Keterbelakangan Teknologi, Petani Hadapi Krisis PR
Minggu, 19 Desember 2021 - 10:33 WIB
Salah satu penulis buku PR Crisis ini menegaskan bahwa melalui analisis situasi ini, petani dapat memahami produk, marketnya, strategi komunikasinya sehingga masyarakat dapat menerima dengan baik. Hal itu berhubungan dengan pembentukan reputasi produk.
Dian melanjutkan dalam mempertahankan citra positif butuh usaha yang luar biasa untuk membentuk reputasi. “Citra dapat dibentuk sekejap mata, namun dalam membentuk reputasi memerlukan waktu lebih lama (kurang lebih 5 tahun),” ujar Dian.
“Misalnya pada restoran saat ini banyak dari mereka yang menggunakan konsep open kitchen,” kata Dian. Upaya ini dilakukan sebagai bentuk transparansi karena mereka ingin membangun kepercayaan dari pelanggan. Namun, upaya tersebut harus konsisten, sehingga terlihat adanya bentuk tanggung jawab terhadap produk/jasa/layanan yang diberikan oleh perusahaan.
(Baca juga:Diterjang Material Vulkanik Letusan Gunung Semeru, 200 Hektare Lahan Pertanian Hancur)
Sementara itu M. Akbar mengatakan bahwa isu-isu mengenai pertanian masih inferior dan belum menjadi perhatian media. Akbar menjelaskan bahwa ketika dia mencari kata kunci pertanian dan tani pada Google Trend nampak secara grafik masih sangat rendah dibandingkan dengan kata kunci mengenai politik. Sehingga, dapat dikatakan isu-isu tentang pertanian masih belum dapat dikemas dengan baik oleh stakeholders terkait.
Sehingga Akbar menawarkan solusi agar strategi komunikasi dalam mempublikasi perihal pertanian dapat dikuatkan lagi pada media sosial. Sebab, dia mengamati hampir semua orang memiliki aplikasi media sosial pada smartphone-nya.
Akbar mengungkapkan bahwa kini kekuatan netizen tidak dapat dipandang sebelah mata. Terdapat pergeseran di mana dahulu masyarakat mendapatkan informasi melalui media, namun saat ini justru kebalikannya. Sehingga, Akbar berharap melalui kuliah tamu ini peserta dapat membuat konten-konten edukatif dan menarik mengenai pertanian.
Persoalan utama dalam pertanian adalah masalah penyusutan lahan. Diharapkan perusahaan dapat memetakan sejauhmana konversi lahan itu terjadi. Sehingga, dapat menentukan sikap, apakah akan mendukung, melawan atau netral. Hal tersebut yang biasanya dilakukan oleh PR.
“Mas Firsan biasanya mengatakan people love story,” kata Akbar. Maka perusahaan harus bisa menggali cerita dari para buruh tani atau justru pada anak-anak muda yang masih mau turun ke sawah.
Di sisi lain, Akbar juga menyampaikan bahwa sewaktu krisis, media menjadi sekutu yang kuat untuk menyampaikan pesan. Krisis terjadi karena, antara harapan dan kenyataan tidak selaras. Sehingga perlu dibangun pesan-pesan yang melalui media.
Dian melanjutkan dalam mempertahankan citra positif butuh usaha yang luar biasa untuk membentuk reputasi. “Citra dapat dibentuk sekejap mata, namun dalam membentuk reputasi memerlukan waktu lebih lama (kurang lebih 5 tahun),” ujar Dian.
“Misalnya pada restoran saat ini banyak dari mereka yang menggunakan konsep open kitchen,” kata Dian. Upaya ini dilakukan sebagai bentuk transparansi karena mereka ingin membangun kepercayaan dari pelanggan. Namun, upaya tersebut harus konsisten, sehingga terlihat adanya bentuk tanggung jawab terhadap produk/jasa/layanan yang diberikan oleh perusahaan.
(Baca juga:Diterjang Material Vulkanik Letusan Gunung Semeru, 200 Hektare Lahan Pertanian Hancur)
Sementara itu M. Akbar mengatakan bahwa isu-isu mengenai pertanian masih inferior dan belum menjadi perhatian media. Akbar menjelaskan bahwa ketika dia mencari kata kunci pertanian dan tani pada Google Trend nampak secara grafik masih sangat rendah dibandingkan dengan kata kunci mengenai politik. Sehingga, dapat dikatakan isu-isu tentang pertanian masih belum dapat dikemas dengan baik oleh stakeholders terkait.
Sehingga Akbar menawarkan solusi agar strategi komunikasi dalam mempublikasi perihal pertanian dapat dikuatkan lagi pada media sosial. Sebab, dia mengamati hampir semua orang memiliki aplikasi media sosial pada smartphone-nya.
Akbar mengungkapkan bahwa kini kekuatan netizen tidak dapat dipandang sebelah mata. Terdapat pergeseran di mana dahulu masyarakat mendapatkan informasi melalui media, namun saat ini justru kebalikannya. Sehingga, Akbar berharap melalui kuliah tamu ini peserta dapat membuat konten-konten edukatif dan menarik mengenai pertanian.
Persoalan utama dalam pertanian adalah masalah penyusutan lahan. Diharapkan perusahaan dapat memetakan sejauhmana konversi lahan itu terjadi. Sehingga, dapat menentukan sikap, apakah akan mendukung, melawan atau netral. Hal tersebut yang biasanya dilakukan oleh PR.
“Mas Firsan biasanya mengatakan people love story,” kata Akbar. Maka perusahaan harus bisa menggali cerita dari para buruh tani atau justru pada anak-anak muda yang masih mau turun ke sawah.
Di sisi lain, Akbar juga menyampaikan bahwa sewaktu krisis, media menjadi sekutu yang kuat untuk menyampaikan pesan. Krisis terjadi karena, antara harapan dan kenyataan tidak selaras. Sehingga perlu dibangun pesan-pesan yang melalui media.
Lihat Juga :
tulis komentar anda