Mendorong Posisi Perempuan sebagai Produsen Energi
Rabu, 09 Maret 2022 - 05:37 WIB
“RUU EBT jika dikaji dengan lebih mendalam, tidak akan disahkan dalam waktu dekat sebab setidaknya pemerintah pusat harus mempertimbangkan membangun 5 lembaga baru, dan harus menyediakan beragam insentif dan tempat pembuangan limbah radioaktif,” katanya.
Menurut Rinaldy, ke depannya akan tiba masa saat semua orang mampu menghasilkan energinya sendiri, sehingga urusan energi bukan urusan pemerintah lagi, melainkan akan menjadi urusan rumah tangga. Dengan demikian, maka peran perempuan akan menjadi krusial dalam mengurus sektor energi.
Asisten Deputi Direktur Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Maftuh Muhtadi mengakui, bahwa perempuan masih dipandang sebagai konsumen utama energi listrik.
Kata dia, selama ini pengelolaan energi selalu dilekatkan dengan tanggung jawab perempuan terkait peran domestiknya. “Konsumsi energi cenderung belum efisien dan peran perempuan penting untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan dan pengelolaan energi,” ujarnya.
Menyoroti masih adanya porsi energi fosil di RUU EBT dalam bentuk hilirisasi batu bara, Maftuh tidak bisa seratus persen menolak energi fosil. Dia menilai yang terpenting adalah memastikan produksi, distribusi, konsumsi energi mempunyai efek negatif yang sedikit.
Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto yang hadir pada kesempatan yang sama menginformasikan bahwa RUU EBT dalam tiga bulan ke depan sudah dapat disahkan. Sugeng mengungkapkan bahwa pihaknya mendorong pengembangan energi terbarukan sebagai suatu keharusan. Namun ia tidak menampik adanya sejumlah tantangan dalam mengembangan EBT seperti kekuatan politik besar masih condong ke energi fosil.
Sugeng membeberkan dalam proses pembuatan RUU EBT, partisipasi seluruh stakeholder, termasuk keterlibatan perempuan telah dilakukan. Menanggapi perihal nuklir dalam RUU EBT, meski menyatakan terbuka untuk setiap usulan dan masukan, namun ia berulang kali menjelaskan bahwa nuklir menjadi salah satu pilihan teknologi yang minim emisi.
Menurut Rinaldy, ke depannya akan tiba masa saat semua orang mampu menghasilkan energinya sendiri, sehingga urusan energi bukan urusan pemerintah lagi, melainkan akan menjadi urusan rumah tangga. Dengan demikian, maka peran perempuan akan menjadi krusial dalam mengurus sektor energi.
Asisten Deputi Direktur Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Maftuh Muhtadi mengakui, bahwa perempuan masih dipandang sebagai konsumen utama energi listrik.
Kata dia, selama ini pengelolaan energi selalu dilekatkan dengan tanggung jawab perempuan terkait peran domestiknya. “Konsumsi energi cenderung belum efisien dan peran perempuan penting untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan dan pengelolaan energi,” ujarnya.
Baca Juga
Menyoroti masih adanya porsi energi fosil di RUU EBT dalam bentuk hilirisasi batu bara, Maftuh tidak bisa seratus persen menolak energi fosil. Dia menilai yang terpenting adalah memastikan produksi, distribusi, konsumsi energi mempunyai efek negatif yang sedikit.
Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto yang hadir pada kesempatan yang sama menginformasikan bahwa RUU EBT dalam tiga bulan ke depan sudah dapat disahkan. Sugeng mengungkapkan bahwa pihaknya mendorong pengembangan energi terbarukan sebagai suatu keharusan. Namun ia tidak menampik adanya sejumlah tantangan dalam mengembangan EBT seperti kekuatan politik besar masih condong ke energi fosil.
Sugeng membeberkan dalam proses pembuatan RUU EBT, partisipasi seluruh stakeholder, termasuk keterlibatan perempuan telah dilakukan. Menanggapi perihal nuklir dalam RUU EBT, meski menyatakan terbuka untuk setiap usulan dan masukan, namun ia berulang kali menjelaskan bahwa nuklir menjadi salah satu pilihan teknologi yang minim emisi.
(akr)
Lihat Juga :
tulis komentar anda