Gara-gara Pola Makan, Bank Dunia Sebut Indonesia Bisa Rugi Besar
Kamis, 17 Desember 2020 - 17:46 WIB
JAKARTA - Pandemi Covid-19 telah menempatkan ketahanan pangan sebagai agenda publik. Pasar dan pasokan pangan global dan nasional tetap tangguh selama pandemi, dan harga pangan sebagian besar stabil.
"Tetapi banyak rumah tangga mengalami kekurangan pangan karena hilangnya pendapatan tenaga kerja. Pemerintah secara signifikan memperluas berbagai program perlindungan sosial untuk membantu rumah tangga mengatasi dan memulai agenda pembangunan perkebunan pangan yang ambisius," ujar Ekonom Senior Bank Dunia untuk Indonesia, Ralph Van Doom dalam video virtual pada Kamis (17/12/2020).
( )
Menurut dia, kebijakan yang lalu telah memperluas pasokan makanan dalam negeri, tetapi dengan biaya tinggi. Sebagian besar pengeluaran publik di bidang pertanian telah digunakan untuk memberikan subsidi, dengan subsidi irigasi dan pupuk mencapai antara setengah dan tiga perempat dari keseluruhan belanja pemerintah pusat.
Fokus yang begitu besar pada subsidi mendesak pengeluaran publik yang sangat dibutuhkan untuk pendorong pertumbuhan kritis seperti generasi dan adopsi teknologi baru, penyuluhan, pemrosesan dan pemasaran.
"Akibatnya, kebijakan sisi penawaran yang ditempuh selama ini belum mengarah pada peningkatan produktivitas, diversifikasi, dan daya saing pertanian yang menjadi pendorong utama ketahanan pangan jangka panjang," tambah Ralph.
( )
Ke depannya, tantangan ketahanan pangan struktural utama bagi Indonesia terkait dengan peningkatan keterjangkauan dan ketahanan gizi, terutama bagi segmen masyarakat yang lebih miskin.
"Harga pangan di Indonesia termasuk yang tertinggi di kawasan ini. Selain biaya produksi, harga tinggi karena berbagai faktor pertanian seperti pembatasan perdagangan domestik dan internasional serta biaya pemrosesan, distribusi dan pemasaran yang tinggi," terangnya.
"Tetapi banyak rumah tangga mengalami kekurangan pangan karena hilangnya pendapatan tenaga kerja. Pemerintah secara signifikan memperluas berbagai program perlindungan sosial untuk membantu rumah tangga mengatasi dan memulai agenda pembangunan perkebunan pangan yang ambisius," ujar Ekonom Senior Bank Dunia untuk Indonesia, Ralph Van Doom dalam video virtual pada Kamis (17/12/2020).
( )
Menurut dia, kebijakan yang lalu telah memperluas pasokan makanan dalam negeri, tetapi dengan biaya tinggi. Sebagian besar pengeluaran publik di bidang pertanian telah digunakan untuk memberikan subsidi, dengan subsidi irigasi dan pupuk mencapai antara setengah dan tiga perempat dari keseluruhan belanja pemerintah pusat.
Fokus yang begitu besar pada subsidi mendesak pengeluaran publik yang sangat dibutuhkan untuk pendorong pertumbuhan kritis seperti generasi dan adopsi teknologi baru, penyuluhan, pemrosesan dan pemasaran.
"Akibatnya, kebijakan sisi penawaran yang ditempuh selama ini belum mengarah pada peningkatan produktivitas, diversifikasi, dan daya saing pertanian yang menjadi pendorong utama ketahanan pangan jangka panjang," tambah Ralph.
( )
Ke depannya, tantangan ketahanan pangan struktural utama bagi Indonesia terkait dengan peningkatan keterjangkauan dan ketahanan gizi, terutama bagi segmen masyarakat yang lebih miskin.
"Harga pangan di Indonesia termasuk yang tertinggi di kawasan ini. Selain biaya produksi, harga tinggi karena berbagai faktor pertanian seperti pembatasan perdagangan domestik dan internasional serta biaya pemrosesan, distribusi dan pemasaran yang tinggi," terangnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda