Kenaikan Harga BBM Momentum Kejar Target Bauran Energi Nasional
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kenaikan harga minyak dunia yang berdampak pada kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dinilai jadi momentum untuk mengejar target Bauran Energi Nasional 2025. Salah satunya melalui optimalisasi gas bumi yang dinilai langkah strategis sebagai tahap transisi menuju penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) yang lebih besar sebagai sumber energi primer utama di masa depan.
Pemerintah menetapkan bahwa target Bauran Energi tahun 2025 adalah EBT sebesar 25%, gas bumi sebesar 22%, minyak bumi sebesar 25%, dan batubara sebesar 30%. Kemudian pada tahun 2050, komposisi target Bauran Energi Nasional ditargetkan EBT mencapai 31%, gas bumi 24%, dan minyak bumi 20%.
Sementara ini, sampai tahun 2020 sebagaimana data Kementerian ESDM, porsi EBT tercatat baru mencapai 11,20%, gas bumi sebesar 19,16%, minyak bumi sebesar 31,60%, dan batubara sebesar 38,04%.
Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto mengatakan, penggunaan minyak bumi saat ini masih dominan sebagai sumber energi sekunder. Hal ini kerap menjadi masalah terutama ketika harga minyak dunia naik signifikan.
Ketika harga minyak bumi naik tinggi, pada satu sisi akan berdampak pada kenaikan harga BBM sehingga harus menambah besaran subsidi yang memberatkan APBN. ”Sebab kebutuhan rata-rata BBM kita perhari itu 1,4 juta barel sedangkan produksi minyak kita hanya sekitar 600-700 ribu barel per hari. Sehingga ketergantungan terhadap impor BBM semakin tinggi,” ucap Sugeng.
Sugeng mengungkapkan, sejatinya DPR terus mendorong upaya pengurangan ketergantungan kepada minyak sebagai energi primer. Salah satunya dengan mengupayakan optimalisasi gas bumi.
”Pemanfaatan gas bumi, khususnya gas alam, harus didorong menjadi kebijakan utama dalam konteks energi. Dimana gas harus menjadi energi transisi untuk menuju optimalisasi EBT. Baik untuk kepentingan transportasi, industri, maupun rumah tangga,” ungkapnya.
Meskipun tidak renewable, menurutnya, gas bumi merupakan energi bersih. Selain itu, Indonesia memiliki produksi dan cadangan gas bumi yang besar melebihi minyak.
”Cadangan minyak kita sekarang ini mungkin tidak sampai 10 tahun jika tidak ditemukan sumber baru. Sedangkan gas bumi, yang sudah tereksploitasi saja bisa sampai 22 tahun ke depan ditambah lagi ada cadangan ditemukan baru yang kandungannya lebih besar,” terangnya.
Maka DPR meminta pemerintah memiliki sikap yang tegas terkait optimalisasi gas bumi. Momentum kenaikan harga minyak dan BBM saat ini perlu dioptimalkan untuk merealisasikannya.
”Saya menyesalkan sebetulnya dengan sikap pemerintah yang tidak firm dalam pemanfaatan gas bumi, gas alam. Memang kita harus duduk secara tegas ini, mau apa policy kita. Secara cadangan memang betul lah sudah tidak lagi Migas (minyak dan gas). Harus Gasmi (gas bumi). Karena cadangan gas lebih besar kan,” tegasnya.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Tauhid Ahmad berpendapat sama. Kenaikan harga BBM adalah momen mengejar target Bauran Energi Nasional melalui optimalisasi gas bumi.
”Misalnya PLN, sumber energinya berubah tidak lagi menggunakan BBM maka harus menggunakan energi lain. Misalnya menggunakan dari gas bumi untuk menghasilkan listrik. Kemudian yang memungkinkan kendaraan umum,” ucapnya.
Khusus terkait penggunaan BBG untuk transportasi umum, kata Ahmad, meskipun tidak semua daerah di Indonesia bisa menjalankannya namun tetap bisa berdampak positif dan secara bertahap bisa diupayakan lebih merata. ”Oleh karena itu Pemerintah harus tanggung pembangunan stasiun pengisian gas atau pemerintah kasih insentif supaya daerah lain bisa mengembangkan kendaraan gas,” sarannya.
Ahmad mengatakan optimalisasi gas bumi memang butuh kebijakan yang tegas dari pemerintah supaya aplikatif. ”Kebijakannya harus benar-benar bisa diimplementasikan. Terutama dimulai dari Kementerian dan Lembaga misalnya mulai dari kendaraan dinas, bisa menggunakan gas. Supaya konversinya cepat dan benar-benar dilakukan,” terusnya.
Insentif ke pelaku usaha juga diperlukan supaya konversi ke gas bumi semakin optimal. ”Misal dengan cara pengurangan pajak. Selain itu, pembiayaan harus didorong. Karena ini bagian dari penerapan Environmental, Social, and Governance (ESG),” tutupnya.
Pemerintah menetapkan bahwa target Bauran Energi tahun 2025 adalah EBT sebesar 25%, gas bumi sebesar 22%, minyak bumi sebesar 25%, dan batubara sebesar 30%. Kemudian pada tahun 2050, komposisi target Bauran Energi Nasional ditargetkan EBT mencapai 31%, gas bumi 24%, dan minyak bumi 20%.
Sementara ini, sampai tahun 2020 sebagaimana data Kementerian ESDM, porsi EBT tercatat baru mencapai 11,20%, gas bumi sebesar 19,16%, minyak bumi sebesar 31,60%, dan batubara sebesar 38,04%.
Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto mengatakan, penggunaan minyak bumi saat ini masih dominan sebagai sumber energi sekunder. Hal ini kerap menjadi masalah terutama ketika harga minyak dunia naik signifikan.
Ketika harga minyak bumi naik tinggi, pada satu sisi akan berdampak pada kenaikan harga BBM sehingga harus menambah besaran subsidi yang memberatkan APBN. ”Sebab kebutuhan rata-rata BBM kita perhari itu 1,4 juta barel sedangkan produksi minyak kita hanya sekitar 600-700 ribu barel per hari. Sehingga ketergantungan terhadap impor BBM semakin tinggi,” ucap Sugeng.
Sugeng mengungkapkan, sejatinya DPR terus mendorong upaya pengurangan ketergantungan kepada minyak sebagai energi primer. Salah satunya dengan mengupayakan optimalisasi gas bumi.
”Pemanfaatan gas bumi, khususnya gas alam, harus didorong menjadi kebijakan utama dalam konteks energi. Dimana gas harus menjadi energi transisi untuk menuju optimalisasi EBT. Baik untuk kepentingan transportasi, industri, maupun rumah tangga,” ungkapnya.
Meskipun tidak renewable, menurutnya, gas bumi merupakan energi bersih. Selain itu, Indonesia memiliki produksi dan cadangan gas bumi yang besar melebihi minyak.
”Cadangan minyak kita sekarang ini mungkin tidak sampai 10 tahun jika tidak ditemukan sumber baru. Sedangkan gas bumi, yang sudah tereksploitasi saja bisa sampai 22 tahun ke depan ditambah lagi ada cadangan ditemukan baru yang kandungannya lebih besar,” terangnya.
Maka DPR meminta pemerintah memiliki sikap yang tegas terkait optimalisasi gas bumi. Momentum kenaikan harga minyak dan BBM saat ini perlu dioptimalkan untuk merealisasikannya.
”Saya menyesalkan sebetulnya dengan sikap pemerintah yang tidak firm dalam pemanfaatan gas bumi, gas alam. Memang kita harus duduk secara tegas ini, mau apa policy kita. Secara cadangan memang betul lah sudah tidak lagi Migas (minyak dan gas). Harus Gasmi (gas bumi). Karena cadangan gas lebih besar kan,” tegasnya.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Tauhid Ahmad berpendapat sama. Kenaikan harga BBM adalah momen mengejar target Bauran Energi Nasional melalui optimalisasi gas bumi.
”Misalnya PLN, sumber energinya berubah tidak lagi menggunakan BBM maka harus menggunakan energi lain. Misalnya menggunakan dari gas bumi untuk menghasilkan listrik. Kemudian yang memungkinkan kendaraan umum,” ucapnya.
Khusus terkait penggunaan BBG untuk transportasi umum, kata Ahmad, meskipun tidak semua daerah di Indonesia bisa menjalankannya namun tetap bisa berdampak positif dan secara bertahap bisa diupayakan lebih merata. ”Oleh karena itu Pemerintah harus tanggung pembangunan stasiun pengisian gas atau pemerintah kasih insentif supaya daerah lain bisa mengembangkan kendaraan gas,” sarannya.
Ahmad mengatakan optimalisasi gas bumi memang butuh kebijakan yang tegas dari pemerintah supaya aplikatif. ”Kebijakannya harus benar-benar bisa diimplementasikan. Terutama dimulai dari Kementerian dan Lembaga misalnya mulai dari kendaraan dinas, bisa menggunakan gas. Supaya konversinya cepat dan benar-benar dilakukan,” terusnya.
Insentif ke pelaku usaha juga diperlukan supaya konversi ke gas bumi semakin optimal. ”Misal dengan cara pengurangan pajak. Selain itu, pembiayaan harus didorong. Karena ini bagian dari penerapan Environmental, Social, and Governance (ESG),” tutupnya.
(akr)