Ini tujuan BK ekspor mineral bagi industri tambang
A
A
A
Sindonews.com – Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan kebijakan bea keluar (BK) ekspor mineral sebagai bagian dari penerapan ekspor mineral bertujuan memaksa industri tambang agar benar-benar membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter).
Seiring implementasi Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang melarang ekspor mineral mentah mulai 12 Januari 2014, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.011/2014 yang mengatur bea keluar ekspor bahan mineral.
Menurut Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo, BK ekspor mineral bukan merupakan tambahan pajak yang dikenakan kepada industri tambang mineral, tapi lebih kepada konsistensi pemerintah dalam menjalankan amanat undang-undang.
“BK ekspor mineral bukan juga untuk menambah pendapatan bangun smelter, tapi untuk memaksa agar mereka mau membangun smelter,” kata Susilo di Jakarta, Jumat (24/1/2014).
Bahkan ketika menanggapi banyaknya industri tambang yang mengeluh keluarnya BK ekspor mineral ini, Susilo menjawabnya dengan santai karena kebijakan ini dibuat untuk kepentingan bangsa dan negara.
Pemerintah, kata dia, telah berkoordinasi dengan kementerian lainnya. Kemudian kewenangannya berada di Kementerian Keuangan. “Tidak masalalah kalau mereka tidak mau ekspor, toh barangnya juga masih tetap punya negara,” ujar dia.
Sebelumnya PT Freeport Mc Moran & Gold Inc menolak kebijakan BK ekspor mineral lantaran kebijakan tersebut bertentangan dengan hak kontrak karya (KK) yang telah disepakati bersama dengan pemerintah.
Dalam KK, Freeport telah diizinkan untuk mengekspor konsentrat dan menentukan kebijakan fiskal serta pajak sesuai operasional perusahaan. Chairman Of The Board Freeport McMoran James R Moffet menegaskan, regulasi ini bertentangan dengan hak KK Freeport.
“Freeport akan terus berjuang mempertahankan hak itu,” kata dia.
Seperti diketahui, Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2014 dan Permen ESDM No 1 Tahun 2014 masih mengizinkan ekspor mineral olahan atau konsentrat hingga 2017 meski UU No 4 Tahun 2009 sudah melarang ekspor konsentrat mulai 12 Januari 2014.
Sesuai Permen ESDM 1/2014, kadar minimum konsentrat yang bisa diekspor adalah tembaga 15 persen, bijih besi 62 persen, pasir besi 58 persen dan pelet 56 persen, mangan 49 persen, seng 52 persen dan timbal 57 persen.
Namun, pemerintah juga menerapkan disinsentif berupa pengenaan bea keluar bagi konsentrat tambang untuk mempercepat pembangunan smelter.
Kemudian sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK/011/2014 terkait penetapan persentase bea ekspor progresif. Pada tahun ini, pungutan bea ekspor konsentrat tembaga ditetapkan sebesar 25-60 persen dari HPE. Sedangkan bea keluar sebesar 60 persen merupakan tarif maksimal sesuai aturan yang ada.
Seiring implementasi Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang melarang ekspor mineral mentah mulai 12 Januari 2014, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.011/2014 yang mengatur bea keluar ekspor bahan mineral.
Menurut Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo, BK ekspor mineral bukan merupakan tambahan pajak yang dikenakan kepada industri tambang mineral, tapi lebih kepada konsistensi pemerintah dalam menjalankan amanat undang-undang.
“BK ekspor mineral bukan juga untuk menambah pendapatan bangun smelter, tapi untuk memaksa agar mereka mau membangun smelter,” kata Susilo di Jakarta, Jumat (24/1/2014).
Bahkan ketika menanggapi banyaknya industri tambang yang mengeluh keluarnya BK ekspor mineral ini, Susilo menjawabnya dengan santai karena kebijakan ini dibuat untuk kepentingan bangsa dan negara.
Pemerintah, kata dia, telah berkoordinasi dengan kementerian lainnya. Kemudian kewenangannya berada di Kementerian Keuangan. “Tidak masalalah kalau mereka tidak mau ekspor, toh barangnya juga masih tetap punya negara,” ujar dia.
Sebelumnya PT Freeport Mc Moran & Gold Inc menolak kebijakan BK ekspor mineral lantaran kebijakan tersebut bertentangan dengan hak kontrak karya (KK) yang telah disepakati bersama dengan pemerintah.
Dalam KK, Freeport telah diizinkan untuk mengekspor konsentrat dan menentukan kebijakan fiskal serta pajak sesuai operasional perusahaan. Chairman Of The Board Freeport McMoran James R Moffet menegaskan, regulasi ini bertentangan dengan hak KK Freeport.
“Freeport akan terus berjuang mempertahankan hak itu,” kata dia.
Seperti diketahui, Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2014 dan Permen ESDM No 1 Tahun 2014 masih mengizinkan ekspor mineral olahan atau konsentrat hingga 2017 meski UU No 4 Tahun 2009 sudah melarang ekspor konsentrat mulai 12 Januari 2014.
Sesuai Permen ESDM 1/2014, kadar minimum konsentrat yang bisa diekspor adalah tembaga 15 persen, bijih besi 62 persen, pasir besi 58 persen dan pelet 56 persen, mangan 49 persen, seng 52 persen dan timbal 57 persen.
Namun, pemerintah juga menerapkan disinsentif berupa pengenaan bea keluar bagi konsentrat tambang untuk mempercepat pembangunan smelter.
Kemudian sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK/011/2014 terkait penetapan persentase bea ekspor progresif. Pada tahun ini, pungutan bea ekspor konsentrat tembaga ditetapkan sebesar 25-60 persen dari HPE. Sedangkan bea keluar sebesar 60 persen merupakan tarif maksimal sesuai aturan yang ada.
(rna)