Kebijakan Minyak Goreng Dinilai Tak Konsisten, Berujung Tindak Pidana Korupsi
Rabu, 31 Agustus 2022 - 16:43 WIB
Pada tanggal 5 Juli Mendag kembali mengeluarkan Permendag Nomor 41 tahun 2022 tentang Tata Kelola Minyak Goreng Kemasan Rakyat. Permendag ini untuk percepatan pendistribusian minyak goreng rakyat dengan harga terjangkau sehingga dapat diakses oleh masyarakat di seluruh wilayah Indonesia, perlu memberikan alternatif kepada pelaku usaha untuk mendistribusikan minyak goreng rakyat dalam bentuk kemasan.
Pada tanggal 1 Agustus 2022 dikeluarkan Permendag Nomor 46 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Ekspor Atas Produk Pertanian dan Kehutanan Yang Dikenakan Bea Keluar Harga Referensi Atas Produk Pertanian dan Kehutanan dan Daftar Merek Refined, Bleached and Deodorized Palm Olein Yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Hotman melihat kondisi kelangkaan minyak goreng merupakan akibat dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah melalui Kemendag yang selalu berubah-ubah sebelum peraturan tersebut dijalankan di lapangan. “Tentu ini membingungkan pelaku usaha dalam mendukung penyediaan minyak goreng murah bagi masyarakat,” kata Hotman.
Padahal, Indonesia adalah negara dengan letak geografis yang sangat beragam dan sangat luas, sehingga setiap kebijakan memerlukan perencanaan yang baik untuk dapat diimplementasikan di lapangan. Hal ini terlihat, tolok ukur evaluasi setiap Permendag tidak dilakukan dengan baik tetapi cenderung menimbulkan kepanikan dan kelangkaan minyak goreng. “Di lapangan justru timbul kepanikan dan kelanggkaan minyak goreng. Ini merupakan dampak dari kebijakan tidak konsisten,” kata Hotman.
Menurut Hotman, sebenarnya, bahan baku minyak goreng tidak menjadi masalah dalam memenuhi ketersediaan minyak goreng, jika Pemerintah dapat melakukan tata kelola industri minyak goreng dengan memperhatikan ketersediaan bahan baku dengan kapasitas produksi minyak goreng itu sendiri. Masalahnya, negara tidak mempunyai pabrik minyak goreng dan distribusi minyak goreng juga tidak terkelola oleh negara.
“Ya tentu dampaknya besar, meskipun tersedia bahan baku untuk diolah, namun pemerintah tidak siap untuk mengolahnya. Pada akhirnya pemerintah akan meminta pihak lain untuk memproduksi minyak goreng,” katanya.
Proses produksi minyak goreng tentunya memerlukan waktu yang cukup, karena harus mempersiapkan pabrik yang memproduksi minyak goreng dengan harga yang dipatok oleh pemerintah. Pabrik minyak goreng tentunya memerlukan perubahan-perubahan spesifikasi tertentu agar dapat memproduksi minyak goreng sesuai spek tertentu.
“Proses persiapan ini tentunya tidak mudah, di saat harga CPO dan turunannya nilai pasarnya sangat tinggi. Begitu juga harga minyak goreng akan terpengaruh dengan harga pasar yang tinggi. Pabrik minyak goreng di dalam negeri kesulitan dalam memperoleh CPO murah untuk diolah menjadi minyak goreng dengan harga yang ditetapkan dengan HET oleh pemerintah,” jelas Hotman.
Peraturan atau Permendag yang selalu berubah dalam waktu yang pendek mengakibatkan tata kelola minyak goreng dan program pemerintah tidak berjalan sesuai yang diharapkan. “Pemerintah akhirnya memberikan BLT minyak goreng untuk rakyat yang berujung dengan tuduhan korupsi,” tutupnya.
Pada tanggal 1 Agustus 2022 dikeluarkan Permendag Nomor 46 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Ekspor Atas Produk Pertanian dan Kehutanan Yang Dikenakan Bea Keluar Harga Referensi Atas Produk Pertanian dan Kehutanan dan Daftar Merek Refined, Bleached and Deodorized Palm Olein Yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Hotman melihat kondisi kelangkaan minyak goreng merupakan akibat dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah melalui Kemendag yang selalu berubah-ubah sebelum peraturan tersebut dijalankan di lapangan. “Tentu ini membingungkan pelaku usaha dalam mendukung penyediaan minyak goreng murah bagi masyarakat,” kata Hotman.
Padahal, Indonesia adalah negara dengan letak geografis yang sangat beragam dan sangat luas, sehingga setiap kebijakan memerlukan perencanaan yang baik untuk dapat diimplementasikan di lapangan. Hal ini terlihat, tolok ukur evaluasi setiap Permendag tidak dilakukan dengan baik tetapi cenderung menimbulkan kepanikan dan kelangkaan minyak goreng. “Di lapangan justru timbul kepanikan dan kelanggkaan minyak goreng. Ini merupakan dampak dari kebijakan tidak konsisten,” kata Hotman.
Menurut Hotman, sebenarnya, bahan baku minyak goreng tidak menjadi masalah dalam memenuhi ketersediaan minyak goreng, jika Pemerintah dapat melakukan tata kelola industri minyak goreng dengan memperhatikan ketersediaan bahan baku dengan kapasitas produksi minyak goreng itu sendiri. Masalahnya, negara tidak mempunyai pabrik minyak goreng dan distribusi minyak goreng juga tidak terkelola oleh negara.
“Ya tentu dampaknya besar, meskipun tersedia bahan baku untuk diolah, namun pemerintah tidak siap untuk mengolahnya. Pada akhirnya pemerintah akan meminta pihak lain untuk memproduksi minyak goreng,” katanya.
Proses produksi minyak goreng tentunya memerlukan waktu yang cukup, karena harus mempersiapkan pabrik yang memproduksi minyak goreng dengan harga yang dipatok oleh pemerintah. Pabrik minyak goreng tentunya memerlukan perubahan-perubahan spesifikasi tertentu agar dapat memproduksi minyak goreng sesuai spek tertentu.
“Proses persiapan ini tentunya tidak mudah, di saat harga CPO dan turunannya nilai pasarnya sangat tinggi. Begitu juga harga minyak goreng akan terpengaruh dengan harga pasar yang tinggi. Pabrik minyak goreng di dalam negeri kesulitan dalam memperoleh CPO murah untuk diolah menjadi minyak goreng dengan harga yang ditetapkan dengan HET oleh pemerintah,” jelas Hotman.
Peraturan atau Permendag yang selalu berubah dalam waktu yang pendek mengakibatkan tata kelola minyak goreng dan program pemerintah tidak berjalan sesuai yang diharapkan. “Pemerintah akhirnya memberikan BLT minyak goreng untuk rakyat yang berujung dengan tuduhan korupsi,” tutupnya.
(dar)
tulis komentar anda