Eksportir Asal Indonesia Diminta Waspadai Aksi Penipuan
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengimbau para eksportir asal Indonesia untuk lebih meningkatkan kewaspadaannya dalam bertransaksi. Imbauan ini disampaikan dikarenakan meningkatnya kejahatan dan penipuan dalam bidang perdagangan internasional yang terjadi dengan berbagai modus dan motif.
"Untuk menghindari kerugian dan kehilangan dana atau pun barang ekspor, diperlukan kewaspadaan serta kehati-hatian para eksportir saat melakukan transaksi dengan mitra dagangnya,” ujar Kepala ITPC Dubai, Heny Rusmiyati di Jakarta, Jumat (8/2).
Menurut Heny, di awal tahun 2019 ini, ditemukan beberapa kasus penipuan ekspor dan impor di wilayah Timur Tengah, khususnya di Persatuan Emirat Arab (PEA). Korbannya adalah eksportir asal Indonesia.
"Untuk menghindari kejadian serupa, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan para pelaku usaha saat bertransaksi. Pertama, memperhatikan legalitas calon buyer dengan memastikan bahwa calon buyer memiliki legalitas yang resmi dan sah," katanya.
Sambung dia, jika ada keraguan, eksportir dapat meminta kepada ITPC atau perwakilan Pemerintah RI lainnya dalam melakukan verifikasi lapangan. Kedua, menggunakan kontrak penjualan untuk mengikat kedua belah pihak dalam memenuhi hak dan kewajibannya serta sebagai dasar dalam upaya penyelesaian masalah.
“Dengan melakukan hal-hal tersebut, diharapkan keamanan dalam bertransaksi dengan buyer akan lebih terjamin dan dapat terhindar dari tindak kejahatan yang modus dan motifnya terus berkembang,” pungkas Heny.
Adapun kronologis yang diduga modus penipuan yang terjadi akhir-akhir ini, yaitu, oknum pelaku (buyer) membuat inquiry kepada eksportir. Lalu pelaku menerima harga berapa pun yang diberikan korban tanpa melakukan penawaran.
Pelaku pun memberikan opsi pembayaran yang berisiko, yaitu pelaku berjanji akan melakukan pembayaran 100% saat barang dikeluarkan dari pelabuhan dan setelah barang dibuka bersama-sama antara kedua pihak.
Beberapa hari sebelum barang tiba di negara tujuan, pelaku akan mengundang korban agar datang ke negara tujuan ekspor untuk membuka barang secara bersama-sama. Dalam kontrak penjualan, pelaku juga berjanji memberikan fasilitasi berupa penginapan di hotel berbintang, makan, dan transportasi selama kunjungan.
Setelah korban tiba di negara tujuan, pelaku akan menyambut dan memfasilitasi korban untuk diantar menuju hotel. Kemudian pelaku mempengaruhi korban untuk segera memberikan dokumen asli pengiriman, di antaranya Bill of Lading (B/L), secepatnya dengan berbagai alasan untuk keperluan pengeluaran barang dari pelabuhan.
Usai, korban memberikan dokumen pengiriman asli, pelaku berusaha meyakinkan korban untuk tetap tenang dan tinggal di hotel selama beberapa hari sambil menunggu barang tiba. Pada keesokan harinya, pelaku mendadak sulit dihubungi melalui telepon dan kemudian menghilang.
Pada saat itulah, diduga kuat pelaku melakukan penukaran B/L dengan mengganti nama dan alamat pengiriman barang ke calon penadah mereka. Pada akhirnya, pembayaran yang dijanjikan akan diberikan setelah barang tiba dan dicek bersama, tidak pernah ditepati.
"Untuk menghindari kerugian dan kehilangan dana atau pun barang ekspor, diperlukan kewaspadaan serta kehati-hatian para eksportir saat melakukan transaksi dengan mitra dagangnya,” ujar Kepala ITPC Dubai, Heny Rusmiyati di Jakarta, Jumat (8/2).
Menurut Heny, di awal tahun 2019 ini, ditemukan beberapa kasus penipuan ekspor dan impor di wilayah Timur Tengah, khususnya di Persatuan Emirat Arab (PEA). Korbannya adalah eksportir asal Indonesia.
"Untuk menghindari kejadian serupa, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan para pelaku usaha saat bertransaksi. Pertama, memperhatikan legalitas calon buyer dengan memastikan bahwa calon buyer memiliki legalitas yang resmi dan sah," katanya.
Sambung dia, jika ada keraguan, eksportir dapat meminta kepada ITPC atau perwakilan Pemerintah RI lainnya dalam melakukan verifikasi lapangan. Kedua, menggunakan kontrak penjualan untuk mengikat kedua belah pihak dalam memenuhi hak dan kewajibannya serta sebagai dasar dalam upaya penyelesaian masalah.
“Dengan melakukan hal-hal tersebut, diharapkan keamanan dalam bertransaksi dengan buyer akan lebih terjamin dan dapat terhindar dari tindak kejahatan yang modus dan motifnya terus berkembang,” pungkas Heny.
Adapun kronologis yang diduga modus penipuan yang terjadi akhir-akhir ini, yaitu, oknum pelaku (buyer) membuat inquiry kepada eksportir. Lalu pelaku menerima harga berapa pun yang diberikan korban tanpa melakukan penawaran.
Pelaku pun memberikan opsi pembayaran yang berisiko, yaitu pelaku berjanji akan melakukan pembayaran 100% saat barang dikeluarkan dari pelabuhan dan setelah barang dibuka bersama-sama antara kedua pihak.
Beberapa hari sebelum barang tiba di negara tujuan, pelaku akan mengundang korban agar datang ke negara tujuan ekspor untuk membuka barang secara bersama-sama. Dalam kontrak penjualan, pelaku juga berjanji memberikan fasilitasi berupa penginapan di hotel berbintang, makan, dan transportasi selama kunjungan.
Setelah korban tiba di negara tujuan, pelaku akan menyambut dan memfasilitasi korban untuk diantar menuju hotel. Kemudian pelaku mempengaruhi korban untuk segera memberikan dokumen asli pengiriman, di antaranya Bill of Lading (B/L), secepatnya dengan berbagai alasan untuk keperluan pengeluaran barang dari pelabuhan.
Usai, korban memberikan dokumen pengiriman asli, pelaku berusaha meyakinkan korban untuk tetap tenang dan tinggal di hotel selama beberapa hari sambil menunggu barang tiba. Pada keesokan harinya, pelaku mendadak sulit dihubungi melalui telepon dan kemudian menghilang.
Pada saat itulah, diduga kuat pelaku melakukan penukaran B/L dengan mengganti nama dan alamat pengiriman barang ke calon penadah mereka. Pada akhirnya, pembayaran yang dijanjikan akan diberikan setelah barang tiba dan dicek bersama, tidak pernah ditepati.
(akr)