UMKM Jangan Hanya Jadi Perantara
Senin, 24 Mei 2021 - 05:54 WIB
“Hasilnya, peran UMKM belum menonjol. Produk yang ada di e-commerce mayoritas masih produk asing. Peran UMKM masih sebatas middle man atau perantara. Jual beli cross border akan makin banyak. Dan sayangnya kita masih menjadi pasar saja, belum secara agresif masuk platform e-commerce ke negara lain,” terang dia.
Heru menduga adanya predatory pricing atau persaingan tidak sehat atas produk impor sehingga harga yang dijual lebih murah dan menarik minat konsumen. Lantaran tak laku dijual di negara produsen karena harganya lebih mahal, produk tersebut kemudian ditawarkan atau ‘dilempar’ ke negara lain dengan harga yang lebih murah. Strategi itulah yang kemudian dapat mengancam penjualan produk buatan dalam negeri.
“Diakui atau tidak predatory pricing produk asing terjadi. Kalau beli di negara pengekspor, harga sering lebih mahal dan bahkan tidak laku. Tapi kemudian dilempar ke Indonesia,” jelasnya.
Karena itu, dia mengapresiasi upaya Kemenkop-UKM yang melarang 13 kategori produk crossborder dilarang masuk ke Indonesia dengan harapan bisa membantu menyelamatkan UMKM dari gempuran produk impor yang cenderung harganya lebih murah.
Dirinya juga menanggapi langkah Shopee yang mengeluarkan kebijakan pembatasan penjualan produk impor di platform digitalnya. Kendati demikian, dia menilai langkah Shopee sebagai kewajiban yang harus dilakukan sebagai platform digital untuk membatasi penjualan produk cross border di Indonesia.
“Ya, karena diakui atau tidak Shopee selama ini termasuk yang membuka keran impor,” celetuknya.
Di sisi lain, Heru juga mendorong agar pemerintah meningkatkan gairah penjualan produk lokal. Termasuk juga memberikan ada insentif kepada pelaku UMKM, memberikan pelatihan dalam peningkatan usaha, hingga masuk ke penjualan daring.
Meski adanya regulasi tentang perdagangan produk secara elektronik melalui PP No 80/2019 tentang PMSE dan Permendag No. 50/2020, dia juga mendesak pemerintah untuk melakukan pengawasan hingga audit produk impor yang dijual oleh pelaku usaha e-commerce melalui platform digital. Hal itu juga memudahkan untuk menarik pajak dari penjualan produk impor. Bahkan, pengawasan juga perlu dilakukan terhadap komponen yang terkandung di dalam produk lokal.
“Jangan-jangan kita khawatir meski disebut lokal tapi komponen terbesarnya ternyata dari luar negeri juga. Selain ada kanal khusus produk dalam negeri, harus ada audit terhadap e-commerce agar terlihat berapa persen produk impor yang dijual di sana. Jadi akan ketahuan berapa persen produk impornya berdasar data. Untuk produk asing, pajak harus dijalankan,” usulnya.
Heru menduga adanya predatory pricing atau persaingan tidak sehat atas produk impor sehingga harga yang dijual lebih murah dan menarik minat konsumen. Lantaran tak laku dijual di negara produsen karena harganya lebih mahal, produk tersebut kemudian ditawarkan atau ‘dilempar’ ke negara lain dengan harga yang lebih murah. Strategi itulah yang kemudian dapat mengancam penjualan produk buatan dalam negeri.
“Diakui atau tidak predatory pricing produk asing terjadi. Kalau beli di negara pengekspor, harga sering lebih mahal dan bahkan tidak laku. Tapi kemudian dilempar ke Indonesia,” jelasnya.
Karena itu, dia mengapresiasi upaya Kemenkop-UKM yang melarang 13 kategori produk crossborder dilarang masuk ke Indonesia dengan harapan bisa membantu menyelamatkan UMKM dari gempuran produk impor yang cenderung harganya lebih murah.
Dirinya juga menanggapi langkah Shopee yang mengeluarkan kebijakan pembatasan penjualan produk impor di platform digitalnya. Kendati demikian, dia menilai langkah Shopee sebagai kewajiban yang harus dilakukan sebagai platform digital untuk membatasi penjualan produk cross border di Indonesia.
“Ya, karena diakui atau tidak Shopee selama ini termasuk yang membuka keran impor,” celetuknya.
Di sisi lain, Heru juga mendorong agar pemerintah meningkatkan gairah penjualan produk lokal. Termasuk juga memberikan ada insentif kepada pelaku UMKM, memberikan pelatihan dalam peningkatan usaha, hingga masuk ke penjualan daring.
Meski adanya regulasi tentang perdagangan produk secara elektronik melalui PP No 80/2019 tentang PMSE dan Permendag No. 50/2020, dia juga mendesak pemerintah untuk melakukan pengawasan hingga audit produk impor yang dijual oleh pelaku usaha e-commerce melalui platform digital. Hal itu juga memudahkan untuk menarik pajak dari penjualan produk impor. Bahkan, pengawasan juga perlu dilakukan terhadap komponen yang terkandung di dalam produk lokal.
“Jangan-jangan kita khawatir meski disebut lokal tapi komponen terbesarnya ternyata dari luar negeri juga. Selain ada kanal khusus produk dalam negeri, harus ada audit terhadap e-commerce agar terlihat berapa persen produk impor yang dijual di sana. Jadi akan ketahuan berapa persen produk impornya berdasar data. Untuk produk asing, pajak harus dijalankan,” usulnya.
tulis komentar anda