Bisa Akibatkan Stagnasi Ekonomi, Kenaikan PPN 12% Dinilai Belum Waktunya
Sabtu, 16 November 2024 - 15:10 WIB
JAKARTA - Ekonom menganjurkan agar pemerintah menunda kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ) yang sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada 1 Januari 2025 menjadi 12% dari saat ini 11%. Kenaikan PPN ini dinilai belum tepat waktunya.
Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan, wacana pemerintah untuk menaikkan PPN akan menurunkan potensi pertumbuhan ekonomi. "Sepertinya memang belum tepat waktunya," ujar Tauhid saat dihubungi, Jumat (15/11/2024).
Tauhid mengatakan, jika dipelajari dari kenaikan PPN tahun 2022-2023 dari 10% ke 11%, memang ada tambahan penerimaan negara di atas Rp100 triliun. Namun, kenaikan itu juga mengakibatkan stagnasi pertumbuhan ekonomi, terutama konsumsi masyarakat di tahun 2024. "Ini merupakan efek kenaikan PPN tahun sebelumnya," kata dia.
Oleh karena itu, Indef merekomendasikan agar pemerintah menunda terlebih dahulu kenaikan PPN sampai ekonomi dalam negeri cukup pulih dan hambatan dari ekonomi global masih bisa diantisipasi. Tauhid mengatakan, di banyak negara juga PPN tidak harus sebesar 12%.
Dia mengatakan, upaya lain untuk menaikkan penerimaan pajak tak harus dengan mengerek PPN. Di antaranya, kata dia, bisa dengan melakukan ekstensifikasi maupun intensifikasi. "Jadi diperluas, bukan pada kenaikan tarif PPN itu sendiri, tetapi ada upaya Kementerian Keuangan melakukan intensifikasi," tuturnya.
Tauhid menambahkan, Kemenkeu juga bisa memperluas basis wajib pajak atau penggunaan teknologi, sehingga PPN itu lebih besar tanpa harus menaikkan tarif dari 11% menjadi 12%.
Di sisi lain, lanjut Tauhid, jika pelaku usaha dibebankan kenaikan PPN dari 11% ke 12%, hal itu tentunya akan menambah biaya produksi. Ketika biaya produksi dibebankan pada produk akhir dan terjadi kenaikan harga yang kemudian dibebankan kepada konsumen, otomatis akan terjadi pengeluaran belanja secara masif oleh pembeli.
Tauhid menegaskan, kenaikan PPN tentunya akan memiliki konsekuensinya terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi, seperti tingginya inflasi, menurunnya daya beli masyarakat, kemudian memberi efek negatif bagi perusahaan atau industri yang sangat sensitif terhadap kenaikan PPN.
Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan, wacana pemerintah untuk menaikkan PPN akan menurunkan potensi pertumbuhan ekonomi. "Sepertinya memang belum tepat waktunya," ujar Tauhid saat dihubungi, Jumat (15/11/2024).
Tauhid mengatakan, jika dipelajari dari kenaikan PPN tahun 2022-2023 dari 10% ke 11%, memang ada tambahan penerimaan negara di atas Rp100 triliun. Namun, kenaikan itu juga mengakibatkan stagnasi pertumbuhan ekonomi, terutama konsumsi masyarakat di tahun 2024. "Ini merupakan efek kenaikan PPN tahun sebelumnya," kata dia.
Oleh karena itu, Indef merekomendasikan agar pemerintah menunda terlebih dahulu kenaikan PPN sampai ekonomi dalam negeri cukup pulih dan hambatan dari ekonomi global masih bisa diantisipasi. Tauhid mengatakan, di banyak negara juga PPN tidak harus sebesar 12%.
Dia mengatakan, upaya lain untuk menaikkan penerimaan pajak tak harus dengan mengerek PPN. Di antaranya, kata dia, bisa dengan melakukan ekstensifikasi maupun intensifikasi. "Jadi diperluas, bukan pada kenaikan tarif PPN itu sendiri, tetapi ada upaya Kementerian Keuangan melakukan intensifikasi," tuturnya.
Tauhid menambahkan, Kemenkeu juga bisa memperluas basis wajib pajak atau penggunaan teknologi, sehingga PPN itu lebih besar tanpa harus menaikkan tarif dari 11% menjadi 12%.
Di sisi lain, lanjut Tauhid, jika pelaku usaha dibebankan kenaikan PPN dari 11% ke 12%, hal itu tentunya akan menambah biaya produksi. Ketika biaya produksi dibebankan pada produk akhir dan terjadi kenaikan harga yang kemudian dibebankan kepada konsumen, otomatis akan terjadi pengeluaran belanja secara masif oleh pembeli.
Tauhid menegaskan, kenaikan PPN tentunya akan memiliki konsekuensinya terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi, seperti tingginya inflasi, menurunnya daya beli masyarakat, kemudian memberi efek negatif bagi perusahaan atau industri yang sangat sensitif terhadap kenaikan PPN.
(fjo)
Lihat Juga :
tulis komentar anda