Restriksi Lalu Lintas Data Bisa Hambat Ekonomi Digital
Selasa, 20 Oktober 2020 - 04:00 WIB
JAKARTA - Walaupun pergerakan data lintas negara menjadi basis bagi perkembangan ekonomi digital modern, tetapi sejumlah negara masih menerapkan restriksi, termasuk Indonesia.
Pada awalnya Indonesia mengacu pada rezim PP 82/2012 yang mewajibkan seluruh data disimpan di dalam negeri. Namun hal ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan menghambat akses UMKM untuk menerima layanan digital yang kompetitif.
(Baca Juga: Staf Ahli Airlangga: Kesiapan Migrasi ke Digital Beragam, Ini 5 Arahan Jokowi)
Menurut Executive Director Indonesia Services Dialogue (ISD) Devi Ariyani revisi PP 82/2012 dalam bentuk PP 71/2019 menjadi jalan keluar yang cukup baik, tidak hanya menghilangkan restriksi tetapi juga meningkatkan kepastian hukum bagi pelaku usaha.
Hanya saja, sejak terbitnya PP tersebut setahun yang lalu, aturan turunan terutama terkait penyelenggaran sistem elektronik untuk sektor privat masih belum ada.
“Dunia usaha masih wait and see dengan aturan turunan yang ada. Terlebih berdasarkan draf Rancangan Peraturan Menteri yang diuji-publikkan bulan Maret kemarin terdapat sinyalemen bahwa Indonesia akan kembali ke rezim proteksi. Hal ini perlu dihindari," ujar Devi dalam diskusi virtual di Jakarta, Senin (19/10/2020).
Dia menambahkan bahwa restriksi lalu lintas data merupakan langkah mundur yang justru berakibat buruk bagi ekosistem ekonomi digital Indonesia. “Oleh sebab itu kebijakan data yang tepat diperlukan,” tegasnya.
Dia juga membahas terkait aturan e-commerce, dalam hal ini Peraturan Menteri Perdagangan No.50/2020. Tidak hanya regulasi tentang data, tetapi juga aturan terkait perdagangan melalui sistem elektronik secara keseluruhan perlu disusun secara tepat.
“Pemerintah perlu memperhatikan kesiapan dari OSS, karena adanya Permendag 50/2020 mewajibkan UMKM yang memakai e-commerce untuk mendaftarkan diri, dan jumlahnya ini ada puluhan juta UMKM,” tambahnya.
(Baca Juga: Potensi Ekonomi Digital Indonesia Capai USD 133 Miliar)
Devi juga membahas terkait kewajiban pemain E-Commerce asing untuk mendirikan kantor perwakilan (KP3A) apabila memiliki hanya 1.000 konsumen dalam setahun.
"Threshold yang terlalu rendah tersebut dikhawatirkan akan menghambat integrasi digital antara pemain Indonesia dan internasional, sehingga dikhawatirkan Indonesia akan kehilangan potensi bergabung pada value chain global," ungkap dia.
Pada awalnya Indonesia mengacu pada rezim PP 82/2012 yang mewajibkan seluruh data disimpan di dalam negeri. Namun hal ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan menghambat akses UMKM untuk menerima layanan digital yang kompetitif.
(Baca Juga: Staf Ahli Airlangga: Kesiapan Migrasi ke Digital Beragam, Ini 5 Arahan Jokowi)
Menurut Executive Director Indonesia Services Dialogue (ISD) Devi Ariyani revisi PP 82/2012 dalam bentuk PP 71/2019 menjadi jalan keluar yang cukup baik, tidak hanya menghilangkan restriksi tetapi juga meningkatkan kepastian hukum bagi pelaku usaha.
Hanya saja, sejak terbitnya PP tersebut setahun yang lalu, aturan turunan terutama terkait penyelenggaran sistem elektronik untuk sektor privat masih belum ada.
“Dunia usaha masih wait and see dengan aturan turunan yang ada. Terlebih berdasarkan draf Rancangan Peraturan Menteri yang diuji-publikkan bulan Maret kemarin terdapat sinyalemen bahwa Indonesia akan kembali ke rezim proteksi. Hal ini perlu dihindari," ujar Devi dalam diskusi virtual di Jakarta, Senin (19/10/2020).
Dia menambahkan bahwa restriksi lalu lintas data merupakan langkah mundur yang justru berakibat buruk bagi ekosistem ekonomi digital Indonesia. “Oleh sebab itu kebijakan data yang tepat diperlukan,” tegasnya.
Dia juga membahas terkait aturan e-commerce, dalam hal ini Peraturan Menteri Perdagangan No.50/2020. Tidak hanya regulasi tentang data, tetapi juga aturan terkait perdagangan melalui sistem elektronik secara keseluruhan perlu disusun secara tepat.
“Pemerintah perlu memperhatikan kesiapan dari OSS, karena adanya Permendag 50/2020 mewajibkan UMKM yang memakai e-commerce untuk mendaftarkan diri, dan jumlahnya ini ada puluhan juta UMKM,” tambahnya.
(Baca Juga: Potensi Ekonomi Digital Indonesia Capai USD 133 Miliar)
Devi juga membahas terkait kewajiban pemain E-Commerce asing untuk mendirikan kantor perwakilan (KP3A) apabila memiliki hanya 1.000 konsumen dalam setahun.
"Threshold yang terlalu rendah tersebut dikhawatirkan akan menghambat integrasi digital antara pemain Indonesia dan internasional, sehingga dikhawatirkan Indonesia akan kehilangan potensi bergabung pada value chain global," ungkap dia.
(fai)
tulis komentar anda