Dari Desa Membangun Ekonomi Indonesia
Selasa, 25 Mei 2021 - 06:32 WIB
Kita memasukkan kelembagaan desa yang dinamis dan budaya desa yang adaptif. Saya selalu menekankan jangan sekali-sekali bangun desa tidak bertumpu pada akar budaya. Cuma harus adaptif. Artinya, tetap menerima perubahan-perubahan. Tidak kemudian antimedsos. Malah kita harus memanfaatkan secara positif penggunaan TI.
Apa untungnya digitalisasi desa?
Kita punya desa digital. Perjalanan ini menuju ke pengelolaan atau manajemen desa dengan digitalisasi penuh, termasuk didalamnya penggunaan dana desa. Selalu saya sebut dengan cashless. Kalau dana desa dikelola dengan cashless pasti saya jamin kepala desa selamat karena jejak duitnya jelas (untuk) belanja barang.
Skala desa itu kecil, bagaimana bisa diandalkan dalam pembangunan?
Kalau mengelola pembangunan di level mikro itu lebih sederhana, datanya lebih sederhana. Datanya mikro, misalnya yang sekarang kita lakukan pemutakhiran data berbasis SDGs desa. Berapa sih warga miskin, (berapa) di bawah garis kemiskinan dan di atas. Ini harus by name, by address, dan Nik. Tentu ini akan menjadi sumber utama dalam pengambilan kebijakan oleh semua kementerian, termasuk sosial.
Apa bedanya dengan data dari pemerintah daerah (pemda), kementerian, atau lembaga lainnya?
Desa lebih tahu daripada, mohon maaf, orang kecamatan apalagi orang kabupaten dan pusat. Itulah kenapa data kita tidak pernah selesai karena tidak diambil dari induknya. Induknya siapa? Pemilik data ya desa
Contohnya manfaat di masa depan?
Kalau kita mau jujur permasalahan TBC masih menjadi faktor utama kematian. Masih besar TBC dari Covid-19. Cuma enggak ada datanya. Di pemutakhiran data, (akan ada) warga berpenyakit kronis dan menahun berapa. Kalau ada data kan penanganannya sederhana. Puskesmas (tangani) itu selesai. Bupati (dalam penanganannya) jelas arahnya. Intervensi dari kementerian dan lembaga negara juga jelas.
Efek lain dari data yang selalu update?
Apa untungnya digitalisasi desa?
Kita punya desa digital. Perjalanan ini menuju ke pengelolaan atau manajemen desa dengan digitalisasi penuh, termasuk didalamnya penggunaan dana desa. Selalu saya sebut dengan cashless. Kalau dana desa dikelola dengan cashless pasti saya jamin kepala desa selamat karena jejak duitnya jelas (untuk) belanja barang.
Skala desa itu kecil, bagaimana bisa diandalkan dalam pembangunan?
Kalau mengelola pembangunan di level mikro itu lebih sederhana, datanya lebih sederhana. Datanya mikro, misalnya yang sekarang kita lakukan pemutakhiran data berbasis SDGs desa. Berapa sih warga miskin, (berapa) di bawah garis kemiskinan dan di atas. Ini harus by name, by address, dan Nik. Tentu ini akan menjadi sumber utama dalam pengambilan kebijakan oleh semua kementerian, termasuk sosial.
Apa bedanya dengan data dari pemerintah daerah (pemda), kementerian, atau lembaga lainnya?
Desa lebih tahu daripada, mohon maaf, orang kecamatan apalagi orang kabupaten dan pusat. Itulah kenapa data kita tidak pernah selesai karena tidak diambil dari induknya. Induknya siapa? Pemilik data ya desa
Contohnya manfaat di masa depan?
Kalau kita mau jujur permasalahan TBC masih menjadi faktor utama kematian. Masih besar TBC dari Covid-19. Cuma enggak ada datanya. Di pemutakhiran data, (akan ada) warga berpenyakit kronis dan menahun berapa. Kalau ada data kan penanganannya sederhana. Puskesmas (tangani) itu selesai. Bupati (dalam penanganannya) jelas arahnya. Intervensi dari kementerian dan lembaga negara juga jelas.
Efek lain dari data yang selalu update?
Lihat Juga :
tulis komentar anda