Pakar Hukum Sebut Putusan MK Soal UU Cipta Kerja Tak Lazim
Kamis, 25 November 2021 - 19:54 WIB
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi ( MK ) hari ini mengeluarkan putusan terkait gugatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan oleh pemohon dari kalangan buruh. MK menyatakan menerima sebagian permohonan pemohon dan memerintahkan DPR dan pemerintah memperbaiki UU tersebut dalam 2 tahun.
Dalam putusannya, Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman menyebutkan bahwa pembentukan UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan tersebut diucapkan.
Pakar Hukum dari Universitas Padjajaran Prof. Ramli Atmasasmita menilai putusan tersebut tidak lazim. Sebab, kata dia, putusan itu tak sesuai dengan objek materi yang diuji dari UU Cipta Kerja, yakni pertentangannya dengan UU No 12 tahun 2011 dan perubahannya.
Menurutnya, objek materi yang diuji dari UU Cipta Kerja adalah pertentangannya dengan UU No 12 tahun 2011 jo perubahannya dan bukan terhadap substansi UUD 45.
"Pertanyaannya, bagaimana bisa objek permohonan pemohon yang adalah pertentangan antara UU Cipta Kerja terhadap suatu undang-undang yang bukan UUD 45, akan tetapi putusan MK dikaitkan dengan seluruh pasal UUD 45?" ujarnya melalui keterangan tertulis, Kamis (25/11/2021).
Menurut Romli, putusan MK tersebut sama saja dengan menyatakan bahwa baik pemerintah dan DPR tidak memahami Konstitusi UUD 45.
Romli menilai putusan MK tidak menjawab mengenai konten, melainkan hanya soal teknik perundang-undangan belaka. Karena, maksud tujuan dan konteks UU Cipta Kerja tidak ada yang bertentangan dengan isi bab dan pasal-pasal UUD 45. "Seharusnya sejak awal MK menolak permohonan para pemohon (Niet onvankelijke verklaard/NO)," tandasnya.
Dalam putusannya, Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman menyebutkan bahwa pembentukan UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan tersebut diucapkan.
Pakar Hukum dari Universitas Padjajaran Prof. Ramli Atmasasmita menilai putusan tersebut tidak lazim. Sebab, kata dia, putusan itu tak sesuai dengan objek materi yang diuji dari UU Cipta Kerja, yakni pertentangannya dengan UU No 12 tahun 2011 dan perubahannya.
Menurutnya, objek materi yang diuji dari UU Cipta Kerja adalah pertentangannya dengan UU No 12 tahun 2011 jo perubahannya dan bukan terhadap substansi UUD 45.
"Pertanyaannya, bagaimana bisa objek permohonan pemohon yang adalah pertentangan antara UU Cipta Kerja terhadap suatu undang-undang yang bukan UUD 45, akan tetapi putusan MK dikaitkan dengan seluruh pasal UUD 45?" ujarnya melalui keterangan tertulis, Kamis (25/11/2021).
Baca Juga
Menurut Romli, putusan MK tersebut sama saja dengan menyatakan bahwa baik pemerintah dan DPR tidak memahami Konstitusi UUD 45.
Romli menilai putusan MK tidak menjawab mengenai konten, melainkan hanya soal teknik perundang-undangan belaka. Karena, maksud tujuan dan konteks UU Cipta Kerja tidak ada yang bertentangan dengan isi bab dan pasal-pasal UUD 45. "Seharusnya sejak awal MK menolak permohonan para pemohon (Niet onvankelijke verklaard/NO)," tandasnya.
(fai)
Lihat Juga :
tulis komentar anda