Ekonomi Global Didera Inflasi Tinggi, Transisi Energi Kian Menantang

Rabu, 14 September 2022 - 22:12 WIB
loading...
Ekonomi Global Didera...
Seorang mahasiswa belajar dengan penerangan listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Jeneponto, Sulawesi. Foto/SINDOnews/Maman Sukirman
A A A
JAKARTA - Dampak perubahan iklim harus diantisipasi, salah satunya melalui program transisi energi . Dukungan berbagai pihak diperlukan guna menyukseskan program yang juga menjadi prioritas pemerintah Indonesia itu.

Untuk diketahui, Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki risiko paling besar terkena dampak perubahan iklim.

Berdasarkan data Bank Pembangunan Asia, perubahan iklim akan memangkas Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) atau GDP negara-negara di Asia Tenggara sebesar 11% pada akhir abad ini.

Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam sambutannya pada acara “HSBC Summit 2022: Powering the transition to net zero, Indonesia’s pathway for green recovery” mengatakan, Indonesia bisa kehilangan potensi ekonomi Rp112,2 triliun atau 0,5% dari PDB pada 2023 akibat krisis perubahan iklim.

Menurut Menkeu, tanda-tanda terjadinya krisis perubahan iklim bisa dilihat dari kenaikan emisi gas sebesar 4,3% dari 2010-2018, suhu udara yang naik 0,03 derajat Celcius tiap tahun serta tinggi permukaam laut yang naik 0,8-1,2 cm.

“Pada 2030, Indonesia bisa kehilangan potensi ekonomi akibat krisis perubahan iklim sebesar 0,6 – 3,45% dari GDP. Salah satu institut di Swiss membuat laporan bahwa dunia akan kehilangan potensi ekonomi hingga 10% jika kesepakatan Paris Agreement untuk mencapai emisi nol pada 2050 tidak tercapai,” jelas Menkeu di Jakarta, Rabu (14/9/2022).



Mantan petinggi Bank Dunia itu menambahkan, ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari pandemi Covid-19 antara lain semua negara harus saling bekerja sama. Hal tersebut juga berlaku untuk perubahan iklim karena tidak ada satu negara pun yang tidak terkena dampaknya.

Pemerintah, ungkap Sri Mulyani, berkomitmen untuk mengurangi emisi lewat kesepakatan Paris Agreement yaitu menurunkan 29% emisi C02 dengan upaya sendiri serta 41% CO2 dengan bantuan internasional pada 2030.

“Pemerintah sudah mengalokasikan anggaran untuk tindakan mitigasi dari perubahan iklim. Tapi untuk mencapai target tersebut perlu sumber dana yang besar yaitu sekitar Rp3.461 triliun atau Rp266 triliun per tahun. Sedangkan APBN hanya mengalokasikan Rp89,6 triliun per tahun atau 3,6% dari total pengeluaran pemerintah,” bebernya.

“Karena itu untuk bisa mencapai target pembangunan rendah karbon dan nol emisi, perlu bantuan dari banyak pihak,” imbuhnya.

Ekonomi Global Didera Inflasi Tinggi, Transisi Energi Kian Menantang


Namun, proses transisi tidak mudah dan akan ada banyak implikasi. Menkeu bilang, di negara lain proses transisi ke ekonomi hijau menghadapi banyak tantangan khususnya di sektor energi.

“Transisi bisa menimbulkan biaya hidup yang meningkat di tahap awal. Ini semakin menantang ketika ekonomi global tengah menghadapi laju inflasi yang tinggi dan juga masih rentan setelah bangkit dari pandemi serta memunculkan sejumlah pilihan politik yang tidak mudah,” terang Menkeu.



Oleh karena itu, kata dia, pemerintah melalui kebijakan fiskal terus mendukung inisiatif transisi energi. Presiden Jokowi sudah mengumumkan di acara CO26 di Glasgow tentang bagaimana Indonesia terus melanjutkan upaya mencapai emisi nol dengan meluncurkan mekanisme transisi energi.

Selain itu, Indonesia juga sudah meluncurkan platform mekanisme transisi energi di pertemuan Menteri Keuangan G20 pada bulan Juli lalu.

Pada kesempatan yang sama, Presiden Direktur HSBC Indonesia Francois de Maricourt mengatakan, HSBC berkomitmen mendukung pemerintah Indonesia dalam melakukan transisi energi serta pembangunan berkelanjutan.

Ekonomi Global Didera Inflasi Tinggi, Transisi Energi Kian Menantang


“Kami sangat senang bahwa transisi energi menjadi salah satu prioritas pemerintah Indonesia pada Presidensi G20. Kami juga mendukung sejumlah inisiatif dan juga kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mempercepat transisi pembangunan yang rendah karbon,” tuturnya.



Untuk mempercepat transisi energi, ungkap dia, diperlukan modal yang besar. Tidak hanya meningkatkan investasi di sektor teknologi rendah karbon tetapi juga memberikan insentif ke sektor lain agar bisa menjadi lebih hijau dengan biaya yang tidak mahal.

Berdasarkan data dari Nationally Determined Contribution, Indonesia memerlukan pembiayaan sebesar Rp4.520 triliun untuk melakukan aksi mitigasi dalam peta jalan NDC. Dana sebesar tersebut tidak semuanya bisa dipenuhi oleh APBN.

Oleh karena itu, kata Francois, perlu ada kolaborasi antara institusi keuangan swasta dan juga negara serta juga aliansi keuangan global seperti Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ).

“Transisi pembiayaan harus dipimpin pemerintah, difasilitasi oleh bank dan diadopsi oleh perusahaan besar dan juga kecil,” tukasnya.

Sebagai bank yang mempunyai banyak cabang di Asia, lanjut dia, HSBC berkomitmen untuk mendukung semua nasabah untuk melakukan transisi ke energi yang lebih bersih, bekerja sama dengan regulator dan juga industri di banyak sektor untuk mempercepat transisi pembiayaan dan mendukung pembangunan berkelanjutan.
(ind)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1160 seconds (0.1#10.140)