Pengolahan Limbah Industri Bisa Datangkan Manfaat Ekonomi
Selasa, 01 Juni 2021 - 22:23 WIB
JAKARTA - Limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) dapat menimbulkan dampak negatif yang serius bagi lingkungan jikatidak dikelola dengan tepat. Ditjen Pengelolaan Sampah dan Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, volume limbah B3 meningkat 30% selama pandemi COVID-19. Peningkatan itu terjadi pada limbah B3 di industri medis.
Hingga saat ini, produksi limbah B3 terus meningkat seiring dengan semakin pesatnya perkembangan beragam sektor industri di Tanah Air. Jenis limbah yang dihasilkan di antaranya logam berat, slag, cat, zat warna, minyak, pelarut, sianida, pestisida, dan zat kimia lainnya. Tak hanya industri medis, peningkatan produksi limbah juga terjadi di industri minyak dan gas (migas) , dan pertambangan.
(Baca Juga : Mantan Menteri ESDM Ingatkan Pentingnya Badan Pengelola Hulu Migas Independen )
Kegiatan pertambangan mineral dan batubara maupun eksplorasi migas menghasilkan limbah B3 dalam jumlah besar akan berdampak terhadap lingkungan. Kegiatan pengolahan bijih produk pertambangan atau ore pada pertambangan emas dan tembaga misalnya, menghasilkan limbah tailing yang mengandung kontaminan logam berat. Pada pengolahan bijih nikel dan timah, semelter nikel dan timah menghasilkan limbah berupa slag nikel dan timah dalam jumlah besar.Sedangkan untuk pertambangan batubara limbah B3 didominasi pelumas bekas dari kegiatan perbengkelan dan pembangkit energi (genset).
KLHK mencatat, ada kenaikan signifikan lahan yang terkontaminasi limbah B3 periode 2015-2019 yang mencapai 300%, dari 211.359 meter persegi menjadi 840.024 meter persegi. Sumber kegiatan yang menyebabkan kontaminasi lahan berasal dari kegiatan sektor pertambangan, energi dan migas, manufaktur, agroindustri serta jasa.
Namun demikian, menurut Direktur Eksekutif Energi Watch Mamit Setiawan, perusahaan-perusahaan tersebut telah memiliki komitmen yang kuat untuk mengolah limbah yang dihasilkan. Baik dilakukan sendiri muapun diolah melalui perusahaan lainnya. ’’Terbatasnya jumlah perusahaan pengolahan limbah B3 perlu menjadi perhatian para pemangku kepentingan,’’ujarnya saat dihubungi, kemarin.
(Baca Juga : Ridwan Kamil Minta Daerah Gali Potensi Migas dan Energi Terbarukan )
Dia mengungkapkan, pengelolaan dan pengolahan limbah B3 sangat penting untuk menjaga kelestarian lingkungan. Selain itu, pengelolaan dan pengolahan limbah B3 akan mendatangkan nilai ekonomis yang besar bagi kekangsungan hidup masyarakat dan ekosistem. ’’Dampak ekonominya, biaya kesehatan akan turun. Juga biaya-biaya lainnya yang harus dikeluarkan jika limbah B3 tidak diolah dan dikelola dengan baik,’’ungkapnya.
Menurut dia, keterbatasan lokasi pengelolaan dan pengolahan limbah juga perlu mendapatkan perhatian, mengingat selama ini, limbah-limbah dari Sumatera dan Kalimantan harus diangkut ke Jawa untuk dikelola dan diolah. Mengutip Indonesia Environment and Energy Center , limbah B3 tidak dapat begitu saja ditimbun, dibakar atau dibuang. Sebab, limbah jenis ini mengandung bahan yang dapat membahayakan manusia dan makhluk hidup lain.
Hingga saat ini, produksi limbah B3 terus meningkat seiring dengan semakin pesatnya perkembangan beragam sektor industri di Tanah Air. Jenis limbah yang dihasilkan di antaranya logam berat, slag, cat, zat warna, minyak, pelarut, sianida, pestisida, dan zat kimia lainnya. Tak hanya industri medis, peningkatan produksi limbah juga terjadi di industri minyak dan gas (migas) , dan pertambangan.
(Baca Juga : Mantan Menteri ESDM Ingatkan Pentingnya Badan Pengelola Hulu Migas Independen )
Kegiatan pertambangan mineral dan batubara maupun eksplorasi migas menghasilkan limbah B3 dalam jumlah besar akan berdampak terhadap lingkungan. Kegiatan pengolahan bijih produk pertambangan atau ore pada pertambangan emas dan tembaga misalnya, menghasilkan limbah tailing yang mengandung kontaminan logam berat. Pada pengolahan bijih nikel dan timah, semelter nikel dan timah menghasilkan limbah berupa slag nikel dan timah dalam jumlah besar.Sedangkan untuk pertambangan batubara limbah B3 didominasi pelumas bekas dari kegiatan perbengkelan dan pembangkit energi (genset).
KLHK mencatat, ada kenaikan signifikan lahan yang terkontaminasi limbah B3 periode 2015-2019 yang mencapai 300%, dari 211.359 meter persegi menjadi 840.024 meter persegi. Sumber kegiatan yang menyebabkan kontaminasi lahan berasal dari kegiatan sektor pertambangan, energi dan migas, manufaktur, agroindustri serta jasa.
Namun demikian, menurut Direktur Eksekutif Energi Watch Mamit Setiawan, perusahaan-perusahaan tersebut telah memiliki komitmen yang kuat untuk mengolah limbah yang dihasilkan. Baik dilakukan sendiri muapun diolah melalui perusahaan lainnya. ’’Terbatasnya jumlah perusahaan pengolahan limbah B3 perlu menjadi perhatian para pemangku kepentingan,’’ujarnya saat dihubungi, kemarin.
(Baca Juga : Ridwan Kamil Minta Daerah Gali Potensi Migas dan Energi Terbarukan )
Dia mengungkapkan, pengelolaan dan pengolahan limbah B3 sangat penting untuk menjaga kelestarian lingkungan. Selain itu, pengelolaan dan pengolahan limbah B3 akan mendatangkan nilai ekonomis yang besar bagi kekangsungan hidup masyarakat dan ekosistem. ’’Dampak ekonominya, biaya kesehatan akan turun. Juga biaya-biaya lainnya yang harus dikeluarkan jika limbah B3 tidak diolah dan dikelola dengan baik,’’ungkapnya.
Menurut dia, keterbatasan lokasi pengelolaan dan pengolahan limbah juga perlu mendapatkan perhatian, mengingat selama ini, limbah-limbah dari Sumatera dan Kalimantan harus diangkut ke Jawa untuk dikelola dan diolah. Mengutip Indonesia Environment and Energy Center , limbah B3 tidak dapat begitu saja ditimbun, dibakar atau dibuang. Sebab, limbah jenis ini mengandung bahan yang dapat membahayakan manusia dan makhluk hidup lain.
tulis komentar anda