Kartu Prakerja Diharapkan Jadi ‘Legacy’ Pemerintah Tingkatkan Kompetensi Sumber Daya Manusia
Jum'at, 03 September 2021 - 18:10 WIB
“Penelitian LPEM Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun ini menunjukkan bahwa Kartu Prakerja mampu mengurangi rasa cemas, sedih, dan amarah yang dirasakan oleh penerima program akibat pandemi Covid-19. Disimpulkan bahwa program ini membantu meningkatkan kesehatan masyarakat di masa pandemi,” kata doktor ekonomi lulusan University of Colorado at Boulder, Amerika Serikat, itu.
Pencapaian besar juga didapat lewat apresiasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyampaikan bahwa Program Kartu Prakerja menjadi contoh best practice dalam mengelola suatu program besar dengan lingkup 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia dengan meminimalisasi banyak persoalan. Atas penilaian itu, Kartu Prakerja direkomendasikan KPK dapat menjadi pilot project bagi program-program lainnya.
Yang terbaru, Ipsos, sebuah lembaga riset global dari Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa 53% masyarakat Indonesia mengaku puas dengan bantuan dari pemerintah selama pandemi Covid-19.
Dari berbagai program bantuan yang diberikan pemerintah, ada tiga program bantuan yang paling banyak didapatkan masyarakat, yakni Program Kartu Prakerja dengan persentase 24%, subsidi listrik 19%, dan subsidi kuota internet pada sektor pendidikan sebesar 18%.
Di depan lebih dari 220 mahasiswa yang hadir secara virtual, Denni Purbasari menjelaskan kondisi ketenagakerjaan Indonesia. Dengan 135 juta jumlah angkatan kerja saat ini, Indonesia memiliki dua tantangan utama ketenagakerjaan, yakni rendahnya jumlah lapangan kerja, serta minimnya produktivitas, yang salah satunya disebabkan oleh adanya skill gap.
Data BPS menyebutkan, dari 135 juta angkatan kerja itu, 90% di antaranya belum pernah mengikuti pelatihan bersertifikat. Demikian pula profil 7 juta jumlah pengangguran kita, 91% di antaranya belum pernah mengikuti pelatihan bersertifikat.
“Sayangnya, baik perusahaan maupun pekerja kita cenderung tak peduli dengan skilling, upskilling, dan reskilling sebagai upaya peningkatan kualitas angkatan kerja,” ungkapnya.
Dari sisi invididu, menyitir penelitian Bank Dunia, para pekerja menempatkan pelatihan peningkatan skill dalam peringkat paling buncit (10) pada prioritas pengeluaran pribadinya.
“Baik bagi pekerja dengan gaji skala upah minimum maupun yang jauh di atas itu, kebanyakan terlalu ‘pelit’ untuk menginvestasikan penambahan keterampilan bagi diri sendiri,” paparnya.
Begitu pula dari sisi manajemen. Perusahaan juga sedikit sekali menganggarkan dana untuk pelatihan bagi pengembangan karyawannya.
Pencapaian besar juga didapat lewat apresiasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyampaikan bahwa Program Kartu Prakerja menjadi contoh best practice dalam mengelola suatu program besar dengan lingkup 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia dengan meminimalisasi banyak persoalan. Atas penilaian itu, Kartu Prakerja direkomendasikan KPK dapat menjadi pilot project bagi program-program lainnya.
Yang terbaru, Ipsos, sebuah lembaga riset global dari Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa 53% masyarakat Indonesia mengaku puas dengan bantuan dari pemerintah selama pandemi Covid-19.
Dari berbagai program bantuan yang diberikan pemerintah, ada tiga program bantuan yang paling banyak didapatkan masyarakat, yakni Program Kartu Prakerja dengan persentase 24%, subsidi listrik 19%, dan subsidi kuota internet pada sektor pendidikan sebesar 18%.
Di depan lebih dari 220 mahasiswa yang hadir secara virtual, Denni Purbasari menjelaskan kondisi ketenagakerjaan Indonesia. Dengan 135 juta jumlah angkatan kerja saat ini, Indonesia memiliki dua tantangan utama ketenagakerjaan, yakni rendahnya jumlah lapangan kerja, serta minimnya produktivitas, yang salah satunya disebabkan oleh adanya skill gap.
Data BPS menyebutkan, dari 135 juta angkatan kerja itu, 90% di antaranya belum pernah mengikuti pelatihan bersertifikat. Demikian pula profil 7 juta jumlah pengangguran kita, 91% di antaranya belum pernah mengikuti pelatihan bersertifikat.
“Sayangnya, baik perusahaan maupun pekerja kita cenderung tak peduli dengan skilling, upskilling, dan reskilling sebagai upaya peningkatan kualitas angkatan kerja,” ungkapnya.
Dari sisi invididu, menyitir penelitian Bank Dunia, para pekerja menempatkan pelatihan peningkatan skill dalam peringkat paling buncit (10) pada prioritas pengeluaran pribadinya.
“Baik bagi pekerja dengan gaji skala upah minimum maupun yang jauh di atas itu, kebanyakan terlalu ‘pelit’ untuk menginvestasikan penambahan keterampilan bagi diri sendiri,” paparnya.
Begitu pula dari sisi manajemen. Perusahaan juga sedikit sekali menganggarkan dana untuk pelatihan bagi pengembangan karyawannya.
tulis komentar anda