Indonesia Berhasil Turunkan Tingkat Deforestasi hingga 65%
Kamis, 18 Januari 2024 - 08:28 WIB
Jika dilihat tren deforestasi berdasarkan data sebelumnya, penurunan hutan Indonesia relatif rendah dan cenderung stabil. Hal ini menunjukkan berbagai upaya yang dilakukan KLHK memberikan hasil yang signifikan, antara lain penerapan Inpres Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Pengendalian Kerusakan Gambut, Pengendalian Perubahan Iklim, Pembatasan perubahan Alokasi Kawasan Hutan untuk sektor non kehutanan (HPK), Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH/TORA), Pengelolaan Hutan lestari, Perhutanan Sosial, serta Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Hal ini seiring dengan program Indonesia FOLU netsink 2030.
Data hotspot dan luas karhutla menjadi indikasi keberhasilan upaya pengendalian karhutla di Indonesia. Pada tahun 2015, data hotspot dari satelit Terra/Aqua (MODIS NASA) 70.971 titik, 2016: 3.844 titik, 2017: 2.440 titik, 2018: 9.245 titik, 2019: 29.341 titik, 2020: 2.568 titik, 2021: 1.451 titik, 2022: 1.297 titik, dan 2023: 10.673 titik.
Tren penurunan titik panas ini juga ekuivalen dengan luas area yang terbakar. Luas Kebakaran Hutan dan Lahan tahun 2015 s/d 2023 berdasarkan citra satelit landsat 8 OLI/TIRS yang di-overlay dengan data sebaran hotspot, serta laporan hasil groundchek hotspot dan laporan pemadaman yang dilaksanakan Manggala Agni sebagai berikut: 2015: 2.611.411 ha, 2016: 438.368 ha, 2017: 165.484 ha, 2018: 529.267 ha, 2019: 1.649.258 ha, 2020: 296.942 ha, 2021: 358.864 ha,2022: 204.896 ha, 2023: 994.313 ha.
Kebakaran hutan dan lahan tahun 2023 pun berhasil ditekan lebih kecil, sebesar 30,80% dibandingkan tahun 2019 dengan pengaruh El-Nino yang hampir sama, bahkan saat kondisi 2023 lebih kering. Kondisi ini telah diantisipasi melalui berbagai upaya pencegahan karhutla sejak awal tahun.
Kondisi ini dapat menjadi indikasi keberhasilan upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang efektif. Kenaikan hotspot yang terjadi pada tahun 2019 dan tahun 2023 disebabkan oleh adanya El Nino. Namun, Indonesia berhasil memitigasi fenomena El Nino, sehingga jumlah hotspot dan luas tidak setinggi tahun-tahun sebelumnya.
Jika dibandingkan karhutla tahun 2019 dengan kondisi akibat dampak El-Nino yang serupa dengan tahun 2023, luas karhutla tahun 2023 masih jauh menurun.
Indonesia juga berhasil menekan kejadian karhutla khususnya di lahan gambut. Pada tahun 2015, terdapat luas karhutla di lahan gambut seluas 891.275 hektare atau 34% dari total luas karhutla. Jumlahnya turun pada tahun 2019 menjadi 483.111 hektare atau 30% dari total luas karhutla, kemudian pada tahun 2023 semakin turun menjadi 182.789 hektare atau 16,38% dari total luas karhutla.
Selain itu, pengaturan tinggi muka air tanah 0,4 m ternyata tidak menyebabkan penurunan produktivitas perkebunan sawit. Penelitian menunjukkan terjadi peningkatan produktivitas antara 13-30%. Data pemerintah mencatat luas kebakaran hutan dan lahan dari tahun 2015 menunjukkan tren penurunan sampai Oktober 2023. Sejak kejadian karhutla tahun 2015 (baseline) dengan adanya perubahan paradigma pengendalian karhutla sampai dengan sekarang luas karhutla di Indonesia menurun signifikan 94% -37%.
Sebagai konsekuensi, emisi Gas Rumah Kaca yang dihasilkan oleh Indonesia tidak lagi sebesar tahun-tahun sebelumnya seperti kondisi 2015 dan 2019. Indonesia tidak lagi menjadi negara penghasil emisi 5 terbesar secara global, bahkan pada tahun 2021 tercatat peng-emisi pada ranking ke-9; dengan angka penurunan emisi 890 juta Ton CO2eq.
Data hotspot dan luas karhutla menjadi indikasi keberhasilan upaya pengendalian karhutla di Indonesia. Pada tahun 2015, data hotspot dari satelit Terra/Aqua (MODIS NASA) 70.971 titik, 2016: 3.844 titik, 2017: 2.440 titik, 2018: 9.245 titik, 2019: 29.341 titik, 2020: 2.568 titik, 2021: 1.451 titik, 2022: 1.297 titik, dan 2023: 10.673 titik.
Tren penurunan titik panas ini juga ekuivalen dengan luas area yang terbakar. Luas Kebakaran Hutan dan Lahan tahun 2015 s/d 2023 berdasarkan citra satelit landsat 8 OLI/TIRS yang di-overlay dengan data sebaran hotspot, serta laporan hasil groundchek hotspot dan laporan pemadaman yang dilaksanakan Manggala Agni sebagai berikut: 2015: 2.611.411 ha, 2016: 438.368 ha, 2017: 165.484 ha, 2018: 529.267 ha, 2019: 1.649.258 ha, 2020: 296.942 ha, 2021: 358.864 ha,2022: 204.896 ha, 2023: 994.313 ha.
Kebakaran hutan dan lahan tahun 2023 pun berhasil ditekan lebih kecil, sebesar 30,80% dibandingkan tahun 2019 dengan pengaruh El-Nino yang hampir sama, bahkan saat kondisi 2023 lebih kering. Kondisi ini telah diantisipasi melalui berbagai upaya pencegahan karhutla sejak awal tahun.
Kondisi ini dapat menjadi indikasi keberhasilan upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang efektif. Kenaikan hotspot yang terjadi pada tahun 2019 dan tahun 2023 disebabkan oleh adanya El Nino. Namun, Indonesia berhasil memitigasi fenomena El Nino, sehingga jumlah hotspot dan luas tidak setinggi tahun-tahun sebelumnya.
Jika dibandingkan karhutla tahun 2019 dengan kondisi akibat dampak El-Nino yang serupa dengan tahun 2023, luas karhutla tahun 2023 masih jauh menurun.
Indonesia juga berhasil menekan kejadian karhutla khususnya di lahan gambut. Pada tahun 2015, terdapat luas karhutla di lahan gambut seluas 891.275 hektare atau 34% dari total luas karhutla. Jumlahnya turun pada tahun 2019 menjadi 483.111 hektare atau 30% dari total luas karhutla, kemudian pada tahun 2023 semakin turun menjadi 182.789 hektare atau 16,38% dari total luas karhutla.
Selain itu, pengaturan tinggi muka air tanah 0,4 m ternyata tidak menyebabkan penurunan produktivitas perkebunan sawit. Penelitian menunjukkan terjadi peningkatan produktivitas antara 13-30%. Data pemerintah mencatat luas kebakaran hutan dan lahan dari tahun 2015 menunjukkan tren penurunan sampai Oktober 2023. Sejak kejadian karhutla tahun 2015 (baseline) dengan adanya perubahan paradigma pengendalian karhutla sampai dengan sekarang luas karhutla di Indonesia menurun signifikan 94% -37%.
Sebagai konsekuensi, emisi Gas Rumah Kaca yang dihasilkan oleh Indonesia tidak lagi sebesar tahun-tahun sebelumnya seperti kondisi 2015 dan 2019. Indonesia tidak lagi menjadi negara penghasil emisi 5 terbesar secara global, bahkan pada tahun 2021 tercatat peng-emisi pada ranking ke-9; dengan angka penurunan emisi 890 juta Ton CO2eq.
Lihat Juga :
tulis komentar anda