Tata Niaga Ayam Tak Sehat, Kementerian Perdagangan Diminta Turun Tangan
Kamis, 25 Maret 2021 - 12:27 WIB
Menurut Tri Hardiyanto, harga di lapak selalu tinggi, tidak mengikuti jatuh bangunnya harga ayam di kandang. “Makanya jangan heran ibu-ibu beli ayam di pasar tradisional Rp35.000 per kg, sementara kami di kandang teriak-teriak harga ayam jatuh hanya Rp10.000,” katanya.
Perlu diketahui bahwa sekitar 80% populasi ayam di Indonesia itu diperdagangkan dalam kondisi hidup untuk menyuplai ke wet market. Karena diperdagangkan dalam kondisi hidup, posisi tawar peternak mandiri memang sangat lemah.
(Baca juga:Agar Harga Tak Menggelepar, Kementan Kendalikan Pasokan Ayam Hidup)
Apabila ayam yang ada dikandangnya tidak dibeli pedagang di hari itu, maka peternak akan menanggung kerugian. Sebab dia akan menanggung biaya pakan yang besar. Di mana dalam budidaya perunggasan, biaya untuk pakan itu mencapai 70% dari total biaya produksi.
“Sehingga mau tidak mau biasanya peternak itu menjual ayamnya walaupun dia harus jual rugi atau jual impas,” kata Tri Hardiyanto.
(Baca juga:Komisi VI DPR Minta Kebijakan GPS Ayam Broiler Sesuai PP 5/2021)
Tri Hardiyanto mengatakan, broker yang diberikan kekuasaan oleh integrator untuk menyuplai ayam ke pasar itulah yang mengacaukan harga ayam di masyarakat. Di pihak peternak ayam mandiri mengalami kerugian, lantaran ayamnya dihargai murah. Sementara broker tersebut bisa menjual ayam ke masyarakat dengan harga yang tinggi.
Over supply
Bagi peternak mandiri, dirinya merasakan kerugian paling besar itu pada tahun 2019. Setahun kemudian, yakni di 2020 kondisinya sendikit membaik, walaupun di kalangan peternak ayam mandiri ada yang mengalami kerugian juga.
Tahun ini, mereka berharap kondisinya akan lebih baik dibandingkan dengan di dua tahun belakang ini. Harapan itu menyusul mulai pulihnya kondisi perekonomian seiring dengan dilakukannya vaksinasi Covid-19 kepada masyarakat.
Perlu diketahui bahwa sekitar 80% populasi ayam di Indonesia itu diperdagangkan dalam kondisi hidup untuk menyuplai ke wet market. Karena diperdagangkan dalam kondisi hidup, posisi tawar peternak mandiri memang sangat lemah.
(Baca juga:Agar Harga Tak Menggelepar, Kementan Kendalikan Pasokan Ayam Hidup)
Apabila ayam yang ada dikandangnya tidak dibeli pedagang di hari itu, maka peternak akan menanggung kerugian. Sebab dia akan menanggung biaya pakan yang besar. Di mana dalam budidaya perunggasan, biaya untuk pakan itu mencapai 70% dari total biaya produksi.
“Sehingga mau tidak mau biasanya peternak itu menjual ayamnya walaupun dia harus jual rugi atau jual impas,” kata Tri Hardiyanto.
(Baca juga:Komisi VI DPR Minta Kebijakan GPS Ayam Broiler Sesuai PP 5/2021)
Tri Hardiyanto mengatakan, broker yang diberikan kekuasaan oleh integrator untuk menyuplai ayam ke pasar itulah yang mengacaukan harga ayam di masyarakat. Di pihak peternak ayam mandiri mengalami kerugian, lantaran ayamnya dihargai murah. Sementara broker tersebut bisa menjual ayam ke masyarakat dengan harga yang tinggi.
Over supply
Bagi peternak mandiri, dirinya merasakan kerugian paling besar itu pada tahun 2019. Setahun kemudian, yakni di 2020 kondisinya sendikit membaik, walaupun di kalangan peternak ayam mandiri ada yang mengalami kerugian juga.
Tahun ini, mereka berharap kondisinya akan lebih baik dibandingkan dengan di dua tahun belakang ini. Harapan itu menyusul mulai pulihnya kondisi perekonomian seiring dengan dilakukannya vaksinasi Covid-19 kepada masyarakat.
tulis komentar anda