Hantu Stagflasi Bangkit Lagi? Ini Penyebab dan Dampaknya
Senin, 31 Oktober 2022 - 07:47 WIB
Dampak Stagflasi
Stagflasi tidak bisa ditentukan oleh ambang batas tertentu dan saat ini juga belum ada otoritas ekonomi tunggal yang secara resmi menyatakan apakah stagflasi telah terjadi, tidak seperti periode resesi.
Meski begitu, tanda-tandanya bisa dicermati dari tingginya angka pengangguran, ekonomi yang melemah, dan naiknya harga-harga barang.
Risiko stagflasi meningkat dengan konsekuensi yang berpotensi berbahaya bagi ekonomi berpenghasilan menengah dan rendah.
Franziska menyatakan, stagflasi merupakan sesuatu yang sangat merugikan rumah tangga berpenghasilan rendah. Pasalnya, pertumbuhan yang lambat berarti lapangan kerja yang lebih sedikit dan upah yang lebih rendah.
“Sementara, inflasi yang tinggi berarti pada saat yang sama mengikis nilai riil, daya beli terutama rumah tangga berpenghasilan rendah, yang mengandalkan upah dari pendapatan rumah tangga mereka. Dan itu juga mengikis nilai riil aset mereka karena mereka cenderung tidak mampu melindungi tabungan mereka dari inflasi,” tukasnya.
Di sisi lain, sambung dia, stagflasi ini sangat rawan krisis. Berkaca pada tahun 1970-an, dibutuhkan dua kali lipat suku bunga global menjadi 14% selama enam tahun untuk mengembalikan inflasi ke dalam target.
“Kenaikan sembilan poin persentase dalam tingkat kebijakan moneter AS dalam dua tahun. Itu, ya, memang mengakhiri inflasi, tetapi juga memicu resesi global pada tahun 1982 ketika pendapatan per kapita global turun satu persen. Dan itu kemudian memicu rangkaian krisis utang,” tuturnya.
Tak Ada Formula Pasti untuk Obati Stagflasi
Tidak ada obat yang pasti untuk mengatasi stagflasi. Meski begitu, meningkatkan kegiatan ekonomi menjadi salah satu solusi.
Stagflasi tidak bisa ditentukan oleh ambang batas tertentu dan saat ini juga belum ada otoritas ekonomi tunggal yang secara resmi menyatakan apakah stagflasi telah terjadi, tidak seperti periode resesi.
Meski begitu, tanda-tandanya bisa dicermati dari tingginya angka pengangguran, ekonomi yang melemah, dan naiknya harga-harga barang.
Risiko stagflasi meningkat dengan konsekuensi yang berpotensi berbahaya bagi ekonomi berpenghasilan menengah dan rendah.
Franziska menyatakan, stagflasi merupakan sesuatu yang sangat merugikan rumah tangga berpenghasilan rendah. Pasalnya, pertumbuhan yang lambat berarti lapangan kerja yang lebih sedikit dan upah yang lebih rendah.
“Sementara, inflasi yang tinggi berarti pada saat yang sama mengikis nilai riil, daya beli terutama rumah tangga berpenghasilan rendah, yang mengandalkan upah dari pendapatan rumah tangga mereka. Dan itu juga mengikis nilai riil aset mereka karena mereka cenderung tidak mampu melindungi tabungan mereka dari inflasi,” tukasnya.
Di sisi lain, sambung dia, stagflasi ini sangat rawan krisis. Berkaca pada tahun 1970-an, dibutuhkan dua kali lipat suku bunga global menjadi 14% selama enam tahun untuk mengembalikan inflasi ke dalam target.
“Kenaikan sembilan poin persentase dalam tingkat kebijakan moneter AS dalam dua tahun. Itu, ya, memang mengakhiri inflasi, tetapi juga memicu resesi global pada tahun 1982 ketika pendapatan per kapita global turun satu persen. Dan itu kemudian memicu rangkaian krisis utang,” tuturnya.
Tak Ada Formula Pasti untuk Obati Stagflasi
Tidak ada obat yang pasti untuk mengatasi stagflasi. Meski begitu, meningkatkan kegiatan ekonomi menjadi salah satu solusi.
tulis komentar anda