Terbebani Cukai Rokok, Pengusaha Kecil Nyebut Digencet Atas Bawah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Gabungan pengusaha rokok kecil yang tergabung dalam Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi) mendesak pemerintah untuk menghapus Peraturan Dirjen Bea Cukai No 37/2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau. Pasalnya penerapan cukai rokok tersebut membebani pengusaha kecil.
Sekjen Formasi Suhardjo mengatakan pihaknya menentang klausul dalam peraturan tersebut yang membolehkan produsen menjual rokok ke konsumen dengan harga di bawah 85% dari harga banderol yang berlaku di 50% wilayah pengawasan Kantor Bea Cukai. Hal ini tertuang pada Perdirjen Nomor 37 Tahun 2017 ini merupakan turunan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 Tahun 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
"Kami protes atau menentang karena aturan seperti itu dimanfaatkan oleh pabrik besar untuk menjual rokok lebih murah, sehingga persaingan menjadi lebih berat bagi kami," kata Suhardjo dalam siaran pers yang diterima di Jakarta," Kamis (9/7/2020).
Dia melanjutkan perusahaan besar menjual harga produknya di bawah 85% dari harga jual eceran (HJE), persaingan harga di pasar menjadi tidak seimbang dan menekan perusahaan kecil. "Katakanlah produk rokok 12 batang dari Sampoerna atau Gudang garam, umpamanya harga banderolnya seharusnya Rp20 ribuan, kemudian dijual Rp17 ribu, otomatis orang tertarik kalau melihat harganya," ujarnya.
Perdirjen tersebut, ujar Suhardjo, pasti membuat banyak perusahaan besar berlomba untuk menjual produknya dengan harga serendah mungkin. "Intinya harga transaksi pasar (HTP) harus sama dengan HJE, jadi enggak ada akal-akalan lagi dari perusahaan besar," katanya.
Dia menuturkan selama ini perusahaan kecil sangat dipersulit dengan ketentuan ini karena persaingan pasar terus terhimpit harga. Sebenarnya, katanya, Formasi bisa memaklumi hal-hal seperti ini apabila pemotongan harga dilakukan ketika peluncuran produk baru dan bertujuan untuk menggaet pasar. Akan tetapi yang jadi masalah, perusahaan besar tampaknya menjadikan kebijakan tersebut sebagai strategi pasar.
"Memang harga rokoknya tidak semua murah. Misalnya satu perusahaan memiliki enam brand, satu brand dijual murah. Walaupun itu hanya satu brand, itu sangat mempengaruhi. Perusahaan kecil jadi enggak berkutik karena kita sendiri enggak mungkin bisa menjual produk semurah itu," katanya.
Dia mengatakan perusahaan kecil pasti babak belur jika harus mensubsidi produknya agar dapat dijual dengan harga yang bersaing dengan produk pabrikan besar. "Secara pemodalan di lapangan saja kita pasti kalah dengan pemain besar ini. Dari dulu kita sudah protes kepada Bea Cukai dan meminta agar kebijakan tersebut direvisi," katanya.
Menurut dia kebijakan yang memperbolehkan produsen menjual produk di bawah 85% hanya menguntungkan pabrik besar agar omset bisnisnya tidak turun. Belum lagi tantangan para pelaku industri rokok di sektor menengah dan kecil harus menghadapi gempuran rokol ilegal yang dijual murah. "Kita digencet dari atas, digencet dari bawah," katanya.
Sekjen Formasi Suhardjo mengatakan pihaknya menentang klausul dalam peraturan tersebut yang membolehkan produsen menjual rokok ke konsumen dengan harga di bawah 85% dari harga banderol yang berlaku di 50% wilayah pengawasan Kantor Bea Cukai. Hal ini tertuang pada Perdirjen Nomor 37 Tahun 2017 ini merupakan turunan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 Tahun 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
"Kami protes atau menentang karena aturan seperti itu dimanfaatkan oleh pabrik besar untuk menjual rokok lebih murah, sehingga persaingan menjadi lebih berat bagi kami," kata Suhardjo dalam siaran pers yang diterima di Jakarta," Kamis (9/7/2020).
Dia melanjutkan perusahaan besar menjual harga produknya di bawah 85% dari harga jual eceran (HJE), persaingan harga di pasar menjadi tidak seimbang dan menekan perusahaan kecil. "Katakanlah produk rokok 12 batang dari Sampoerna atau Gudang garam, umpamanya harga banderolnya seharusnya Rp20 ribuan, kemudian dijual Rp17 ribu, otomatis orang tertarik kalau melihat harganya," ujarnya.
Perdirjen tersebut, ujar Suhardjo, pasti membuat banyak perusahaan besar berlomba untuk menjual produknya dengan harga serendah mungkin. "Intinya harga transaksi pasar (HTP) harus sama dengan HJE, jadi enggak ada akal-akalan lagi dari perusahaan besar," katanya.
Dia menuturkan selama ini perusahaan kecil sangat dipersulit dengan ketentuan ini karena persaingan pasar terus terhimpit harga. Sebenarnya, katanya, Formasi bisa memaklumi hal-hal seperti ini apabila pemotongan harga dilakukan ketika peluncuran produk baru dan bertujuan untuk menggaet pasar. Akan tetapi yang jadi masalah, perusahaan besar tampaknya menjadikan kebijakan tersebut sebagai strategi pasar.
"Memang harga rokoknya tidak semua murah. Misalnya satu perusahaan memiliki enam brand, satu brand dijual murah. Walaupun itu hanya satu brand, itu sangat mempengaruhi. Perusahaan kecil jadi enggak berkutik karena kita sendiri enggak mungkin bisa menjual produk semurah itu," katanya.
Dia mengatakan perusahaan kecil pasti babak belur jika harus mensubsidi produknya agar dapat dijual dengan harga yang bersaing dengan produk pabrikan besar. "Secara pemodalan di lapangan saja kita pasti kalah dengan pemain besar ini. Dari dulu kita sudah protes kepada Bea Cukai dan meminta agar kebijakan tersebut direvisi," katanya.
Menurut dia kebijakan yang memperbolehkan produsen menjual produk di bawah 85% hanya menguntungkan pabrik besar agar omset bisnisnya tidak turun. Belum lagi tantangan para pelaku industri rokok di sektor menengah dan kecil harus menghadapi gempuran rokol ilegal yang dijual murah. "Kita digencet dari atas, digencet dari bawah," katanya.
(nng)