PLN Oversupply Pembangkit Listrik? Pengamat Beberkan Penyebabnya
Jum'at, 02 Oktober 2020 - 22:08 WIB
JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mencatat kelebihan pasokan atau oversupply pembangkit listrik PT PLN (Persero) saat ini mencapai 30-40 persen. Kelebihan itu khususnya terjadi di pulau Jawa dan Sumatera.
Bahkan, dia menyebut angka oversupply akan semakin bertambah hingga 2-3 tahun mendatang. Kapasitas listrik yang tidak terpakai itu disebabkan oleh permintaan (demand) listrik yang menurun akibat dampak dari pandemi Covid-19. Sementara di sisi lainnya proyek pembangkit listrik kian digenjot PLN.
"Saya pikir dengan angka penurunan itu dirata-rata over kapasitas 35-40 persen. Artinya dari total kapasitas yang terbangun itu, mungkin 35-40 persennya yang tidak terpakai, ini secara keseluruhan di Jawa dan Sumatera. Bahkan, ini bisa bertambah lama 2 atau 3 tahun mendatang kalau pertumbuhan listriknya tidak cepat naik, sementara kita belum tahu kapan Corona akan berakhir," ujar Fabby saat dihubungi, Jakarta, Jumat (2/10/2020). (Baca juga: Terkait Surat Erick, Pengamat: Industri Harus Pakai Listrik PLN )
Dari penjelasannya, oversupply pembangkit listrik PLN didorong oleh beberapa faktor. Pertama, tingkat konsumsi masyarakat yang tergerus akibat pandemi Covid-19, ini menyebabkan angka permintaan terhadap konsumsi listrik menurun signifikan pada kuartal I dan kuartal II tahun ini. Perkara ini yang mendorong terjadinya oversupply.
Kedua, adanya beban usaha. Dari penjelasannya, beban usaha yang dipikul oleh PLN disebabkan mulainya penggunaan Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sejumlah sektor industri swasta.
Dia menyontohkan, seperti panel surya yang kini dimiliki oleh perusahaan asal Amerika Serikat (AS) yakini Coca-Cola yang baru saja diresmikan di kawasan Cikarang Barat.
"Peningkatan beban usaha karena pembangkit listrik dari swasta yang masuk mulai tahun ini hingga 2024, itu PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) dan kalau dengan APP (Alat pengukur dan pembatas) listrik swasta, kontrak PLN itu kan istilahnya pakai ataupun nggak pakai (tetap) harus bayar, jadi kalau misalnya take orbe-nya itu kapasitas 85 persen dan ini rata-rata di atas 80 persen take orbe untuk thermal PLN," kata dia.
Ketiga adalah, proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW) yang dilaksanakan sejak 2015 lalu. Fabby menilai, jika seluruh proyek pembangkit listrik benar-benar terealisasi pada tahun ini, maka dipastikan PLN mengalami kelebihan pasokan.
Dia mengutarakan, sejak 2014-2015 lalu ketika program 35.000 MW diluncurkan, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 7 persen. Proyeksi itu diiringi oleh angka pertumbuhan permintaan listriknya yang ditargetkan 8 persen. Meski begitu, realisasi tersebut tidak terealisasi.
Bahkan, dia menyebut angka oversupply akan semakin bertambah hingga 2-3 tahun mendatang. Kapasitas listrik yang tidak terpakai itu disebabkan oleh permintaan (demand) listrik yang menurun akibat dampak dari pandemi Covid-19. Sementara di sisi lainnya proyek pembangkit listrik kian digenjot PLN.
"Saya pikir dengan angka penurunan itu dirata-rata over kapasitas 35-40 persen. Artinya dari total kapasitas yang terbangun itu, mungkin 35-40 persennya yang tidak terpakai, ini secara keseluruhan di Jawa dan Sumatera. Bahkan, ini bisa bertambah lama 2 atau 3 tahun mendatang kalau pertumbuhan listriknya tidak cepat naik, sementara kita belum tahu kapan Corona akan berakhir," ujar Fabby saat dihubungi, Jakarta, Jumat (2/10/2020). (Baca juga: Terkait Surat Erick, Pengamat: Industri Harus Pakai Listrik PLN )
Dari penjelasannya, oversupply pembangkit listrik PLN didorong oleh beberapa faktor. Pertama, tingkat konsumsi masyarakat yang tergerus akibat pandemi Covid-19, ini menyebabkan angka permintaan terhadap konsumsi listrik menurun signifikan pada kuartal I dan kuartal II tahun ini. Perkara ini yang mendorong terjadinya oversupply.
Kedua, adanya beban usaha. Dari penjelasannya, beban usaha yang dipikul oleh PLN disebabkan mulainya penggunaan Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sejumlah sektor industri swasta.
Dia menyontohkan, seperti panel surya yang kini dimiliki oleh perusahaan asal Amerika Serikat (AS) yakini Coca-Cola yang baru saja diresmikan di kawasan Cikarang Barat.
"Peningkatan beban usaha karena pembangkit listrik dari swasta yang masuk mulai tahun ini hingga 2024, itu PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) dan kalau dengan APP (Alat pengukur dan pembatas) listrik swasta, kontrak PLN itu kan istilahnya pakai ataupun nggak pakai (tetap) harus bayar, jadi kalau misalnya take orbe-nya itu kapasitas 85 persen dan ini rata-rata di atas 80 persen take orbe untuk thermal PLN," kata dia.
Ketiga adalah, proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW) yang dilaksanakan sejak 2015 lalu. Fabby menilai, jika seluruh proyek pembangkit listrik benar-benar terealisasi pada tahun ini, maka dipastikan PLN mengalami kelebihan pasokan.
Dia mengutarakan, sejak 2014-2015 lalu ketika program 35.000 MW diluncurkan, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 7 persen. Proyeksi itu diiringi oleh angka pertumbuhan permintaan listriknya yang ditargetkan 8 persen. Meski begitu, realisasi tersebut tidak terealisasi.
Lihat Juga :
tulis komentar anda