Kebijakan DMO CPO Dinilai Sulit Dijalankan dan Berisiko
Kamis, 08 September 2022 - 20:39 WIB
JAKARTA - Gonta-ganti kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) crude palm oil ( CPO ) berisiko tinggi. Mekanisme ini juga dinilai sulit dijalankan.
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI) Tungkot Sipayung mengatakan, cepatnya perubahan kebijakan pasti menghambat dan mengurangi daya saing industri kelapa sawit .
Tungkot menjelaskan, sebagai negara produsen sekaligus komsumen terbesar CPO di dunia, pemerintah Indonesia bersama berbagai asosiasi sawit pada 2011 telah membuat grand policy industri sawit dengan mekanisme kombinasi antara pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK), hilirisasi dan peningkatan penggunaan konsumsi domestik baik untuk energi maupun makanan dan oleokimia.
“Kombinasi kebijakan ini bagus sekali untuk mewujudkan kepentingan Indonesia sebagai produsen terbesar di dunia dan sekaligus juga sebagai konsumen terbesar. Tujuan utamanya, untuk menyeimbangkan ekspor dan kepentingan domestik,” kata Tungkot di Jakarta, Kamis (8/9/2022).
Menurut Tungkot, dengan mekanisme ini mudah diterapkan, jika harga CPO di pasar global tinggi tinggal menaikkan PE dan BK agar tidak semua produksi CPO terserap untuk pasar ekspor. Kemudian saat harga rendah, pemerintah tinggal menurunkan PE dengan tujuan meningkatkan serapan dalam negeri.
Hal ini berbeda dengan kebijakan DMO dan DPO, yang sering menimbulkan masalah. Apalagi gonta-ganti kebijakan justru menimbulkan berbagai persoalan.
Kata Tungkot, DMO dan DPO sangat berisiko, selain itu mekanisme ini juga sulit dijalankan. Namun yang menjadi persoalan, ketika harga CPO dunia naik signifikan sejak januari 2022, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) justru menggunakan jurus ini.
“Pemerintah telah keluar jalur, seharusnya ketika harga internasional naik ya tinggal naikkan saja PE-nya, sehingga tidak perlu menunggu sampai minyak goreng menghilang di dalam negeri. Dan kalau sudah stabil baru diturunkan pelan-pelan,” katanya.
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI) Tungkot Sipayung mengatakan, cepatnya perubahan kebijakan pasti menghambat dan mengurangi daya saing industri kelapa sawit .
Tungkot menjelaskan, sebagai negara produsen sekaligus komsumen terbesar CPO di dunia, pemerintah Indonesia bersama berbagai asosiasi sawit pada 2011 telah membuat grand policy industri sawit dengan mekanisme kombinasi antara pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK), hilirisasi dan peningkatan penggunaan konsumsi domestik baik untuk energi maupun makanan dan oleokimia.
“Kombinasi kebijakan ini bagus sekali untuk mewujudkan kepentingan Indonesia sebagai produsen terbesar di dunia dan sekaligus juga sebagai konsumen terbesar. Tujuan utamanya, untuk menyeimbangkan ekspor dan kepentingan domestik,” kata Tungkot di Jakarta, Kamis (8/9/2022).
Menurut Tungkot, dengan mekanisme ini mudah diterapkan, jika harga CPO di pasar global tinggi tinggal menaikkan PE dan BK agar tidak semua produksi CPO terserap untuk pasar ekspor. Kemudian saat harga rendah, pemerintah tinggal menurunkan PE dengan tujuan meningkatkan serapan dalam negeri.
Hal ini berbeda dengan kebijakan DMO dan DPO, yang sering menimbulkan masalah. Apalagi gonta-ganti kebijakan justru menimbulkan berbagai persoalan.
Kata Tungkot, DMO dan DPO sangat berisiko, selain itu mekanisme ini juga sulit dijalankan. Namun yang menjadi persoalan, ketika harga CPO dunia naik signifikan sejak januari 2022, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) justru menggunakan jurus ini.
“Pemerintah telah keluar jalur, seharusnya ketika harga internasional naik ya tinggal naikkan saja PE-nya, sehingga tidak perlu menunggu sampai minyak goreng menghilang di dalam negeri. Dan kalau sudah stabil baru diturunkan pelan-pelan,” katanya.
tulis komentar anda