang baru 6,8%. "Sementara stimulus untuk UMKM belum ada 1% nya. Lambatnya stimulus membuat daya dorong ke pelaku usaha terhambat," tandasnya.
(akr)