Gawattt….. RPP Cipta Kerja Sektor Kehutanan Bebani Petani Sawit
Rabu, 23 Desember 2020 - 17:58 WIB
Di rancangan aturan ini, kata Gulat, hanya untuk menyelesaikan persoalan klaim perkebunan sawit rakyat dalam kawasan hutan yang sudah melalui proses penetapan. Sebab defenisi kawasan hutan yang diatur dalam RPP adalah “kawasan hutan yang telah ditetapkan”.
Sebelum ke tahap penetapan (pengukuhan), harus melalui penunjukan, penataan batas (BATB), pemetaan, dan terakahir penetapan (pengukuhan) kawasan hutan. Ini semua diatur dalam UU Nomor 19/2004.
(Baca juga:10 Cara Ini Bisa Dipakai RI Merespons Diskriminasi Sawit Uni Eropa)
“Jadi jika proses tahapan ini belum tuntas, maka kawasan hutan belum sah secara hukum. Padahal banyak lahan petani sawit yang diklaim berada dalam kawasan hutan belum mencapai tahap penetapan kawasan hutan,” ujar Gulat.
Persoalan lain dalam RPP, dikatakan Gulat, telah mengunci definisi Perizinan Berusaha terbatas pada Izin Lokasi dan Izin Usaha di bidang Perkebunan. Padahal, petani sawit tentu saja tidak memiliki izin-izin tersebut karena memang tidak diwajibkan oleh undang-undang sebelumnya demikian juga dengan Permentan.
(Baca juga:Riau Miliki Kebun Sawit Terluas, Peremajaan Jadi Prioritas)
Ketiga, RPP Sanksi Administrasi tersebut menutup peluang bagi para pekebun yang lahannya 6-25 ha untuk memperoleh pelepasan kawasan hutan. Padahal ketentuan hukum di bidang perkebunan telah memberikan hak bagi petani sawit untuk mengelola lahannya maksimal 25 ha.
Keempat, dalam draf RPP bagi petani yang luas lahannya 5 ha ke bawah akan diakomodir RPP, tapi dengan syarat wajib tinggal di kebun atau berdomisili sekitarnya.
Kelima, dikatakan solusi yang ditawarkan dalam RPP Sanksi Administrasi berupa “Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan” bagi petani sawit tidak akan dapat dicapai jika petani sawit tidak mampu membayar denda administrasi yang telah ditetapkan.
“Ini tidak masuk akal, masa petani harus membayar denda. Karena mustahil petani dapat bayar denda yang nilainya ratusan juta rupiah,” jelas Gulat.
Sebelum ke tahap penetapan (pengukuhan), harus melalui penunjukan, penataan batas (BATB), pemetaan, dan terakahir penetapan (pengukuhan) kawasan hutan. Ini semua diatur dalam UU Nomor 19/2004.
(Baca juga:10 Cara Ini Bisa Dipakai RI Merespons Diskriminasi Sawit Uni Eropa)
“Jadi jika proses tahapan ini belum tuntas, maka kawasan hutan belum sah secara hukum. Padahal banyak lahan petani sawit yang diklaim berada dalam kawasan hutan belum mencapai tahap penetapan kawasan hutan,” ujar Gulat.
Persoalan lain dalam RPP, dikatakan Gulat, telah mengunci definisi Perizinan Berusaha terbatas pada Izin Lokasi dan Izin Usaha di bidang Perkebunan. Padahal, petani sawit tentu saja tidak memiliki izin-izin tersebut karena memang tidak diwajibkan oleh undang-undang sebelumnya demikian juga dengan Permentan.
(Baca juga:Riau Miliki Kebun Sawit Terluas, Peremajaan Jadi Prioritas)
Ketiga, RPP Sanksi Administrasi tersebut menutup peluang bagi para pekebun yang lahannya 6-25 ha untuk memperoleh pelepasan kawasan hutan. Padahal ketentuan hukum di bidang perkebunan telah memberikan hak bagi petani sawit untuk mengelola lahannya maksimal 25 ha.
Keempat, dalam draf RPP bagi petani yang luas lahannya 5 ha ke bawah akan diakomodir RPP, tapi dengan syarat wajib tinggal di kebun atau berdomisili sekitarnya.
Kelima, dikatakan solusi yang ditawarkan dalam RPP Sanksi Administrasi berupa “Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan” bagi petani sawit tidak akan dapat dicapai jika petani sawit tidak mampu membayar denda administrasi yang telah ditetapkan.
“Ini tidak masuk akal, masa petani harus membayar denda. Karena mustahil petani dapat bayar denda yang nilainya ratusan juta rupiah,” jelas Gulat.
tulis komentar anda